25 Desember 2008

GeRAK : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Gagal

Theglobejournal.com, 26 Desember 2008

Banda Aceh – Meskipun tsunami di Aceh sudah memasuki usia empat tahun, namun proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh hingga saat ini masih banyak yang belum mampu dipenuhi oleh BRR Aceh-Nias yang bertugas membangun kembali Aceh, ditambah tingginya angka temuan kasus yang berpotensi korupsi dilembaga terseburmebuktikan kegagalan yang terstruktur dilakukan oleh pejabat di BRR Aceh-Nias. “Hasil monitoring yang dilakukan GeRAK Aceh tercatat di wilayah pantai Barat selatan Aceh, masih cukup banyak perumahan untuk korban tsunami yang belum selesai dibangun oleh BRR Aceh-Nias bahkan ratusan korban tsunami juga belum mendapatkan rumah mestipun verifikasi sudah dilakukan,” ujar Pjs, Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (25/12).

Menurut Askhalani, pembentukan BRR Aceh-Nias untuk memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh yaitu bantuan perumahan dan pemberdayaan ekonomi khusus wilayah bencana. “Daerah yang masih banyak rumah yang belum selesai dibangun adalah Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas 1.000 unit di masing-masing kabupaten,,” ujarnya.

Askhalani mengungkapkan, kegagalan pemenuhan hak-hak dasar korban tsunami yang belum terpenuhi tetap harus menjadi tanggung jawab BRR dan tidak serta merta melepas tangan begitu saja, ”Sebelum transfer kewenangan dilakukan ke pihak lain BRR harus membersihkan dulu semua barang yang kotor yang ditingalkan oleh mereka, ini cukup penting jangan sampai piring kotor ini menghambat kinerja yang akan dibangun setelah mereka meninggalkan Aceh,” sebut Askhalani.

Askhalani juga menyebutkan, dengan tidak bisa dipenuhi hak-hak dasar masyarakat seperti pembangunan rumah dan fasilitas umum lainnya ditambah lagi BRR tidak perrnah bisa memberikan data akurat terhadap proyek yang mereka laksanakan telah cukup bukti kalau lembaga tersebut telah gagal melakukan tugasnya di Aceh.[003]

Proses Rehab-Rekon belum Selesai

Serambi Indonesia, 26 Desember 2008

BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.

Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009.
Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi.
“Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID. Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya.
Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal. Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)

Penyerahan Aset BRR Tidak Transparan

theglobejournal.com, 25 Desember

Hingga kini, penyerahan aset dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias kepada pemerintah daerah tidak transparan. Akibatnya, banyak proyek yang belum selesai juga diserahkan kepada pemerintah. “Berdasarkan data monitoring kami lakukan, tercatat bahwa format pemberian aset yang diserahkan kepada beberapa kepala pemerintah kabupaten atau kota tidak dipublikasikan secara transparan ke publik,” ujar Pjs. Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Rabu (24/12).

Menurut Askhalani, pada dasarnya hal tersebut sebenarnya sama dengan melakukan upaya pembohongan atas kondisi, objek dan juga kualitas dari aset yang diserahkan oleh BRR Aceh-Nias, sementara implimentasi dilapangan yang dilakukan BRR hanya mencantumkan jumlah angka dan ini tidak bisa dilakukan karena pihak penerima tidak akan bisa mencata nilai aset yang diterima. Merujuk Peraturan Menteri Keuangan dengan Nomor 62/PMK.06/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Negara Pada Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara, dijelaskan dalam pasal 6 cara mengajukan penetapan status penggunaan dilakukan.

Askhalani juga menyebutkan, kehati-hatian dari para pengambil kebijakan yang akan menerima aset dari BRR baik Pemerintah Aceh dan Bupati/walikota merupakan hal yang mutlak harus dilakukan sebab jangan sampai mereka seperti “Membeli kucing dalam karung atau menerima baju kotor yang belum dibersihkan. “Jika ini tidak dilakukan ke depan akan banyak sumber dana dari APBA dan APBK kab/kota yang habis terkuras setiap tahun untuk memperbaiki aset yang telah diberikan oleh BRR dikerenakan kualitas yang kurang baik,” sebut Askhalani.[003]

GeRAK : Tepat Bupati Aceh Barat Tolak Aset BRR

theglobejournal.com, 25 Desember

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai, tindakan Bupati Aceh Barat Ramli MS menolak tegas menerima aset dari BRR NAD-Nias adalah sebuah langkah yang sangat tepat dan seharusnya pemerintah daerah lain juga harus melakukan hal yang sama. “Apa yang dilakukan oleh Bupati Aceh Barat merupakan langkah yang patut diberikan apresisasi dan ancungan jempol, ini adalah sebuah reaksi yang cukup tepat ditengah belum jelasnya persoalan tentang sistem mekanisme aset yang akan diserahkan kepada seluruh rakyat Aceh atas dana-dana yang sudah digunakan kurun waktu empat tahun berjalan,” ujar Pjs. Koordinator GeRAK Aceh Askhalani kepada The Globe Journal, Rabu (24/12).

Menurut Askhalani, dari semua daerah tingkat dua di Aceh, hanya bupati Aceh Barat yang melakukan hal itu. ,Padahal banyak proyek BRR di daerah yang mereka pimpin juga belum selesai, namun mereka takut menolak. “Padahal jika dipikirkan lebih jauh, jika bupati dan walikota menerima aset yang kondisinya tidak jelas, maka ini menjadi ancaman bagi mereka sendiri karena harus merehab dan memperbaiki aset tersebut,” sebut Askhalani.

Askalani menambahkan, hal ini sebenarnya sudah terlambat karena sebagian besar kepala pemerintah tingkat dua di Aceh telah menandatangani serah terima asset tersebut, “Kita lihat saja nanti bagaimana mereka akan kewalahan menangani asset yang telah mereka terima,” tambahnya.

Askhalani menyebutkan, agar hal ini tidak lagi terulang, GeRAK Aceh mendesak Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota mengikuti langkah seperti yang dilakukan oleh Bupati Aceh Barat, jika aset yang diserahkan oleh BRR NAD-Nias tidak dilakukan verifikasi serta keakuratan atas data aset tidak disampaikan secara transparan maka aset yang diserahkan harus berani untuk ditolak dan tidak langsung diterima, “Karena ini akan cukup berbahaya terutama kedepan akan menjadi beban yang cukup tinggi terutama atas biaya merawat dan perbaikan atas aset dan dengan sendirinya mengerogoti uang publik di Aceh,” ujarnya.

Dia menjelaskan, Pemerintah Aceh sebagai pihak yang mempunyai kewenangan luas tidak boleh bersikap pasif ketika dihadapkan pada persoalan aset. Pemerintah Aceh punya hak dan harus berani untuk meminta pembuktian atas realisasi anggaran terhadap seluruh aset yang akan diserahkan oleh BRR NAD-Nias.
“Keberanian ini membuktikan realisasi anggaran sesuai dengan bukti faktual atas aset. Jika hal itu tidak dilakukan maka kecenderungan pemutarbalikan fakta atas semua nilai dan jenis aset berpotensi besar terjadi. Bukankan ini sebuah kondisi yang sangat riskan terutama atas semua nilai aset yang akan diserahkan? maka bersiap-siaplah Pemerintah Aceh bakal kena getahnya,” terangnya.[003]

23 Desember 2008

Unsyiah Diminta Lakukan Transparansi Anggaran

Harian Aceh, 22 Desember 2008

Sebelum menuju Badan Hukum Pendidikan (BHP) maka kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) harus melakukan transparansi ke Publik, khususnya mahasiswa dan dosen. Banyaknya anggaran yang beredar di Unsyiah bukan hanya milik Rektorat, melainkan milik rakyat yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Hal tersebut dikatakan Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhlani, SHI dalam diskusi publik yang di gelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik (BEM FT) Unsyiah dan Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK) di kantin fakultas itu, Sabtu (20/12).

Menurut Askhlani, jika mahasiswa tidak bisa mengakses danan yang beredar saat ini di Unsyiah, maka menimbulkan pertayaan publik, terhadap transparansi kampus tersebut.

“Jika Unsyiah yang menjadi tempatnya para ilmuwan menetap dan mencarai ilmu belum transparansi, maka bagaimana mahasiswa bisa mengharapkan transparansi anggaran di Pemerintah Aceh.” Kata Askhalani.

Dia menambahkan, saat ini mahasiwa dan dosen pun tidak bisa mengakses dana yang beredar di Unsyiah. Seharusnya Rektorat membuka akses itu agar tidak ada kecurigaan antara sesamanya.

Aktivis anti korupsi ini menyarankan agar FT duluan melakukan transparansi anggaran. Maka hal ini akan menjadi pukulan telak bagi rektor. “Jika rektor tidak mau melakukan trasparansi anggaran, maka mahasiswa gelar aksi massa aja.” Ujarnya yang mengaku tidak melakukan aksi provokasi.

Aktivis Aceh Society Taks Force (ACSTF) Aryos Nivada menambahakan, perubahan status kampus dari Perguruan Tinggi (PT) menuju BHP adalah bukti pemerintah tidak sanggup menanggung hak dasar rakyat, seperti kesehatan dan pendidikan. “Belum ada jaminan pendidikan akan lebih baik, ketika pemerintah meningkatkan harga pendidikan. malah yang terjadi hanya mengusir orang miskin dna menjadikan kampus hanya untuk orang kaya,” ujarnya

Aktivis peduli HAM itu juga mengatakan, ketika seorang dosen mengajar hanya untuk uang, maka transfer knowledge itu tidak efektif. Perubahan Diknas No. 2 tahun 1989 menjadi PP No. 61 tahun 1999 adalah bentuk cuci tangan pemerintah terhadap dunia pendidikan.

Sementara sosiolog Unsyiah, Dr. Shaleh Safei mendukung proses perubahan kampus dari PT menuju BHP, “ini kan proses disentralisasi atau otonomi kampus untuk menyelenggarakan pendidikan daerah. Sebenarnya Unsyiah sudah melakukan industrialisasi pendidikan. Buktinya dengan adanya kelas non reguler di Unsyiah, BHP hanya melakukan formalisasi hukum agar semua kampus di Indonesia bisa mandiri,” ujarnya. Menurut dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu, BHP juga untuk menyadarkan masyarakat yang kaya dan yang miskin. Jika mereka miskin maka silahkan mengikuti pendidikan sampai sembilan tahun yang diberikan gratis oleh pemerintah. Jika meraka mau anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka silakan berinvestasi.

“Mahasiswa jangan hanya mengkritik tanpa ada solusi. Kalau katanya belum siap menerima BHP, lantas kapan Unsyiah siap menerima BHP?” Ujarnya dengan tanda tanya. Ketua Jurusan Teknik Kimia, Dr. Ir. Muhammad Zaki, M. Sc menambahakan, jika Unsyiah sudah BHP maka semua kan mudah diakses, termasuk anggaran dan aset kampus. “Pertanyaannya mahasiswa pilih pendidikan bermutu atau pendidikan murah? Pilih Ijazah atau Ilmu yang di dapat?” ujarnya.

Menurutnya, yang penting saat ini semua elemen civitas akademika memperjuangkan akreditas kampus, agar kampus lebih baik.czf

Unsyiah Berpotensi Dapat Anggaran Ganda

Harian Aceh, 23 Desember 2008

Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dinilai sangat berpotensi mendapatkan anggaran ganda terhadap pelaksanaan program di kampus itu. Pasalnya, pada usulan anggaran ke DPRA tidak disertai dengan perencanaan program secara menyeluruh. “ Sebagai universitas Negeri yang dibiayai APBN, Unsyiah Seharusnya Transparan Mengenai Sumber-Sumber pendanaan yang mereka miliki, “ kata aktivis Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Arman Fauzi, Senin (22/12)

Menurutnya, banyak usulan program Unsyiah yang tidak mempunyai relevansi dan keterkaitan antara kegiatan yang dilakukan dengan hasil yang hendak dicapai pada program tersebut.

“ Anggaran kegiatan Ilmiah yang diusulkan tidak masuk akal, diantaranya item biaya publikasi hasil jurnal peneletian Internasional sebesar Rp. 10 juta perjudul”, ungkapnya. Unsyiah seharusnya, lanjut dia, ketika meminta usulan tambahan anggaran kepada DPRA juga menyertakan program perencanaan dan keseluruhan program Unsyiah dapat diketahui sumber pembiayaan, sehingga DPRA tinggal menyetujui yang belum ada sumber biaya. “ Jika ini tidak dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi double anggaran, semisal, pada anggaran yang sudah disediakanAPBN akan disediakan lagi oleh APBA ketika Unsyiah mengusulkan, “ jelasnya.

Anggaran bantuan untuk Unsyiah awalnya dalam RAPBA 2009 berjumlah Rp 31 Milyar, kemudian dalam pembahasan Pokja DPRA mereka kembali mengusulkan tambahan angaran sebesar Rp 79,6 Milyar. “ Unsyiah harus terbuka kepada Publik , berapa dana dana yang mereka terima setiasp tahun dan dari mana saja sumbernya, apakah APBN, APBA dan sumber-sumberlain”, katanya.

Sementara itu pengelola Jurnal Ilmiah Ekonomi Unsyiah, Muhammad Nasir, Ph.D, mengatakan banyak usulan program Unsyiah dalam rencana kegiatan anggaran (RKA) tidak mempunyai keterkaitan dengan hasil pencapaian . “ Ada kegiatan pembangunan gedung kedokteran Gigi, tapi hasil yang hendak dicapai malah meningkatkan IPK mahasiswa, ini kan aneh”, katanya.

RKA sendiri merupakan dokument yang memuat nama kegiatan, pencapaian program, dan hasil yang hendak dicapai (out put) . Usulan tambahan dari Unsyiah sebesar Rp 79,6 Milyar diperuntukan bagi pembangunan gedung fakultas kedokteran gigi.

Dia meragukan dengan besaran anggaran yang diminta untuk biaya publikasi jurnal Ilmiah, karena anggran kegiatan ilmiah yang diusulkan itu dianggap tidak masuk akal. “ saya pengelola jurnal Ilmiah Unsyiah tidak pernah meminta biaya pemuatan karya Ilmiah. Apalagi jurnal Internasional yang kredibilitasnya sangat tinggi” kata lulusan Bonn, Jerman itu.

Kejari Sigli Diminta Serius Tangani Kasus Korupsi APBK Pidie

Banda Aceh, 23 Des 2008

Kejaksaan Tinggi (Kejari) Pidie diminta serius menangani kasus korupsi APBK Pidie tahun anggaran 2002 senilai Rp. 878 juta. Pasalnya, tim Penyidik Satuan III Tipikor Polda Aceh sudah menuntaskan pengusutan dugaan penyalahgunaan anggaran publik pada pos Belanja Tak Tersangka itu dan seluruh berkas sudah dilimpahkan ke Kejari Sigli.

“Kejari Sigli harus serius melakukan penuentutuan sesuai dengan fakta hukum yang sesungguhnya. Momentum penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan pejabat tingggi Pidie itu harus dijadikan pembuktian bila Kejari Sigli mempunyai kinerja baik dan profesional, karena selama ini Kejari Sigli dinilai bermasalah di mata publik,” kata Ketua Mangar Program Monitoring Parlemen Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Abdullah Abdul Muthaleb, kemarin, di Banda Aceh.

Menurutnya Polda Aceh sudah menetapkan tersangka dalam kasus itu pada 10 April 2008 lalu dan sudah mengumumkan tersangka yang merupakan pejabat teras Pidie saat itu. “Ketiga tersangka itu yakni mantan Bupati Pidie Ir. Abdullah Yahya, mantan Wakil Bupati Pidie Drs. Djalaluddin Harun, dan mantan Sekda Pidie Drs. Imran Usman,” jelasnya.

Dikatakannya, Direktur Reskrim Polda Aceh, KBP Drs. HS Maltah, SH, Msi, pernah menyebukan bahwa setelah melalui proses penyidikan panjang, tim penyidik berhasil menuntaskan kasus tersebut. “Menurutnya, sesuai ketentuan bahwa anggaran tersebut harus digunakan untuk menangani bencana alam atau bencana sosial yang sifatnya mendesak. Tatapi dalam praktiknya, ketiga tersangka secara bersama-sama menggunakan dana itu untuk kepantingan pribadi dengan alasan biaya operasional Pemda termasuk untuk bantuan hari raya, serta bantuan kepada anggota DPRK setempat,” jelasnya.

GeRAK Aceh berharap pemberantasan korupsi tetap maksimal guna menghindari terbang pilih, termasuk kasus Pidie. Karena pada prinsipnya, kata dia, kasus yang sama dalam indikasi korupsi belanja tak tersangka Pidie, bukan hanya terjadi pada tahun anggaran 2002 tetapi juga terjadi pada 2004.

“Bahkan indikasi korupsi 2004 jauh lebih besar dibandingkan 2002. karenanya, diyakini pula akan banyak aktor lain yang di duga kuat terlibat dalam kasus ini,” ungkapnya.GeRAK Aceh juga menghargai kebijakan tim penyidik Polda Acehyang pada saat penyelidikan awal kasus itu, kemudian mengembangkan pada kasus sama, tetapi tahun anggaran beda.

“Anggaran Belanja Tak Tersangka 2004 menurut kami belum dipertanggungjawabkan secara terbuka dan transparan oleh pihak eksekutif pada saat perhitungan APBD Pidie 2004,” jelasnya.

Dari hasil audit BPK RI, paparnya, ditemukan dari total anggaran Rp. 18.498.364.000 itu, sebesar Rp 7.067.775.360 dinyatakan tidak sesuai peruntukannya dan kejanggalan pengelolaan uang rakyat itu semakin kuat dengan lahirnya keputusan DPRD Pidie pada 30 November 2006.

DPRD Pidie mengeluarkan keputusan nomor 30/2006 tentang hasil pembahasan laporan keterangan pertanggungjawaban bupati akhir masa jabatan dan penghapusan barang milik daerah. Pada pasal 1, disebutkan bahwa hasil pembahasan terhadap laporan keterangan pertanggungjawaban bupati akhir masa jabatan dengan catatan bahwa penggunaaan dana tak tesangka yang tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlakusupaya dikembalikan ke kas daerah.

Untuk itu, pihaknya mengharapkan, komitmen Kejari Sigli untuk segera melimpahkan kasus itu ke pengadilan sesuai dengan komitmennya pada saat penerimaan berkas hasil penyidikan dari tim penyidik Polda Aceh. Karena, masyarakat Pidie sudah lama menantikan agar kasus itusegera dituntaskan secara hukum di pengadilan.

“Kami bersama elemen masyarakat sipil lainnya di Pidie, akan tetap memantau proses penegakan hukum di tangan Kejari Pidie hingga ke Pengadilan,” katanya.

Untuk mengefektifkan pemantauan itu, pihaknya kan membentuk Tim Monitoring Korupsi Pidie, dengan melibatkan jaringan Aceh Damai Tanpa Korupsi (ADTK) di Pidie, dalam memantau penutasan kasus mulai proses lanjutan di Kejari Pidie hingga proses persidangan. ril

Temuan Sementara GeRAK Aceh 30 Persen Dana P2KP BKM Bungong Seulanga Terindikasi Korupsi

Harian Aceh, 23 Desember 2008-12-24

Sekitar 30 Persen dari Rp 91.014.000 dana sosial Program penanggulangan Kemiskinan Perotaan (P2KP) yang dikeloloa bandan Kemakmran Mesjid (BKM) Bungong Seulanga, elurahan Sukaramai, Banda Aceh, diduga kuat penyaluran bersifat fiktif.

“Itu baru temuan awal” ungkap Yulindawati, Staf Monitoring Rehabilitasi dan Rekonstruksi GeRAk Aceh, Senin (22/12). Menurutnya pengelolaan dana sosial atas lima program sosial untuk masyarakat Sukaramai tersebut, tidak tepat sasaran. Bahkan, peserta kegiatan tersebut didominasi oleh anggota BKM itu sendiri. Hal itu dibenarkan oleh Ilyas Hanafiah, Kepala Lingkungan Keumala, Sukaramai. Selama ini, program BKM untuk anggaran tahun 2007 tersebut tidak diketahui sama sekali. “ contohnya untuk bantuan orang jompo, ada nama yang sudah meniggal tujuh tahun, tapi masih menerima bantuan” kata Ilyas. Dari anggaran 2007 yang dikelola BKM Bungong seulanga, ada lima program yang sementara diduga terindikasi mark –up dan fiktif. Lima program tersebut, bantuan untuk orang Jompo dengan anggaran Rp. 29. 800.000, santunan anak yatim (Rp. 30 Juta), bantuan untuk orang cacat (Rp. 10.800.000), pelatihan kue tradisional (Rp.8.500.000) dan pelatihan menjahit (Rp.12.414.000). Khusus untuk bantuan Jompo, Kata llyas, ada empat item barang yang disalurkan yaitu susu anline (120 Kg), roti kaleng (120 sak), gula (5 Kg) dan beras satu sak untuk ukuran 15 Kg. “tapi yang disalurkan hanya beras satu sak dan uang yang bervariasi antara Rp 90 ribu-Rp135 ribu”, jelasnya. Bahkan program bantuan orang jompo yang ditargetkan untuk 121 orang tersebut, hanya 116 orang yang menerima bantua “ itupun kalau dikaji dari LPJ nya, yang tertera hanya 120 orang”, tambahnya

Menurut temuan GeRAK, kata Linda, khusus untuk program orangjompo ini, ada nomor urut penerima bantuan yang dihilangkan, yaitu nomor urut 46, 94, 96, 109 dan nomor 112. Sementara untuk bantuan anak yatim, diduga penyaluran barang barang dari P2KP tidak pernah ada. Menurutnya, selama ini, dari pengakuan beberapa anak yatimdi sukaramai, mereka menerima bantuan hanya dari OKI. Bukan P2KP. Untuk banuan cacat. Dtemukan kejangalan penyaluran yakni pada salah satu warga yang sama sekali tidak cacat fisiknya. Ilyas menyebutkan penerima bantuan korban cacat tersebut, diterima oleh Totok.. “ Kesehariannya ia mengajar les karate, kok dibilang cacat. Ujarnya.

Katanya, dari sekian banyak bantuan, korban cacat hanya menerima satu sak beras lima belas kilo. Sementara anggaran yang dibuat program, diplokan sebesar Rp 10.400.000. “ Diduga pihak BKM meraup keuntungan dari beras tersebut berkisar enam jutaan rupiah”, katanya. Linda juga menmbahkan, dalam laporan pertanngung jawaban BKM tersebut, terdapat banyak sekali faktur-faktur yang bermasalah. Selain itu, ada beberapa peserta program pelatihan yang dilaksanakan oleh BKM, didominasi oleh anggota BKM it sendiri. “ Sayangnya fihak Faskel P2KP, Korkot dan PJOK Baiturrahman, tidak teliti dalam pemeriksaan LPJ tersebut”’ ungkap Linda.

Seharusnya lanjut Linda, pihak tersebut tidak langsung menandatangani Laporan Pertanggung Jawaban Kerja (LPJK) BKM bungong Seulanga, kalauada hal-hal seprti ini. “ Belum lagi, ada daftar bantusn penerima bantuan yang ganda. Tapi, ianya tidak mendapatkan bantuan. Lalu kemana bantuan itu disalurkan”, Sambung Ilyas. Pihak warga meminta agar Word Bank Selaku donatur P2KP dan jajaran untuk memblokir angaran bantuan 209. “ ditunda bantuan dulu bantuan itu, kalau kasus penggelapan dana ini belum jelashasilnya. Kalaupun disalurkan, kami minta pengurus BKM diganti, Pinta Ilyas. cbn

17 Desember 2008

Kasus Lahan Blang Panyang, Tim Kejati aka turun ke Lokasi

Harian Aceh, 17 Desember 2008

Kejaksaan Tinggi Aceh akan turun ke Lhokseumawe untuk mempelajari kasus dugaan korupsi dalam pembebasan lahan Blang Panyang sumber dana APBK Lhokseumawe tahun 2007. Sementara terkait kasus dugaan korupsi dana operasional North Aceh Air (NAA) sumber dana APBK Aceh Utara tahun 2008, Kejati tengah menunggu hasil audit BPKP.

Hal tersebut dikatakan Wakajati Aceh Muhammad Yusni, SH,MH, menjawab pertanyaan Asra Rizal, Koordinator Bidang Monitoring dan Advokasi MaTA Aceh dalam sesi dialog pada acara ‘Mendorong Partisipasi Publik untuk Terwujudnya Peradilan yang Bersih dan Transparan di Aceh’. Acara yang digelar GeRAK Aceh bekerja sama dengan Kemitraan berlangsung di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Senin (15/12), Wakajati Muhammad Yusni menjadi salah satu pemateri.

Di kesempatan itu, Wakajati Aceh menyatakan pihaknya terlebih dahulu akan meminta Kejari Lhokseumawe untuk memproses kembali kasus Blang Panyang, sehingga proses hukum tidak berhenti di tengah jalan.

“Saya menanyakan kepada Wakajati Muhammad Yusni sejauh mana sudah pengusutan kasus dugaan korupsi dana operasional NAA Rp6 miliar bersumber dari APBK Aceh Utara 2008. Ia mengatakan pihaknya tengah menunggu hasil audit dari BPKP. Saya juga menanyakan tentang kasus lahan Blang Panyang. Wakajati mengaku pihaknya akan turun langsung ke lokasi. Tapi, ia tidak menjelaskan lebih lanjut terkait hal itu,” kata Asra Rizal, saat dihubungi, kemarin.

Sebagaimana diketahui, kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Blang Panyang awalnya ditangani pihak Kejari Lhokseumawe. Namun, belakangan Kajari Lhokseumawe Tomo, SH, menyatakan hasil penyelidikan pihaknya belum ditemukan adanya indikasi korupsi dalam kasus tersebut. Mengetahui hal itu membuat sejumlah NGO antikorupsi—yang mengadvokasi kasus tersebut, gerah. Mereka menilai Kajari Tomo tidak serius dalam pemberantasan kasus korupsi di Lhokseumawe.

Sementara Kajari Lhokseumawe Tomo, saat dihubungi ke telepon genggamnya, kemarin, mengatakan pihaknya tidak melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus Blang Panyang karena belum ditemukan indikasi korupsi. “Sudah saya katakan kemarin (bulan lalu—red), kan persoalannya di surat kuasa. Kalau memang pemilik lahan merasa tidak memberikan surat kuasa, silakan diadukan pembuat surat kuasa tersebut dulu. Karena bukti yang kita dapat, ada surat kuasa,” katanya.

Lahan milik warga di Desa Blang Panyang seluas 20 ha dibebaskan oleh Pemko Lhokseumawe dengan dana APBK tahun 2007. Menurut pemilik lahan, Pemko Lhokseumawe hanya membayar Rp10 ribu per meter tanah, sementara yang dipertanggungjawabkan ke kas daerah Rp20 ribu per meter sehingga Pemko diduga telah menggelembungkan harga pembebasan lahan tersebut mencapai Rp2 miliar.(irs)

01 Desember 2008

GeRAK: Kejati - BPKP Bekerja Sama Tutupi Kasus

Harian Aceh, 1 Desember 2008

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh bersama tim audit Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh ditengarai salingkerja sama dalam menutupi sebuah kasus.

“Kedua lembaga itu pura-pura saling tuding untuk menutupi diri, padahal sama-sama berusaha membenamkan kasus,” ujar koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani di Banda Aceh kemarin.

Menurut dia, kerja sama tersebut dapat dilihat lewat pola kerja yang diperankan oleh kedua lembaga itu dalam mengusut sebuah kasus korupsi. Mereka sering saling menyalahkan sebagaimana pada kasus Tarbiyah dan kasus-kasus BRR.

“Seharusnya mereka (Kejati dan BPKP) harus bekerja dengan fungsinya masing-masing. Pengauditan yang dilakukan BPKP itu kan berdasarkan permintaan yang dibarengi surar pernyataan dari Kajati. Nah, disini fungsinya menghitung kerugian yang ada, naumun yang terjadi selama ini BPKP terkesan memperlambat perhitungan kasus-kasus yang dilimpahkan ke lembaga itu,” kata Askhalani.

Selama ini masyarakat menilai kinerja Kejati sangat lemah. Bagi publik, Kejati merupakan lembaga penyidik yang dibentuk pemerintah menuntaskan sebuah kasus hingga ke pengadilan, sementara BPKP itu kinerjanya tidak pernah disalahkan karena badan itu bekerja sesuai permintaan dari tim penyidik.

“Atas dasar ini kita dapat melihat fungsi Kejati itu apa dan BPKP itu apa. Di antara keduanya sebenarnya saling kait-mengait yang tidak boleh dipisahkan. Keterlambatan BPKP merupakan keterlambatan bagi Kejati, jadi jika kedua lembag a ini selalu saling menyalahkan berarti hanya kedok utnuk menutupi kelemahan diri,” paparnya.

Dijelaskannya, bila merujuk dari perundang-undangan yang berlaku, BPKP Aceh tidak punya alasan memperlambat perhitungan sebuah kasus hingga berbulan-bulan apabila pihak Kejati-Aceh meminta badan itu untuk segera menyelesaikannya. “Secara akal sehat, apabila adanya kedisiplinan atau desakan yang dilakukan Kejati kepada BPKP, tim pengaudit itu tidak mungkin akan melanggarnya, sehingga alasan yang selama ini diperankan oleh BPKP, seperti kekurangan anggata atau akan dilimpahkan atau sedang diproses pada sebuah kasus yang sudah berbulan-bulan tidak terjadi,” lanjutnya.

Pihaknya berharap, tim penyidik dapat memberikan tekanan disiplin kepada tim pengauditnya. “BPKP juga bekerjalah sesuai undang-undang, sehingga kasus-kasus yang ada di Aceh baik yang masih ditangani Kejati maupun di tangan BPKP segera terungkap,” harapnya.

30 November 2008

Dewan Desak Kejati Perjelas Kasus KM Pulau Deudap, GeRAK : Informasi terakhir di Audit BPKP

Harian Aceh, 30 November 2008

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendesak pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh memperjelas status kasus pengadaan KM Pulau Deudap. Sementara dalam catatan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, informasi terakhir kasus itu sedang dalam audit Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRA, Moharriadi, ST, S.Ag, mengatakan untuk memperjelas status kasus kapal cepat yang menghabiskan dana APBA sebesar Rp22,5 miliar itu, pihak kejaksaan harus memaparkan secara transparan ke publik. ”Jangan sampai opini negatif masyarakat terhadap kinerja aparat penyidik dalam menangani sebuah kasus makin buruk,” sebutnya saat dihubungi, Sabtu (29/10).

Menurutnya, bagi publik kegagalan kejaksaan menyelesaikan sebuah kasus akan berimbas pada kinerja pemerintah, terutama dalam pemberantasan korupsi di Aceh yang sedang digalakkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, melalui program clean goverment-nya.

Penjelasan tentang kasus yang mengakibatkan KM Pulau Deudap itu bersandar di dermaga Pasiran Sabang, katanya, pihak kejaksaan tidak perlu menutup diri. Apa pun status hukum dalam kasus KM Deudap itu harus dijelaskan ke publik. “Apa masih dalam pemeriksaan atau telah diputuskan perkaranya oleh Kejati Aceh, dengan dikeluarkan Surat Pemberhentian Pengusutan Perkara (SP3) perlu adanya penjelasan konkret,” lanjut Moharriadi.

Jangan karena sudah di-SP3 atau tidak diusut lagi, katanya, pihak kejaksaan enggan menyampaikan ke masyarakat. “Dengan keterbukaan mereka, pasti masyarakat beranggapan Kejati Aceh benar-benar bekerja, namun sebaliknya jika seperti ini malah menyebabkan opini negatif dari masyarakat timbul seiring banyaknya penanganan kasus yang tidak selesai,” paparnya.

Diaudit BPKP

Sementara itu, GeRAK Aceh dalam catatan terakhirnya menyebutkan kasus itu sedang dalam audit oleh BPKP. Hal itu pernah disampaikan Asisten Intelijen Kejati Aceh, M Adam, beberapa waktu lalu di salah satu media lokal di Aceh.

”M Adam menyampaikan itu sekitar bulan Juli lalu, tapi setelah itu kasus tersebut malah hilang. Dengan demikian kami menilai ada indikasi permainan aparatur pemerintah dalam pengusutan kasus itu,” kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, kemarin, di Banda Aceh.

Menurut Askhal, berhentinya pengusutan kasus KM Pulau Deudap menunjukkan upaya Kejati untuk mempeti-es-kan kasus tersebut sangat tinggi. Hal itu dapat dilihat dari cara bekerja tim penyidik yang terkesan menutup diri untuk menyampaikannya ke publik.

”Pola kerja Kejati seperti ini tidak hanya pada kasus KM Pulau Deudap tapi masih banyak kasus lainnya belum terusut tuntas. Catatan kami, ada 20 kasus lama dari BRR dan 15 kasus baru lainnya belum mendapat penjelasan dari Kejati Aceh hingga saat ini,” tandasnya.

Sedangkan Kasi Penkum Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis, mengaku pihaknya baru menemukan file kasus KM Pulau Deudap, berhubung sebelumnya kasus pengadaan kapal cepat yang telah menghabiskan dana puluhan miliar tersebut, tidak pernah diketahuinya selama menjabat sebagi Humas di Kejati Aceh.

”Saya bukannya tidak mau memberikan keterangan. Karena saya baru menjabat sebagai Humas di sini, jadi terus terang kasus ini saya tidak bisa menjelaskannya, sebelum pihak jaksa yang menangani kasus ini menjelaskan kronologis yang sesungguhnya,” sebutnya.

Rasab menambahkan, dengan telah ditemukannya file kasus itu akan membantu pihaknya untuk segara menyampaikan kepada publik, bagaimanapun status kasus itu saat ini agar masyarakat di Aceh mengetahuinya.(min/ril)

18 November 2008

Kasus Korupsi APBD Agara, Armen Desky Jadi Tersangka

Serambi Indonesia, 18 November 2008

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Bupati Aceh Tenggara, H Armen Desky, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Agara 2005-2006. Demikian ditegaskan Jurubicara KPK, Johan Budi, menjawab Serambi di Jakarta, Senin (17/11).

Menurut Johan, proses penyidikan terhadap tersangka hingga kini masih berlangsung dan diperkirakan baru tuntas dua bulan. “Setelah penyidikan selesai baru dilanjutkan penututan,” kata Johan Budi.

Johan tidak tidak menampik kemungkinan bertambahnya tersangka baru dalam kasus tersebut, sementara berapa besar jumlah kerugian negara akibat perbuatan tersangka saat ini masih dihitung. Meskpun telah ditetapkan sebagai tersangka, namun KPK berlum melakukan penahanan terhadap Armen Desky.

Dugaan kasus korupsi APBD Aceh Tenggara yang disidik KPK itu merupakan satu dari enam berkas dugaan korupsi APBD dalam kurun waktu 2005-2006 di enam kabupaten/kota di Aceh, yang dilaporkan Gubernur Irwandi Yusuf pada Maret 2008 silam.
Meliputi Kabupaten Aceh Barat, Aceh Barat Daya (Abdya), Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Gayo Lues senilai Rp 202 milyar.

Keseluruhan berkas tersebut diserahkan gubernur secara resmi kepada Wakil Ketua KPK M Yasin. Sebelum itu, gubernur juga melaporkan kasus di Aceh Timur dan Bireuen. Namun, dari seluruh laporan dugaan korupsi tersebut, KPK baru menindaklanjuti kasus Aceh Tenggara.

Gubernur Irwandi Yusuf sebelumnya mempertanyakan penanganan laporan dugaan korupsi di enam kabupaten itu. Sepengetahuan dirinya, baru kasus Aceh Tenggara yang diperiksa, dan belum mendengar pemeriksaan terhadap lima kabupaten lainnya.
“Tentu kita mempertanyakan hal ini kepada KPK, sejauh mana sudah penanganannya,” kata Irwandi.

Jangan tebang pilih

Sementara itu, secara terpisah, aktivis Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh, Akhiruddin Mahjuddin menaruh apresiasi terhadap penanganan dugaan kasus korupsi APBD Aceh Tenggara menyusul ditetapkanya Armen Desky sebagai tersangka oleh KPK.

Namun, kata pria yang kerap disapa Udin tersebut, KPK diminta tidak hanya melakukan fokus penyidikan kepada Armen. Sebab, dugaan korupsi tersebut disinyalir juga turut melibatkan sejumlah pejabat lainnya di Pemerintahan Aceh Tenggara.

“KPK jangan tebang pilih. Jangan ada istilah penetapan tersangka terkesan bagian dari pesanan, by order atau ada nuansa politis. KPK harus mencari tersangka lain yang ikut terlibat dari kasus tersebut,” katanya.

Dia sebutkan, bila KPK menetepkan tersangka karena muatan politis, maka tindakan itu dinilai telah mencederai rasa keadilan rakyat. Menurut Udin, pihaknya mensinyalir tidak hanya Armen yang menikmati dana APBD yang diduga telah dikorupsi itu. Akan tetapi, katanya, diyakini ada pejabat lain di pemerintahan setempat yang juga turut menikmati dana tersebut

Pihaknya juga mendesak agar KPK segera menahan Armen pascapenetapan status mantan bupati Aceh Tenggara itu sebagai tersangka. Hal ini penting agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan berupaya menghambat orang lain untuk menjadi saksi, baik dalam proses penyidikan maupun persidangan serta untuk memberikan rasa keadilan kepada publik.(fik/sar)

17 November 2008

Soal Terminal Mobar, GeRAK Surati KPK Pekan ini

Harian Aceh, 18 November 2008

Wacana Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani kasus pembebasan lahan terminal Mobar sudah bulat. Dipastikan, meraka akan menyurati KPK dalam pekan ini.

KPK diminta menyelidiki dugaan penggelembungan dana pada pembebasan lahan terminal Mobardi Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar, setelah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mewancanakan penghentian penyelidikan kasus tersebut.

Pjs Koordinator GeRAK, Askhalani mengaku sudah menyiapkan surat tersebut untuk dikirimkan ke KPK Pusat. “Tinggl kirim ke KPK pusat dalam pekan ini secara resmi. Kami serius terhadap ini, bukan gertak belaka,” katanya di Banda Aceh, kermain.

Menurut Askhal, pertimbangan untuk meminta KPK menyelidiki kasus Terminal Mobar sudah lama dipikirkan pihaknya setelah melihat potensi tim penyidik di Aceh masih lemah dalam menyelidiki kasus korupsi.

“Lemahnya kemampuan penyidik Kejati Aceh mengungkapkan ksus korupsi yang ditangani lembaga itu hilang begitu saja,” kata Askhal.

Kasus pembebasan lahan terminal Mobar, menurut Askhal, telah terjadi pembohongan publik terkait harga tanah yang dibayarkan dengan harga sebenarnya. “Kita lihat saja ketika KPK turun ke lapangan. Saat itu kita bisa menilai kinerja tim penyidik kita yang masih sangat jauh dari yang kita harapkan,” terang Askhal.

Pada pemberitaan sebelumnya, Kejati Aceh yang selama ini menangani kasus tersebut mewacanakan penghentian penyelidikannya.

Kesimpulan tidak adanya penyimpangan pada pembebasan lahan yang dilakukan oelh Tim Sembilan itu, setelah para jaksa itu turun langsung ke lokasi terminal Mobar. min

15 November 2008

Gerak Desak Pengusutan Tuntas Kasus Pemotongan Uang BBM Pegawai Dinkes

Serambi Indonesia, 15/11/2008

BANDA ACEH - Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh mendesak aparat kejaksaan mengusut tuntas dugaan pemotongan uang operasional bahan bakar minyak (BBM) di Dinas Kesahatan (Dinkes) Banda Aceh. Menurut para pegiat antikorupsi di lembaga itu, apapun alasanya, pemotongan uang tetap sebuah pelanggaran.

Pj Koordinator Gerak Aceh, Askhalani mengatakan, pemotongan itu mengandung unsur pidana. Apalagi ditambah tidak jelasnya penggunaan uang yang dipotong selama ini.

“Pertama, kita harus memberi apresiasi atas kerja Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh yang berhasil membongkar kasus ini,” ujar dia kepada Serambi, kemarin.

Namun, kata Askhalani, Dewan jangan diam sampai di situ. Dia menyarankan agar lembaga legislatif mengusut tuntas kasus tersebut. Dengan demikian, kerja sebuah lembaga wakil rakyat
––yang salah satu tugasnya––mengawasi jalannya roda pemerintahaan, bisa dipertanggungjawabkan ke publik.

“Kami mengharapkan dewan mendorong kasus ini untuk diusut oleh penyidik.
Karena, memotong uang itu pidana. Meskipun ada kesepakatan, tetap tidak dibenarkan. Di samping itu, praktik tersebut harus segera dihentikan,” tegasnya.

Belum lagi, dari jumlah uang yang dipotong berkisar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu per pegawai per bulan. Bila dikalkulasikan, puluhan juta rupiah uang dimaksud tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Karena janjinya uang yang dipotong dibagikan kepada 48 pegawai yang tidak memperoleh uang operasional BBM. Sedangkan sisa uang dimaksud tidak jelas penggunaannya,” tukas dia.

Ashkalani menyebutkan, kasus semacam itu tidak boleh dilihat dari besarnya nilai uang. Sebab, praktik itu dilakukan dengan modus sangat cantik dan rapi. Kalau kasus pemotongan uang semacam ini terus dibiarkan, kata dia, semakin memudahkan pejabat di instansi lain melakukan tindakan serupa, dengan dalih sudah disetujui.

“Padahal, bawahannya tidak setuju kalau ditanya secara jujur dari hati ke hati. Tapi mereka mengiyakan karena ada unsur takut pada atasan,” duganya. “Kalau dibiarkan, pegawai golongan rendahan berpenghasilan pas-pasan akan terus menjadi korban. Sekali lagi, kasus ini harus diusut tuntas.”

Seperti diketahui, kasus itu terungkap ketika Panitia Anggaran (Pangar) DPRK Banda Aceh mengevaluasi kinerja dan realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Kota (APBK) 2007, pada 4 November silam. Pangar mendapatkan laporan pemotongan BBM dari 163 pegawai Dinkes yang diberi kendaraan operasional. Pemotongan tersebut dipastikan dengan pengakuan Kepala Dinkes (Kadiskes) Banda Aceh, Media Yulizar.(sup)

13 November 2008

Para Rekanan Nyatakan Ikhlas, GeRAK: Uang Terima Kasih = Suap

Serambi Indonesia, 14 November 2008

ANDA ACEH - Sepuluh rekanan pemenang tender proyek pada Dinas Pendidikan Aceh, Kamis (13/11) kemarin mendatangani Mabes Serambi Indonesia untuk menyampaikan sebuah surat pernyataan. Isinya, mereka nyatakan tidak ada unsur paksaan saat mereka memberikan uang kepada PPTK Dinas Pendidikan Aceh, sebagaimana terekam oleh video anggota Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), Senin (10/11).

“Uang itu kami berikan dengan ikhlas, tanpa ada unsur paksaan,” kata Fahdinur Fadil SE, Kuasa Direktur PT Jamil Kongsi dan Hadimiswar, Direktur CV Tumbuh Sejahetra, mewakili sepuluh rekannya, kepada Serambi.

Usai menjelaskan maksud kedatangannya ke Mabes Serambi, Fahdinur Fazil dan Hadimiswar menyerahkan surat pernyataan terkait berita harian ini kemarin tentang pungli di Dinas Pendidikan Aceh yang terekam video seorang anggota TAKPA.

Pada permulaan surat pernyatannya itu mereka mengakui bahwa benar telah memberikan uang kepada pihak pembuat kontrak yang jumlahnya bervariasi, antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta, bahkan ada yang lebih. Tapi uang tersebut diberikan untuk biaya cetak dan penggandaan dokumen kontrak plus biaya lainnya, yaitu biaya ketik kontrak dan materai. Jadi, bukan biaya “pungli/upeti”.

Pada poin 2 surat pernyataan itu, disinggung soal isu “pungli/upeti”. Bahwa sebagaimana diberitakan, PPTK/pembuat kontrak jika tidak diberikan upeti/pungli oleh rekanan, maka SPK/kontrak sangat lamban dikerjakan. Tapi sebaliknya, jika diberikan “upeti”, maka pada hari itu juga SKP/kontrak bisa langsung ditandatangani dan diambil oleh rekanan. Menurut para rekanan, berita tersebut tidaklah benar.

Poin 3, terkait berita di atas para rekanan merasa berita tersebut terlalu dibesar-besarkan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Pada poin 4, para rekanan itu menyatakan, “Apa pun yang kami berikan kepada pembuat dan sebagai biaya cetak pengadaan kontrak, itu bukanlah unsur paksaan, melainkan ikhlas.”

Pakta integritas

Terkait dengan pemberitaan tersebut, Ketua Kadin Aceh, Firmandez, Ketua LPJK Nova Iriansyah, dan Ketua Ardin Aceh, Hazwan Amin, didampingi pengusaha besar Aceh, Beldi, di Kantor Kadin Aceh kemarin mengatakan, dalam mekanisme tender atau lelang dan pemberian pekerjaan ada yang namanya pakta integritas. Jadi, antara PPTK dan rekanan pemenang tender hendaknya saling memegang aturan dimaksud.

Konkretnya, pemberian dana di luar yang tidak diatur hendaknya jangan dilakukan rekanan dan PPTK pun harus berani menolaknya. “Sebab, jika itu dilakukan, bisa membuat proses tender dan pelaksanaan proyek menjadi tak lagi sehat,” tukas Firmandez.

Pemerintah sebagai pemilik proyek, ungkap Hazwan menambahkan, sudah menyiapkan perangkat prasarana dan sarana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan lelang dan kontrak kerja dengan cukup, termasuk pembiayaannya. Sebaliknya, pihak rekanan yang ikut tender serta yang telah menang tender pun punya tanggung jawab. Jadi, masing-masing harusnya memegang aturan yang telah diatur, sehingga proses pelelangan proyek APBA bisa berjalan di atas relnya dan hasil proyek itu juga nanti bisa dinikmati rakyat dengan kualitas standar dan tak ada lagi berita tentang proyek yang ditelantarkan atau dikerjakan asal jadi oleh rekanannya.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, kata Hazwan Amin, membentuk tim antikorupsi tentulah punya misi dan tujuan yang dia inginkan, yakni agar pelaksanaan pemerintahannya bisa berjalan baik dan bersih, tanpa KKN. Cita-cita Gubernur itu, harusnya ditindaklanjuti oleh seluruh dinas/badan untuk bermain sesuai aturan, supaya kegiatannya tidak menjadi temuan TAKPA yang dibentuk Gubernur Irwandi. “Sehingga apa yang menjadi misi dan cita-cita Gubernur Irwandi Yusuf dalam masa pemerintahannya ini bisa menjadi kenyataan,” ujar Ketua Ardin Aceh itu.

Sama dengan suap

Praktik pungli yang diduga terjadi di Disdik Aceh dan sempat terekam video itu, mengundang reaksi dari Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh. Lembaga itu menyebutkan, pungutan liar atau uang terima kasih tersebut sama halnya dengan suap, berpotensi merugikan keuangan negara.

Gerak mendesak agar TAKPA segera melaporkan temuan hasil rekaman video pungli tersebut kepada aparat penegak hukum.

“Tindakan pungli yang dilakukan oleh oknum dinas tersebut sudah termasuk kategori tindakan melanggar hukum,” kata Pj Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, dalam pernyataan tertulis kepada Serambi kemarin.

Menurutnya, berdasarkan analisa atas kasus praktik tersebut bukan dilakukan oleh satu orang saja, melainkan dilakukan secara berjemaah.

Dia sebutkan, khusus dalam proses pelayanan administrasi di kantor-kantor pemerintah di manapun tidak dibenarkan untuk meminta pungutan kepada para pihak atau menerima imbalan dari tugas yang dilaksanakan.

Menurut Askhalani, praktik pungli yang diduga terjadi di Disdik Aceh itu juga bertentangan dengan UU RI Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam Pasal 5 ayat (6) UU tersebut dinytakan bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih, baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Kami mendesak Gubernur untuk segera memecat oknum-oknum yang ikut bermain dalam praktik pungli tersebut, karena tindakan yang dilakukan telah melanggar aturan hukum serta kode etik dan sumpah yang diucapkan saat dilantik menjadi PNS,” ungkapnya. (her/sar)

KASUS PROYEK TERMINAL MOBAR, Kejati Akan Hentikan Pengusutan, Hasil Temuan Lapangan tak Terbukti. GeRAK ACEH : Kami Akan Laporkan Ke KPK

Serambi Indonesia, 14 November 2008

Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menyatakan akan menghentikan pengusutan kasus dugaan mark-up (penggelembungan harga) pembebasan tanah untuk proyek pembangunan terminal mobil baran (Mobar) di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Jaksa belum menemukan adanya unsur tindak pidana korupsi sebagaimana disinyalir Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dalam laporannya beberapa waktu lalu.

“ Secara hukum belum ditemukan ada indikasi penggelembungan harga (mark-up). Bahkan disana itu tidak ada lagi harga tanah Rp. 700 ribu/meter. Tapi sudah diatas satu juta,” kata Kasie Penkum/Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH, kepada wartawan, Kamis (13/11), usai survei lapangan di lokasi lahan pembangunan terminal Mobar yang dipimpin Asintel Kejati Aceh, M Adam SH.

Sebelumnya,laporan GeRAK mensinyalir telah terjadi mark-up dalam proses pembebasan tanah tersebut. Menurut GeRAK, dalam penetapan harga tanah yang besarannya Rp. 700 ribu/meter tersebut telah terjadi penggelembungan harga. Hal ini dibuktikan dengan telaah perbandingan atas harga pembebasan yang dilakukan oleh Satker BRR- Pengembangan Sarpras Lembaga Permasyarakat Banda Aceh di wilayah Desa Santan untuk pembangunan Lapas dan Rutan Banda Aceh yang hanya dibayarkan sebesar Rp. 142.500/meter kepada 51 pemilik tanah.

Menurut Ali Rasab, harga pembelian tanah terminal Mobar sebesar Rp. 700 ribu/meter itu sudah wajar. Hal ini disimpulkan setelah pihaknya melakukan cross check langsung ke lokasi dan bertemu dengan keuchik dan sekretaris kecamatan setempat, kemarin. “Secara faktual setelah kita cek, keuchiek mengatakan memang segitu harganya. Jadi kita berkesimpulan belum ada indikasi penyelewengan harga dalam pembeliaan tanah tersebut,” jelasnya.

Dia katakan, lokasi lahan pembangunan terminal Mobar berada di pinggir jalan Banda Aceh – Medan. Karena letaknya di pinggir jalan, kata Ali Rasab, maka saat ini harga jual tanah di kawasan itu tidak ada lagi yang di bawah Rp. 1 juta/meter seperti ditegaskan keuchik setempat.

Berbeda dengan lokasi pembangunan LP Banda Aceh yang berada di dekat sawah, sekitar 1 km dari lokasi terminal Mobar, yang masih memerlukan dana untuk penimbunan. Kondisi ini membuat harga antara tanah terminal Mobar dengan LP Banda Aceh juga terjadi perbedaan harga.

“ Karena itu, sepertinya tidak ada lagi yang kita panggil. Cuma Keuchik yang akan kita panggil untuk penetapan harga untuk dituangkan secara hukum. Disamping itu, harga tersebut juga sudah ditetapkan oleh Tim Sembilan, jadi sah secara hukum,” katanya.

Meskipun begitu, kata Ali Rasab, keputusan menghentikan kasus tersebut sepenuhnya berada di tangan Kajati. “Bisa saja ditindaklanjuti kembali kalau ada bukti-bukti baru yang bisa dipertanggungjawabkan,” demikian Kasie Penkum/Humas Kejati Aceh. (sar)


GeRAK ACEH : Kami Akan Laporkan Ke KPK

Banda Aceh – Keputusan Kejati akan menghentikan kasus tersebut ternyata menuai reaksi dari GeRAK Aceh. Meraka menilai, sikap tersebut merupakan salah satu bukti Kajati lemah dalam penegakan hukum.

“Sudah kita duga dari awal Kajati tidak akan mampu mengungkap kasus ini. Kita sangat kecewa. Ini bukti kelemaha Kajati,” kata Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, kepada Serambi kemarin.

Menurutnya, dalam kasus tersebut pihak Kejati dinilai hanya terfokus pada pertimbangan harga berdasarkan lokasi lahan terminal dan tidak berupaya maksimal mengungkapkan mengapa bisa terjadi penetapan harga tanah yang jumlahnya mencapai Rp. 700 ribu/meter. “Kami sangat kecewa, dan akan melaporkan kasus ini kepada KPK,” tegas Askhalani.

Terkait kasus ini, sebelumnya Kejati Aceh sudah memintai keterangan dari beberapa orang yang tergabung dalam Tim Sembilan bentukan Pemkab Aceh Besar. Termasuk di antaranya Sekdakab Aceh Besar, Dahlan, Yusmadi dan Salikin.

Pembabasan lahan Terminal Mobar ini sendiri dilakukan pihak pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar dan Pemko Banda Aceh dengan luas lahan 2 hektar lebih dengan pagu anggaran Rp. 13.774.810.000 bersumber dari BRR Aceh – Nias. (sar)

Penyelidikan Terminal Mobar Bakal Berhenti, GeRAK Ancam Surati KPK

Harian Aceh, 14 Nopember 2008

Kejakasaan Tinggi (Kejati) Aceh mewacanakan penghentian penyelidikan terhadap kasus dugaan mark-up pembebasan lahan terminal mobil baran (Mobar) di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Sementara Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh akan menyurati KPK jika wacana jaksa tersebut terwujud.

Wacana penghentian penyelidikan tersebut karena Kejati Aceh menilai tarif tanah yang dibebaskan Panitia Sembilan di desa Santan sudah sesuai prosedur. Hal ini terungkap setelah delapan penyelidik Kejati yang dipimpin Asintel M Adam dan Kasie Penkum Humas Ali Rasab Lubis turun ke lokasi pada Kamis (13/11).

Ketika di lapangan, mereka melihat langsung latak tanah terminal seluas dua hektar yang dibeli oleh pemerintah kabupaten senilai Rp. 13.774 Miliar dari APBN 2008 yang sebelumnya diduga telah terjadi penggelembungan harga seperti yang dilaporkan oleh LSM GeRAK Aceh beberapa bulan lalu.

“Kami nilai sangat wajar dengan harga yang dibayarkan Tim Sembilan sebesar Rp. 700 ribu per meter, karena lokasinya terletak di pinggir jalan. Tanah disitu memang segitu harganya malah ada harga Rp. 1 juta per meter,” kata Ali Rasab, kermarin.

Saat dilapangan, tim jaksa tesebut juga ditemani oleh Keuchik Desa Santan dan Sekcam Ingin Jaya. Berdasarkan keterangan dari mereka, dan pantauan langsung, akhirnya jaksa menyimpulkan untuk mewacanakan penghentian penyelidikan kasus tersebut.

“Jika dibandingakan harga pembebasan lahan Lembaga Permasyarakatan (LP) yang lokasinya dalam satu desa yakni Rp. 500 ribu per meter dengan harga pembebasan tanah terminal yang harganya Rp. 700 ribu per meter, memang terjadi penggelembungan harga Rp. 200 ribu per meter. Namun harus dilihat lagi, kalau lokasi LP agak jauh dari jalan, sementara lahan terminal dekat jalan.” Kata Ali Rasab.

Menurut Rasab, hasil di lapangan tersebut nantinya akna dilaporkan ke kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh. “Kalau nanti katanya pemeriksaan dilanjutkan ya kita lanjutkan, kalau tidak baru kami hentikan,” ujarnya lagi.

Rasab mengatakan sebelum pihaknya turun ke lapangan, penyelidik sudah memeriksa beberapa orang yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut, diantaranya Sekda Aceh Besar Dahlan, Anggota Panitia Sembilan Yusmidi dan Sadikin. “Atas penjelasan mereka sehingga tim penyidik turun ke lokasi,” katanya.

Ancam Surati KPK

Sementara Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengaku akan menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, jika Kejati Aceh menghentikan penyelidikan kasus tersebut. “Jika dihentikan kami akan meminta KPK untuk melanjutkan penyidikan tersebut,” kata Askhal, kemarin.

Askhalani mengaku dari semula sudah ragu terhadap penyelidikan Kejati Aceh pada kasus tersebut. Sebelumnya GeRAK sudah memprediksi kasus tersebut akan menghilang begitu saja.

Menurutnya keinginan untuk menyutati KPK bakal dilaksanakan secepatnya, karena dalam kasus tersebut ada permasalahan yang sangat rumit yang tidak dapat mampu diselidiki Kejati Aceh.

“Itu bukan masalah tarif tanah, ada permainan harga tanah antara panitia dengan laporannya untuk mendapatkan laba besar yang dapat merugikan negara. Jadi bukan setelah melihat lokasi, jaksa langsung menilai harganya sudah sesuai. Kami sangat kecewa jika hal itu dijadikan sebagai alasan untuk menghentikan penyelidikan,” sebut Askhalani. min

Di Duga sarat Penyimpangan, Anggaran Tsunami Drill tak jelas

Harian Aceh, 14 Nopember 2008

Sumber dana yang dipakai Pemerintah Kota Banda Aceh untuk biaya kegiatan simulasi tsunami atau ‘tsunami dril’ di Kecamatan Meuraxa pada Minggu (2/11) lalu, hingga kini belum jelas. BRR Aceh-Nias yang disebut-sebut oleh Pemko sebagai donatur utama, malah membantah sudah mencairkan dana untuk proyek yang berdurasi 1,5 jam tersebut. Sehingga, seremonial itu ditengarai sebagai ajang korupsi para pejabat.

“Belum seperser pun dana kami cairkan untuk kegiatan tersebut,” kata Juru Bicara BRR Aceh-Nias, Juanda Djamal, yang dihubungi Harian Aceh, Kamis (13/11) malam.

Menurut Juanda, anggaran pelaksanaan ‘tsunami dril’ baru sebatas pengajuan Pemko Banda Aceh kepada BRR sebesar Rp900 juta. Namun, BRR baru sebatas mempelajari proposalnya. “Karena belum cair dari BRR, sementara ini segala biaya pelaksanaan ditanggung oleh Pemko setempat,” ungkap Juanda.

Pernyataan Juanda bertentangan dengan pengakuan Walikota Mawardi Nurdin dan Wakil Walikota Illiza Saaduddin. Mereka mengaku dana yang sudah terpakai pada simulasi sebesar Rp200 juta dari bantuan BRR. “Yang kami gunakan pada simulasi tersebut dari bantuan BRR sebesar Rp200 juta,” kata Wakil Walikota Illiza Saaduddin, kemarin.

Menurut Illiza, sumber dana pelaksanaan ‘tsunami dril’ dari DIPA 2008 sebesar Rp900 juta yang diajukan kepada BRR Aceh-Nias. Dari jumlah tersebut, BRR baru mencairkan Rp200 juta. Minimnya pencairan dana dari BRR tidak mampu menutupi kebutuhan pelaksanaan kegiatan simulasi bencana tersebut, akibatnya kegiatan tersebut menyisakan hutang.

“Dana Rp200 juta dipakai untuk perencanaan kegiatan, transportasi, pengadaan 1000 baju peserta, konsumsi peserta, dan uang saku 4000 peserta sebesar Rp15 ribu per orang. Jadi, tidak cukup, sehingga kami banyak berutang di luar seperti di restoran,” kata Illiza.

Namun, Illiza enggan menyebutkan rincian dana yang sudah dihabiskan pada simulasi tersebut. Dia mengatakan simulasi yang diikuti 4000 orang yang terdiri dari berbagai elemen itu tidak memakai APBA dan APBK Banda Aceh. “Anggaran ini dari DIPA, karena simulasi ini dilakukan di tingkat nasional,” ujar Illiza.

Pernyataan Illiza juga bertolak belakang dengan yang diungkapkan Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin. Mawardi menyebutkan kegiatan simulasi tersebut tidak menyisakan hutang. Menurutnya, pihak pelaksana menyesuaikan anggaran minim yakni Rp200 juta yang dibantu BRR.

“Uang yang diberikan BRR Rp200 juta sudah kami sesuaikan, meski kecil tapi tidak meninggalkan hutang,” kata Mawardi yang dihubungi Kamis (13/11) malam.

Sementara Ketua Harian Pelaksana ‘Tsunami Drill’, Dandim 0101/Aceh Besar Letkol Inf Fauzi Rusl mengaku sama sekali tidak mengetahui tentang besaran anggaran yang dihabiskan pada pelaksanaan simulasi tersebut. “Yang saya tahu, dana tersebut dari BRR. Mengenai besar anggaran itu urusan ibu Illiza (Wakil Walikota Banda Aceh—red),” katanya.

Sebagai ketua pelaksana harian, kata Dandim, dirinya hanya bertugas menyiapkan personil, baik untuk peserta maupun keamanan.

Ajang Korupsi

Pelaksanaan ‘tsunami drill’ ditengarai hanya sebagai ajang penghamburan uang rakyat yang berpotensi terjadinya korupsi. Karenanya, sumber dana dan penggunaan anggaran yang dipakai Pemerintah Kota Banda Aceh untuk membiayai simulasi tsunami tersebut menjadi tanda tanya sejumlah elemen sipil.

Pengakuan Pemko telah memakai dana BRR Rp200 juta malah mengundang kecurigaan tentang adanya ‘permainan’ di balik proyek tersebut. Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menyebutkan sepengetahuan pihaknya hingga kini belum ada pencairan dana BRR untuk ‘tsunami drill’.

“Berdasarkan data di KPPN yang kami telusuri, belum ada SP2D untuk acara simulasi tersebut,” kata Pjs Koordinator GeRAK, Askhalani, kemarin.

Dia mengatakan biaya yang dipakai oleh Pemko untuk kegiatan ‘tsunami drill’ harus diusut. Bahkan, pernyataan walikota dan wakil walikota yang bertolak belakang dengan pernyataan BRR dan data di KPPN patut dicurigai. “Ini harus diusut, dari mana dana begitu besar diambil pemerintah? Apalagi BRR belum sepeser pun mencairkan dana yang diajukan pemerintah sebesar Rp900 juta,” kata Askhal.

Dikatakannya, jika Pemko mengambil anggaran tersebut dari kas Pemko atau dari APBK untuk menutupi biaya pelaksanaan tersebut, maka secara aturan sudah salah. Karena, ‘tsunami drill’ bukan sebuah bencana, melainkan acara seremoni yang bertujuan menghambur-hamburkan uang rakyat.

“Masyarakat yang diikutkan dalam acara tersebut banyak mengeluh karena belum dibayar honornya oleh pemerintah hingga sekarang,” kata Askhal.

Pertanyakan Honor

Tidak hanya masyarakat yang belum dibayar honor oleh Pemko pada kegiatan ‘tsunami drill’ tersebut, tapi sekitar 387 relawan PMI yang ikut terlibat dalam acara itu juga belum diberikan haknya oleh Pemko.

"Kami hanya menerima biaya makan sebesar Rp15 ribu per orang dan juga biaya perlengkapan lainnya, seperti obat-obatan , perban dan lainnya. Sedangkan honor belum kami terima,” kata Ketua PMI Kota Banda Aceh, Qamaruzzaman Hagni, kemarin.

Qamaruzzaman yang tidak tahu persis jumlah honor yang nantinya diterima, mengaku sudah mengajukan secara tertulis kepada Pemko tentang pengadaan honor tersebut.

Menurut dia, dalam kegiatan tersebut relawan PMI Kota Banda Aceh memang tidak menuntut banyak. “Kami kan relawan apapun yang ditugaskan untuk membantu masyarakat siap mengerjakannya. Tapi honor kami untuk acara semacam ini harus diperjelas,” tuturnya.(adi)

04 November 2008

GeRAK Pinta KPK Ambil Alih Kasus Terminal Mobar

theglobejournal, 3 November 2008

Upaya penyelidikan yang dilakukan pihak Kejaksaan Tinggi Aceh terkait kasus dugaan Mark-Up harga pembebasan tanah pada proyek pembangunan terminal mobil barang di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar. Sampai saat ini belum jelas perkembangannya dan terkesan pihak Kejati Aceh tidak serius menangani kasus tersebut. Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai, kondisi tersebut terindikasi seperti ada unsur “permainan” dalam penanganan kasus tersebut. “GeRAK Aceh beberapa waktu lalu menghadap pihak kejaksaan tinggi untuk dimintai keterangan dalam kasus ini. Namun setelah sekian lama, kami belum mendengar perkembangan kasus yang berarti,” ujar Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani kepada The Globe Journal Senin (3/11).

Menurut Askhalani dalam pernyataan tertulis, GeRAK Aceh sudah melaporkan kasus mark up harga pembebasan tanah terminal mobil barang Kota Banda Aceh kepada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. GeRAK Aceh mencatat, kasus ini dilaporkan secara langsung ke KPK di Jakarta pada 29 Juli 2008 yang diterima langsung oleh penerima laporan pengaduan masyarakat KPK di Jakarta.

Selanjutnya, tambah Askhalami, pada 19 September 2008 pihak Kejaksaan Tinggi Aceh mengirim surat secara resmi kepada GeRAK Aceh. Dalam surat tersebut GeRAK Aceh dimintai keterangan sebagai klarifikasi sehubungan dengan adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan tanah pembangunan terminal mobil barang di desa Santan dan Meunasah Krueng Ingin Jaya. Surat dengan Nomor:R-593/N.1.3/Dek.3/09/2008 dan langsung ditandatangani oleh Asisten Intelijen Kejati Aceh, M.Adam, SH. “GeRAK Aceh memenuhi undangan penegak hukum tersebut dengan harapan kasus tersebut terselesaikan, mewakili GeRAK Aceh Arman Fauzi, Abdullah Abdul Muthaleb dan Hayatuddin menghadap Jaksa Ali Rasab Lubis, SH pada 23 September 2008, dalam pertemuan tersebut pihak Kejaksaan Tinggi langsung meminta keterangan dan kemudian menyusun dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP),” papar Askhalani.

Akan tetapi, sebut Askhalani, hingga hari ini kami belum mendengar perkembangan penyelidikan kasus tersebut, baik melalui media maupun secara langsung. Dengan tidak adanya informasi perkembangan kasus tersebut, masyarakat menjadi bertanya-tanya keseriusan pihak kejaksaan tinggi Aceh mengusut kasus indikasi korupsi yang melibatkan orang-orang “besar”. “GeRAK Aceh mendesak pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil alih penyelidikan kasus yang sedang ditangani oleh Tim Kejaksaan tinggi Aceh. Berdasarkan pantuan yang dilakukan, GeRAK Aceh menilai ada hal-hal yang berpotensi kasus tersebut tidak akan tuntas di laksanakan oleh pihak kejaksaan tinggi karena trend dalam penegakan hukum cukup lemah dan mengecewakan,” sebut Askhalani.

Menurut Askhalani, GeRAK Aceh juga mendesak pihak Kejati Aceh untuk menyampaikan ke publik mengenai perkembangan penanganan kasus tersebut. Publik berhak mengetahui perkembangannya, meskipun bukan pada informasi materilnya, namun minimal masyarakat tahu sejauh mana perkembangannya. Jika ini tidak dilakukan, maka masyarakat dapat menilai komitmen Kejati Aceh dalam menuntaskan kasus korupsi di Aceh. “Kami juga mendesak Kejaksaan Agung untuk menurunkan tim melakukan monitoring terhadap kinerja pihak kejaksaan di daerah dalam mengusut kasus korupsi. hal ini penting dalam memperbaiki dan menyelematkan citra penegak hukum itu di mata masyarakat,” ungkap Askhalani

29 Oktober 2008

Somasi dan GeRak Berharap Tersangka Korupsi tetap Ditahan

Serambi indonesia, 30 Oktober 2008

TAPAKTUAN- Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Somasi) Aceh Selatan dan GeRAK Aceh meminta Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan, serta majelis hakim yang menangani perkara kasus korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 2005 tetap konsisten dengan aturan hukum dan tidak terpengaruh dengan permintaan bupati dan dukungan DPRK agar tersangka ditangguhkan penahanannya.

“Ketua PN harus konsisiten dan tidak terpengaruh dengan permohonan bupati,”kata Saiful Bismi dalam Pers Relissnya yang ditangani oleh Pjs Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, Koordnator Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Somasi) Aceh Selatan, Saiful Bismi yang dikirim ke Serambi Selasa (28/10).
Dikatakannya, Ketua PN dan Majelis hakim harus komitmen dengan ketentuan dalam menagani perkara kasus korupsi dana bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi Bangunan (PBB) tahun 2005.
Yakni tetap mempertahankan para terdakwa dalam penahanan selama proses hukum persidangan berlangsung.
Dia menilai alasan yang disampaikan oleh Bupati untuk mengajukan penahanan luar adalah merupakan alasan yang cukup klasik serta bukan permanen yang sifatnya mendesak misalnya sakit parah atau lainnya. Merujuk atas surat yang diajukan terutama untuk para terdakwa dikarenakan mereka adalah pegawai negeri sipil serta masih dibutuhkan tenaganya untuk tetap dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab menurut jabatan masing-masing adalah hal yang kontradiktif, dan bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih (Clean and Good Governance).
Dan jika hal itu tersebut terjadi, maka bisa berdampak secara langsung terhadap penanganan sejumlah dugaan indikasi kasus korupsi baik yang dilaporkan oleh Somasi Aceh Selatan maupun yang saat ini sedang diproses oleh pihak Kejaksaan dan Kepolisian Aceh Selatan. Seharusnya, kata dia, Bupati tidak melakukan hal tersebut mengingat sebagaian besar para pelaku korupsi di sana adalah mayoritas berasal dari PNS. Dan jika ini terus dilakukan oleh Bupati maka tidak akan menimbulkan efek jera terhadap para pelaku tindak pidana korupsi di Aceh Selatan.
Berdasarkan dari hal diatas, kami dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Somasi) Aceh Selatan menyatakan sikap mendukung langkah dari pihak Ketua Pengadilan Negeri Tapaktuan serta Majelis Hakim yang menagani perkara untuk menolak secara tegas atas surat permintaan penangguhan penahanan terhadap terdakwa dalam Kasus Korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi Bangunan (PBB) Tahun 2005 yang diajukan oleh Bupati Aceh Selatan.

Pemeriksaan saksi
Pantauan Serambi, Selasa (29/10), sidang lanjutan perkara dugaan Korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi Bangunan (PBB) Tahun 2005 di Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan berlangsung tertib. Namun, sidang pemeriksaan saksi yang diadili majleis hakim Hamzah SH (Ketua), Roni Susanta SH (anggota) dan Dadi Suryandi SH (anggota). Dalam persidangan pemeriksaan saksi itu hanya dihadiri tiga saksi, yakni Drs H Harmaini (Sekdakab), Basaruddin (Kabag Keuangan) dan Muhammad Rizal
(Bendahara Umum Daerah).
Selain itu dalam persidangan tersebut juga tampak hadir Drs HT Lizam Mahmud (tersangka). Sementara mantan Bupati Aceh Selatan, HT Machsalmina Ali yang juga dijadikan saksi dalam kasus itu tidak hadir dalam persidangan tersebut. Menurut informasi yang bersangkutan sudah kembali ke kediamanya di Banda Aceh.(az)

26 Oktober 2008

Aktivis Antikorupsi Kecewa, Bupati Asel Minta Penangguhan Penahanan 5 Tersangka Korupsi

Serambi Indonesia, 27 Oktober 2008

BANDA ACEH - Para aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Gerakan Anti-Korupsi (GeRAK) Aceh, dan Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi (SoMASI) Aceh Selatan, menyatakan kecewa terhadap kebijakan Bupati Aceh Selatan yang meminta penangguhan penahanan lima tersangka kasus korupsi di kabupaten setempat.
“Ini adalah suatu tindakan yang sangat bertolak belakang dan antitesis dengan semangat pemberantasan korupsi di Aceh,” tulis Pjs Koordinator Badan Pekerja GeRAK Aceh, Askhalani dan Koordinator SoMASI Aceh Selatan, Saiful Bismi, dalam siaran pers kepada Serambi, Minggu (26/10).
Pernyataan bersama itu dikeluarkan menyikapi surat Bupati Aceh Selatan tertanggal 23 Oktober 2008 dengan nomor 180/793/2008 perihal kasus korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Tahun Anggaran 2005. Menurut Askhalani, kelima orang itu telah ditahan oleh kejaksaan Negeri Tapaktuan sejak 27 Agustus 2008 sampai 15 September 2008, dan diperpanjang kembali sejak tanggal 16 September 2008 hingga kasus ini dilimpahkan ke PN Tapaktuan.
Kelima terdakwa itu, sebut Askhalani adalah, Drs T Lizam Mahmud (mantan Kepala Dispenda Aceh Selatan), Sulaiman SE, Rahmansyah SE, Basyahwaly, dan M Yasin SH (semuanya staf Dispenda Aceh Selatan). “Surat Bupati Aceh Selatan tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tapaktuan Aceh Selatan, Majelis Hakim yang menangani perkara kasus tersebut.
Dengan alasan permohanan penangguhan penahanan tersebut bahwa kelima para terdakwa adalah PNS,” sebut Askhalani.
Menurut siaran pers itu, berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Negara Nomor: LAP-235/PW.01/5/2008 tanggal 18 Juni 2008, perbuatan para terdakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 409.272.000.

“Berdasarkan atas data bukti surat, diketahui bahwa permintaan penangguhan penahanan seperti tertera dalam surat yang ditujukan untuk Ketua Pengadilan Negeri Tapaktuan dan Majelis Hakim yang menangani perkara dengan nomor surat 180/793/2008 tertanggal 23 Oktober 2008, yang ditandatangani langsung oleh Husin Yusuf selaku Bupati Aceh Selatan dengan Perihal Penangguhan/Pengalihan Jenis Penahan,” tulis Askhalani dan Saiful Bismi dalam siaran pers tersebut. Hingga berita ini diturunkan tadi malam, Serambi belum memperoleh keterangan resmi dari pihak terkait di Aceh Selatan.
Askhalani dan Saiful Bismi menilai, kebijakan atau alasan penangguhan penahanan yang disampaikan oleh Bupati Husin Yusuf adalah suatu alasan dan kebijakan yang sangat kontradiktif dan bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat serta Gubernur Aceh.
Karenanya, mereka mendesak pihak DPRK Aceh Selatan untuk segera mengklarifikasi surat permintaan permohonan penangguhan penahanan terhadap kelima terdakwa korupsi dana PBB yang diajukan oleh Bupati kepada Ketua Pengadilan Negeri Tapaktuan. Mereka juga mendesak Bupati Aceh Selatan supaya segera mencabut surat permohonan penangguhan penahanan tersebut.
“Kami juga berharap kepada Pengadilan Negeri Tapaktuan terutama majelis hakim yang menangani perkara Drs. T. Lizam Mahmud Cs, untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, karena selama ini penegakan hukum di Aceh Selatan masih mandul,” demikian siaran pers tersebut.(*/nal)

Penahanan Tersangka Mark Up Timbangan Portable, GeRAK Puji Kinerja Polisi, Pemko dan DPRK Sabang Mendukung

Serambi Indonesia, 27 Oktober 2008

Gerakan Rakyat Anti-Korupsi (Gerak) Aceh mendukung langkah Kepolisian Resor (Polres) Sabang menahan tiga tersangka kasus mark up timbangan portable. Gerak memuji, tindakan itu merupakan kerja nyata polisi setempat memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme di wilayah hukumnya. Ketiga tersangka ditahan tiga hari lalu yakni Kadishub Sabang Azhari Daud, bersama dua stafnya, Rusli Is dan Ismail. Koordinator Badan Pekerja Gerak Aceh, Akhiruddin Mahjudin, mengungkapkan penahanan Kadishub Sabang merupakan tindakan positif. Akan tetapi, dia berharap Polres tidak sekadar sesaat menahan tersangka, kemudian ditangguhkan. “Kalau itu terjadi, menunjukkan ketidakseriusan polisi. Akhirnya, publik akan bertanya-tanya tentang motif penahanannya,” ujar Akhiruddin kepada Serambi, kemarin. Dia mengingatkan itu lantaran tidak ingin terulang pengalaman seperti selama ini. Kata dia, sebelumnya juga banyak kasus ditahan, kemudian dilepas kembali. Akibatnya, akhir kasus itu tidak jelas. Menurut Akhiruddin, penahanan yang dilakukan polisi akan memberikan efek jera. Akan tetapi, dia mendesak kepolisian agar tidak berhenti sampai di situ. Sebab, penyidikan juga harus dilakukan secara serius, dengan memberi hukuman seberat-beratnya. “Dalam kasus ini, publik Sabang dan Aceh menunggu kerja nyata kepolisian, agar keadilan bagi masyarakat dapat ditegakkan,” cetusnya.

Dapat dukungan
Walikota Sabang, Munawar Liza Zainal, menyatakan dirinya menghormati segala proses hukum berlangsung. Sementara itu, dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Sabang, Anggota Fraksi Amanat Bulan Bintang, Abdullah Imum juga menyatakan dukungannya bagi penegakan hukum yang tengah dilakukan Polres Sabang, terkait kasus mark up pengadaan timbangan portabel bersumber dari APBK Sabang 2006. “Dengan adanya penahanan ini, kesan selama ini di publik bahwa penegakan hukum di Sabang tidak berjalan, menjadi tidak benar. Buktinya, kasus timbang portable sudah diproses,” ujar Abdullah. Kendati begitu, ia berharap semua pihak tidak serta merta memvonis ketiga pejabat yang kini ditahan di Rutan Polres Sabang, sebagai pihak yang bersalah. Menurut Abdullah, prinsip praduga tak bersalah dalam konteks ini, juga harus dikedepankan. “Hak-hak para tersangka juga harus dihormati. Salah atau tidaknya mereka, pengadilan yang akan memutuskan. Jadi, kita tidak boleh memvonis dulu sebelum ada keputusan pengadilan,” kata dia
Seperti diberitakan sebelumnya, Kadishub Sabang bersama dua stafnya ditahan usai menjalani pemeriksaan lanjutan pada Jumat (24/10), sekira pukul 15.00 WIB. Kapolres Sabang, AKBP Imam Thobroni, menjelaskan penahanan ketiga tersangka untuk memudahkan dan mempercepat pemeriksaan berikutnya. Kasat Reskrim Polres Sabang, Ipda Mahyuddin Daud, mengungkapkan dari hasil pemeriksaan terungkap, ketiga perusahaan yang mengajukan penawaran tender dipimpin orang sama. Ketiganya berbasis di Yogyakarta. “Tindakan ketiga tersangka terkait pengadaan Timbangan Portabel itu, sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi,” ujar Mahyuddin.(aza/fs)