24 September 2008

Korban Tsunami Menderita Di Barak, BRR Gelar Buka Puasa Bersama Di Jakarta

Harian Aceh, 23 September 2008

Mendapat Sorotan dan Kritikan dari berbagai kegiatan yang dinilai tidak memihak kepada korban Tsunami, ternyata tidak membuat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh –Nias Jera. Senin (2/9) BRR kembali menggelar buka Puasa bersama yang dipusatkan dibalai Kartini Jakarta.

Buka puasa tersebut disebutkan untuk bersilaturrahmi dengan Dewan Pengarah dari DPR RI juga dengan Masyarakat Paguyuban Aceh di Jakarta. Menurut sumber Harian Aceh, acara tersebut selain dihadiri oleh undangan dari Jakarta juga dihadiri oleh hampir seluruh pejabat teras BRR di Aceh, dari level direktur keatas “ Diantara mereka ada yang sudah berangkat tiga hari sebelum acara dimulai”, kata sumber itu.

Dia menuturkan, BRR menganggarkan Rp 150 ribu untuk setiap porsi makanan yang dihidangkan bagi setiap undangan dengan jumlah lebih dari 200 undangan. Kata dia, sepuang dari sana BRR juga akan menggelar buka puasa yang dikhususkan bagi wartawan yaitu pada abu(22/09).

Askhalani, Pjs Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK), menyayangkan acara buka puasa bersama yang dibuat BRR di Jakarta.. Menurut dia, sanagt tidak tepat jika acara tersebut dibuat di Jakarta, sementara di Aceh ribuan pengungsi tsunami masih tinggal di barak-barak, seperti barak Bakoi Aceh besar.

“ Sangat besar manfaatnya bila BRR mengadakan buka puasa bersama di barak pengungsi. Mereka sangat membutuhkan bantuan BRR dari pada yang di Jakarta tersebut”, kata Askhal

Disebutkannya, para pengungsi Tsunami tersebut sudah hampir 4 kali puasa berada di barak, namun hampir tidak pernah BRR menjamu mereka buka Puasa. “ Padahal uang yang dikelola BRR adalah sumbangan untuk mereka, terlepas BRR menyatakan mereka yang kini di Barak bukan lagi korban Tsunami (penyewa), tapi faktanya di Barak Bakoi masih ada warga asli Lampulo yang rumahnya masih terbengkalai, dan kini masih tinggal disana”, papar dia

Askhal menyebutkan biarpun BRR hanya menganggarkan Rp 150 ribu, tapi biaya perjalanan serta akomodasi sejumlah pejabat BRR selama disana tentunya tidak garatis. Mereka juga menggunakan uang rakyat, “ Uang Rp 150 ribu untuk dua orang lebih kalau dibagikan ke pengungsi di barak. Mereka sangat bersyukur dan dapat membeli baju baru buat anak-anaknya, “lanjutnya.
Sementara juru bicara BRR Juanda Djamal mengakui pihaknya mengadakan acara Buka puasa bersama di balai Kartini di Jakarta. Menurut dia, acara tersebut bentuk silaturrahmi dengan warga Aceh di Jakarta dan forum bersama DPR-RI,

Menurut dia, alasan BRR membuat acara tersebut untuk menyambung silaturramhmi menjelang akhir masa tugas BRR di Aceh. Total dana yang dikeluarkan untuk acara tersebut, kata dia hanya sekitar 40 juta, yakni untuk sekitar 200 orang undangan dan sewa gedung.

18 September 2008

Kasus Terminal Mobar, GeRAK Dukung Langkah Kejati

Serambi Indonesia, 19 September 2008

BANDA ACEH-Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh menyambut baik dan memberi dukungan penuh terhadap langkah Kejakasaan Tinggi (Kejati) Aceh mengusut kasus dugaan mark-up harga pembebasan tanah proyek pembangunan Terminal Mobil Barang (Mobar) Terpadu di Desa Santan dan Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, senilai Rp 14,9 miliar. Bahkan LSM tersebut siap memberi informasi dan data yang dibutuhkan lembaga kejaksaan dalam menangani kasus ini.

Pernyataan dikemukakan Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani melalui pers realisnya yang diterima Serambi, Kamis (18/9). “Kita memberi apresiasi kepada Kejati Aceh yang telah menangani pengusutan kasus ini,” tulisnya. Meskipun begitu, LSM yang konsisten terhadap upaya pemberantasan kasus korupsi ini tetap mewarning lembaga penegakan hukum itu untuk tidak main-main dalam penanganan kasus tersebut. Bahkan mereka meminta aparat kejaksaan harus transparan ke publik hasil pengusutan kasus dimaksud.

Menurut GeRAK, penyelidikan yang dilakukan kejaksaan tidak hanya dilakukan terhadap pejabat Aceh Besar, tetapi pejabat Kota Banda Aceh juga harus ikut diperiksa dalam kasus ini. “Karena proyek ini merupakan insiatif antara kedua daerah tersebut, dan hasil investigasi yang kami lakukan ada keterlibatan Pemko Banda Aceh. Maka pejabat Pemko Banda Aceh juga harus diperiksa kalau ingin kasus ini diusut secara transparan,” tegasnya. Bahkan, lanjut Askhalani, GeRAK sebagai sebuah lembaga yang awalnya membongkar dan melaporkan kasus tersebut punya hak untuk dapat mengakses proses penyelidikan yang sedang ditangani aparat kejaksaan. Sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dimana dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) PP tersebut menyebutkan, bahwa setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.

Selain dari aturan dalam pasal 2, juga disebutkan dalam pasal 4 ayat dua (2) disebutkan bahwa, penegak hukum atau komisi wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi, saran, atau pendapat dari setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat diterima. Maka berdasarkan atas aturan hukum tersebut, katanya, pihak kejaksaan yang menangani penyelidikan atas kasus tersebut harus membuka kran informasi setiap perkembangan atas penyelidikan yang dilakukan secara transparan dan memudahkan akses serta tidak ditutup-tutupi mengenai hasil penyelidikannya. Ia juga mengatakan, kasus ini juga sudah dilaporkan ke KPK. “Tapi kita tidak tahu mengapa KPK sampai saat ini belum juga mengusutnya. Terhadap upaya Kejati yang kemudian telah mengusut kasus ini, maka kami minta KPK juga tidak boleh lepas tangan dan harus bahu-membahu dalam penanganan kasus dimaksud,” tandasnya.

16 Kasus

Askhalani juga mengatakan, selain kasus dugaan mark up pengadaan tanah terminal mobar itu, selama periode 2005-2008, pihaknya juga sudah melaporkan 15 kasus dugaan korupsi lainnya ke KPK. “Berdasarkan hasil investigasi ditemukan adanya potensi kerugian keuangan negara dalam berbagai kasus yang sudah kita laporkan selama periode 2005-2008, termasuk juga ke KPK. Tapi proses penanganan atas kasus-kasus tersebut berjalan lamban,” kata Askhalani.

Ia menyebutkan, dua kasus dugaan korupsi terakhir yang dilaporkan kepada KPK adalah kasus dugaan suap yang dilakukan Bupati Simeulue, Darmili kepada oknum pejabat di Departemen Kehutanan. Kasus itu dilaporkan pada, 29 Juli 2008 dengan nomor registrasi 2008-07-000948. Serta laporan dugaan TPK mark up harga tanah pembebasan lahan pembangunan terminal mobil barang dengan tanggal pelaporan pada 29 Juli 2008, nomor registrasi 2008-07-000947. Namun, proses penanganan kedua kasus tersebut hingga kini masih belum jelas. “Bahkan banyak kasus yang dibutuhkan penyelidikan cepat ternyata tidak dilaksanakan, sehingga kemudian berimbas atas penghilangan bukti-bukti yang menguatkan atas kasus tersebut,” katanya. Askhalani menyebutkan, selain kepada KPK, pihaknya juga telah melaporkan berbagai kasus korupsi lainya kepada aparat penegak hukum di Aceh, baik yang bersumber dari dana APBN, APBD, BRR Aceh-Nias, dan dari anggaran umum. (sup/sar)

Kasus Terminal Mobar Sekda Aceh Besar Diperiksa Termasuk Empat Pejabat Lainnya

Serambi Indonesia, 18 September 2008

BANDA ACEH - Sekda Aceh Besar, HT Mohd Dahlan bersama empat pejabat lainnya, Nurdjali Budiman (Asisten I), T Sabiluddin (Kepala BPN), Yusmadi (mantan Kadis Kimpraswil), dan Syukri (Kabag Tata Pemerintahan) diperiksa tim jaksa penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Rabu (17/9). Kelima pejabat tersebut diperiksa terkait pengusutan kasus dugaan mark-up (penggelembungan) harga pembebasan tanah untuk lokasi pembangunan terminal mobil barang (mobar) di Desa Santan dan Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar senilai Rp 14,9 miliar tahun 2007 yang dananya bersumber dari BRR NAD-Nias. Kasi Penkum/Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH didampingi Kasi Sospol, Jufri SH, dan Kasi Prodsarin, Amanto SH kepada Serambi, kemarin, mengakui pihaknya sedang melakukan pengusutan kasus dugaan mark-up harga tanah terminal mobar di Aceh Besar. “Setelah kita melakukan operasi intelijen beberapa waktu lalu, ternyata memiliki dugaan kuat adanya penyimpangan dalam pengadaan tanah terminal mobar ini. Maka kasus ini kemudian ditingkatkan ke penyelidikan,” kata Ali Rasab.

Dalam penyelidikan kasus tersebut, untuk tahap awal, tim jaksa penyelidik mengundang lima pejabat Aceh Besar untuk dimintai keterangan. “Kita telah memintai keterangan kelima pejabat yang terkait dalam pembebasan tanah itu, termasuk di antaranya Sekda Aceh Besar,” katanya. Mengenai hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap kelima pejabat Aceh Besar itu, Ali Rasab tidak mau memberi penjelasan lebih rinci. “Keterangan yang kita mintai masih tahap klarifikasi terhadap data yang kita miliki saat ini. Dari hasil pemeriksaan tadi semakin memperkuat adanya penyimpangan dalam kasus ini,” ujarnya. Berdasarkan hasil klarifikasi terhadap kelima pejabat tersebut, pihak tim penyelidik akan melakukan pendalaman kembali. “Ini kasus besar, kami tidak mau ceroboh dalam mengambil kesimpulan. Maka untuk kasus semacam ini tetap harus hati-hati. Untuk saat ini kami akan dalami kembali, dan penyelidikannya akan dilanjutkan setelah lebaran,” katanya sembari menambahkan bahwa kasus ini tetap akan diusut sampai tuntas.

Berdasarkan pengamatan Serambi, Sekda Aceh Besar, Mohh Dahlan tiba di Kejati Aceh sekitar pukul 09.00 WIB mengenakan baju safari warna biru tua. Sesaat tiba di Kejati langsung digiring ke lantai II sebagai tempat berlangsungnya pemeriksaan secara tertutup. Begitu juga Asiten I Setdakab Aceh Besar, Nurdjali Budiman, Kabag Tata Pemerintahan Syukri, Kepala BPN T Sabiluddin dan mantan Kadis Kimpraswil Yusmadi yang tiba hampir bersamaan langsung dipersilakan naik ke lantai II. Khusus pemeriksaan terhadap Sekda Modh Dahlan hanya berlangsung sekitar 3,5 jam. Karena menjelang shalat zuhur ia keluar dari ruang pemeriksaan dan langsung meninggalkan Kejati. Ketika ke luar dari ruang pemeriksaan dan hendak menuruni tangga, Serambi mencegatnya.
Ketika ditanya apakah kedatangannya ke Kejati ada kaitan dengan kasus pengusutan terminal mobar, ia membantah. “Tidak ada dalam kaitan itu, saya datang kemari dalam rangka konsultasi beberapa kegiatan yang menyangkut dengan jaksa,” jawabnya sambil terus berlalu. Sedangkan pemeriksaan empat pejabat lainnya berlangsung hampir enam jam, dan mereka baru keluar dari ruang pemeriksaan sekitar pukul 17.00 WIB. Kepala BPN Aceh Besar, T Sabiluddin kepada tim penyelidik mengakui kalau pihaknya hanya satu kali turun ke lokasi tanah tersebut, selebihnya tidak pernah dilibatkan lagi. Selama proses pembebasan tanah itu pihaknya hanya disodorkan surat untuk ditandatangani. Menurut Sabiluddin, pihaknya tidak banyak tahu tentang persoalan tersebut.

Seperti diketahui, kasus tanah terminal mobar ini awalnya dibongkar oleh Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh. LSM ini dalam hasil investigasinya menduga telah terjadi tindak pidana korupsi minimal Rp 8 miliar dalam proyek pembebasan tanah untuk lokasi pembangunan Terminal Mobar Terpadu tersebut. Karena tanah yang dibeli seharga Rp 700.000/m2 itu, diduga kuat telah terjadi mark-up (penggelembungan) harga. Indikasi ini dibuktikan dengan perbandingan harga tanah untuk lokasi proyek pembangunan lembaga permasyarakatan (LP) dan rumah tahanan negara (Rutan) Banda Aceh yang letaknya berdekatan dengan lokasi terminal tersebut, tapi harga belinya cuma Rp 142.000/m2. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan GeRAK terungkap, bahwa ditemukan bukti kuat pembebasan tanah terminal mobar seluas 2 hektare (ha) yang dilakukan Pemkab Aceh Besar dan Pemko Banda Aceh ––sumber dananya dari BRR Aceh-Nias–– itu telah terjadi penyimpangan besar-besaran dalam soal harga.

Sebab, berdasarkan bukti pencairan dana dari KPKN Khusus Banda Aceh untuk harga tanah tersebut tanggal 6 Desember 2007 tertera dalam surat perintah membayar (SPM) senilai Rp 14.499.800.000 atau seharga Rp 700.000/m2 sebelum dipotong pajak. Sementara, untuk lokasi tanah pembangunan proyek LP dan Rutan Banda Aceh seluas 7,4 ha hanya dibayarkan sebesar Rp 142.500/m2 (Rp 10.547.137.500) pada 51 orang pemilik. Padahal, lokasi LP dan rutan tersebut masih dalam Desa Meunasah Krueng, dan jaraknya dengan lokasi terminal mobar hanya ratusan meter saja.

Berdasarkan data perbandingan tersebut, dalam kasus ini negara telah dirugikan miliaran rupiah. Sebab, kalau dibandingkan harga tanah yang dibebaskan untuk LP dan rutan yang cuma Rp 142.500/m2, maka terjadi selisih harga Rp 557.500/m2. Bila dikalikan selisih harga dengan ukuran tanah terminal mobar 20.000 m2, sehingga total mark-up yang diduga dilakukan mencapai Rp 11.649.800.000 atau minimal Rp 8 miliar. Kalaupun ada pihak yang mengatakan harga tanah terminal mobar lebih mahal dibandingkan dengan tanah lokasi LP dan rutan, itu masih bisa diterima. Namun, selisihnya tentulah tidak mencapai 370 persen. “Selisihnya paling tinggi 100 persen,” kata Akhiruddin Bahkan bukti lain menyebutkan, adanya campur tangan dari Bupati Aceh Besar dan Walikota Banda Aceh dalam hal pembebasan dan penempatan lokasi terminal tersebut. Sebab, berdasarkan surat yang dikirim Bupati Aceh Besar kepada Deputi Bidang Infrastruktur Lingkungan dan Pemeliharaan BRR Aceh-Nias pada tanggal 26 Oktober 2007, terkait pembangunan terminal mobar terpadu tersebut, antara lain, BRR diminta untuk segera merealisasikan pembayaran harga tanah terminal mobar yang lokasinya telah disepakati dengan harga Rp 700.000/m2.(sup)

TI-I Upayakan Pencegahan Korupsi di 10 Daerah

Serambi Indonesia,18 September 2008

BANDA ACEH - Transparency International-Indonesia (TI-I) bersama sejumlah mitra LSM lokal, saat ini sedang berupaya membangun sistem pencegahan korupsi di 10 kabupaten/kota di Aceh pada tahun 2008-2010. Pencegahan korupsi tersebut difokuskan pada sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) di lembaga-lembaga pemerintah melalui penerapan Pakta Integritas (PI).

Hal itu diungkap Program Coordinator TI-I Aceh, Muchtar Abbas dalam siaran pers seusai acara buka puasa bersama di restoran Putra Jaya, Banda Aceh, Rabu (17/9). Siaran pers itu turut ditandatangani oleh Askhalani, Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, dan Nasruddin MD, Koordinator GeRAK Aceh Besar.

Dikatakan, keputusan untuk memfokuskan pencegahan korupsi pada sektor PBJ dikarenakan dalam proyek pembangunan, termasuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami, sangat rawan kebocoran. “Apalagi penanggulangan korupsi tidak efektif hanya dengan menindak pelaku, tapi juga potensi korupsi perlu dicegah sebelum kerugian negara yang lebih besar terjadi,” kata Muchtar.

Ia menyebutkan, wilayah penerapan PI saat ini mencakup Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Barat, dan Aceh Jaya. Daerah-daerah tersebut dipilih karena kuatnya komitmen bupati/walikota setempat terhadap penerapan good governance and clean government yang juga merupakan amanah UUPA dan komitmen Gubernur Aceh saat ini.

Askhalani menambahkan, daerah-daerah ini juga sedang menggenjot pembangunan, yang antara lain ditandai oleh nilai APBK yang rata-rata tinggi dan banyaknya bantuan yang masuk untuk rekonstruksi pasca tsunami. “Hanya saja agenda pencegahan korupsi di daerah-daerah ini menghadapi tantangan berat mengingat masih konservatifnya birokrasi pemerintahan, belum berjalannya tata pemerintahan yang baik, belum terbangunnya sistem pencegahan korupsi, situasi pasca konflik dan bencana, dan kurang dilibatkannya masyarakat dalam mengontrol proses pembangunan,” kata dia.

Dalam rangka penerapan PI ini, TI-I menggandeng LSM lokal yang bergerak pada isu anti korupsi, yakni GeRAK Aceh, GeRAK Aceh Besar, MASIF (Masyarakat Partisipatif), PASKA Bireuen, MaTA (Masyarakat Transparansi Aceh), SaPA (Solidaritas untuk Peduli Anggaran), Somasi (Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi), dan GeRAK Aceh Barat.(*/nal)

Kejati Aceh Harus Tuntaskan Kasus terminal Mobil Barang

theglobejournal , 18 September 2008

Banda Aceh - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mengusut tuntas dan upaya penyelidikan yang dilakukan pihak Kejaksaan Tinggi Aceh terkait kasus dugaan mark up pembebasan lahan pada proyek pembangunan terminal mobil barang. Mark up ini terjadi di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar yang merupakan inisiatif antara Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar juga harus dibuka secara transparan kepada publik atas hasil penyelidikan serta menuntaskan kasus yang sedang ditangani sebagaimana amanah perundang-undangan.

"GeRAK Aceh, sebagai sebuah lembaga yang awalnya melaporkan kasus punya hak untuk dapat mengakses proses penyelidikan yang sedang ditangani oleh Kejati Aceh, sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi," ujar Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada wartawan, Kamis (18/9).

Maka tambah Askhalani, berdasarkan atas aturan hukum dalam PP No 71 tahun 2000 tersebut, pihak kejaksaan yang menangani penyelidikan atas kasus dugaan mark-up pembebasan lahan terminal mobil barang harus membuka kran informasi setiap perkembangan atas penyelidikan yang dilakukan secara transparan dan memudahkan akses serta tidak ditutup-tutupi mengenai hasil penyelidikan kasus.

"Berdasarkan hasil penelusuran awal yang dilakukan oleh Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh tertangal 10 Juni 2008 atas pembebasan lahan pada proyek pembangunan terminal mobil barang di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar ditemukan bahwa, Terindikasi kuat penetapan harga yang tidak wajar dan cenderung terjadinya mark up dalam penetapan harga tanah. Dari lahan yang dibutuhkan sekitar 3,5 Ha, sekitar 2 Ha lahan tersebut telah dibayar dengan harga Rp 700.000 per meter. Hasil penelusuran ditemukan adanya potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp 8 miliar dari total alokasi anggaran dana yang telah dibayarkan," papar Askhalani.

Askhalani menambahkan, dari hasil penelusuran diketahui bahwa BRR NAD-Nias telah membayar pembebasan tanah tersebut sebesar Rp 14.499.800.000. Pembayaran ini dibuktikan dengan dua dokumen anggaran yaitu SPM No. 00390 dan SP2D No. 488362, masing-masing tertanggal 3 Desember 2007 dan 6 Desember 2007.

"Proyek pembangunan terminal mobil barang tersebut berada pemukiman yang padat penduduk sehingga dikhawatirkan akan menggangu lingkungan masyarakat sekitar. Alasan pembanguan terminal mobil barang Kota Banda Aceh untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di Kota Banda Aceh tidak selaras dan cenderung tidak rasional ketika lokasi yang dipilih justeru jalur utama (strategis) menuju Kota Banda Aceh. Di sisi lain, penetapan proyek terminal mobil barang di lokasi tersebut diduga kuat tidak sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang & Wilayah) Kabupaten Aceh Besar," imbuh Askhalani.

Askhalani menambahkan, berdasarkan temuan tersebut, pihak GeRAK Aceh melalui Koordinator GeRAK Aceh Akhiruddin Mahjuddin melaporkan kasus tersebut ke pihak KPK di Jakarta tertanggal 29 Juli 2008 yang langsung diterima dibagian penyidik kasus, setelah berselang 2 bulan kasus ini diteruskan oleh pihak KPK ke Kejaksaan Tinggi Aceh untuk dilakukan penyelidikan dan penuntasan atas kasus mark-up pengadaan tanah terminal mobil barang.

"Kami mendesak pihak kejaksaan tinggi Aceh dalam penyelidikan terutama penuntasan atas kasus ini bukan dilakukan setengah-setangah, pihak kejaksaan harus berani dan berhasil mengungkapkan perkara kasus yang sedang ditangani terutama membuka tabir atas terjadinya tindak pidana korupsi. Karena berdasarkan atas beberapa catatan dalam penanganan kasus yang sedang ditangani banyak progresnya tidak diselesaikan tepat waktu dan bahkan ada potensi mengulur-mengulurkan waktu dan beimbas atas penghilangan barang bukti, nah kita berharap kasus ini menjadi prioritas dalam penanganannya, kalau kemudian ditengerai (dicurigai) ada hal-hal yang mencurigakan maka GeRAK sebagai para pihak yang melaporkan kasus tidak segan-segan untuk melaporkan penanganan kasus yang lamban ini ke pihak KPK di Jakarta," sebutnya.

Masih Ada Bukhari di Terminal Mobar

Modus, edisi September 2008, Minggu ke tiga halaman 11

Ada sejumlah kejanggalan di balik proses pembebasan tanah untuk pembangunan Terminal Barang Terpadu di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Bukan mustahil oknum panitia pembebasan tanah ikut kecipratan. Nama Bukhari masih ada di terminal Mobar?

Kejanggalan itu lebih dulu dihembuskan banyak kalangan, pada Juni 2008 lalu. Yang jadi sorotan: Prosesnya yang dinilai tidak transparan dan harga tanah yang diduga tak wajar alias di mark-up. Lebih dari itu, jauh sebelum ide cemerlang-membangun Terminal Barang Terpadu - itu digelontorkan Pemko Banda Aceh, tanah milik Sofyan Alias Yahmu, di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, terlihat sudah disiapkan sebagai lahan pertapakan pilar projek. Indikasi ini yang memancing naluri Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh untuk melakukan penelusuran. Hasilnya: Negara diduga merugi sekitar Rp 8 miliar. “Bisa berpotensi lebih tinggi lagi. Mencapai Rp 11 miliar lebih,” kata Koordinator Gerak, Akhiruddin Mahjuddin beberapa waktu lalu.

Itu sebabnya, pada Juli lalu, GeRAK menjinjing kasus dugaan korupsi ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka meminta KPK agar menyelidiki kasus tersebut. Sayangnya, hingga kini tak jelas nasib pengaduan GeRAK ke KPK tadi. Padahal, menurut GeRAK, tanah milik Sofyan alias Yahmu dipersiapkan secara keseluruhan ketika Mawardi Nurdin (Walikota Banda Aceh-red) menjabat kepala Kantor Perwakilan I BRR NAD-Nias. Pernyataan GeRAK tadi semakin sahih karena hubungan antara Sofyan dan Mawardi (Baca Modus Aceh Edisi 20 - Tiga Serangkai Dibalik Proyek Mobarred) memang sudah cukup lama terjalin. Jika dugaan GeRAK ini benar, bukan tak mungkin Walikota Banda Aceh, Mawardi Nurdin bakal berurusan dengan aparat penegak hukum.

Dengan semua dugaan itu, tak lantas membuat Mawardi kebakaran jenggot. Kepada wartawan, Mawardi haqqul yakin proses pembebasan tanah milik Sofyan alias Yahmu itu sudah sesuai prosedur. Karena yakinnya, Mawardi, mempersilakan KPK untuk melakukan penyelidikan. “Jika ada kesalahan pada proyek itu, biarlah KPK yang melakukan penyelidikan. Jangan dibesar-besarkan,” kata Mawardi. Menariknya, peran Panitia Pembebasan Tanah juga disebut-sebut cukup dominan dalam hal ini. Kata seorang sumber, panitia yang terdiri dari unsur Pemkab Aceh Besar dan BPN - diduga ikut memuluskan rencana Pemko Banda Aceh, menunjuk tanah milik Sofyan alias Yahmu itu. ”Mengapa hanya tanah milik Sofyan alias Yahmu begitu memikat, benarkah tidak ada lahan lain yang lebih memadai,”tanya sang sumber. Pertautan panitia pembebasan tanah Pemkab Aceh Besar pada proses pembebasan tanah milik Sofyan alias Yahmu ini memang sebuah ketentuan. Berawal dari kebijakan Pemko Banda Aceh untuk membangun Terminal Barang Terpadu tersebut di wilayah Aceh Besar.

Panitia Pembebaan Tanah langsung dibentuk. Pucuk pimpinan panitia dipegang langsung Bupati Aceh Besar, Bukhari Daud (Unsur Pemerintah Daerah). Sementara posisi sekretaris, dijabat T. Sabiluddin, SH, Kepala Kantor BPN Aceh Besar (Unsur Pemerintah). Bukhari juga dikenal punya hubungan baik dengan Mawardi. Sementara Sofyan alias Yahmu, berasal dari daerah yang sama dengan Bukhari. Tak ingin buang-buang waktu, Panitia PembebasanTanah langsung tancap gas. Tanah milik Sofyan alias Yahmu, diteliti mengenai status hukumnya. Penelitian dan inventarisasi atas tanaman dan benda- benda lain yang ada kaitannya dengan tanah juga dilakukan. Hasilnya: panitia pun setuju tanah Sofyan alias Yahmu dibebaskan dengan harga Rp 700 ribu per meternya. Celakanya, dasar perhitungan besarnya ganti rugi yang ditetapkan panitia pembebasan tanah tadi tak didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya. Padahal, menurut sumber Modus Aceh, sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2006 Tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum, pasal 15 mengatakan. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia.

Menurut sumber tadi, banyak kasus pembebasan lahan tersendat gara-gara tarifnya jauh di atas harga NJOP. Tak hanya di Aceh, sebagai contoh, katanya, Pembebasan lahan enclave di zona III Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Harga jual lahan itu jauh di atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Kota Bekasi. Itu sebabnya Gubernur DKI Jakarta tidak membayar ganti rugi tanah tersebut. ”Ini hanya contoh molornya pembebasan lahan karena tidak memperhatikan NJOP,” kata sumber itu. Sebaliknya dengan kasus pembebasan tanah milik Sofyan alias Yahmu ini. Meski harga permeternya melambung tinggi di atas NJOP, Namur panitia tetap membebaskannya. Padahal, jika merujuk pada NJOP yang dikeluarkan Departemen Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pajak Kantor Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, harga tanah di Desa Santan dan Desa Krueng Meunasah hanya berkisar dari Rp 20 ribu hingga 160 ribu permeternya. Sayangnya, Bukhari Daud memilih irit bicara untuk kasus ini. Unsur panitia lainnya juga terkesan buru-buru cuci tangan. Belakangan memang ada juga yang mau buka mulut:

Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Besar, H Mohd Dahlan dan Kepala Kantor BPN Aceh Besar, T. Sabiluddin, SH. Kata Dahlan, penentuan besarnya ganti rugi harga tanah bukan kewenangan panitia. Besarnya ganti rugi harga tanah tersebut berdasarkan rekomendasi tim penafsir yang independen dan hasil musyawarah dengan pemilik tanah. ”Kalau merujuk ke NJOP saja, nggak ada orang yang mau jual tanah sekarang,” kata Dahlan. Selain itu, kata Dahlan, dalam sistem pembebasan tanah, ada tiga hal yang mesti diperhatikan. Pertama berdasarkan NJOP. Kedua, berdasarkan harga pasar. Dan yang terakhir berdasarkan kesepakatan (musyawarah). Setali tiga uang dengan Dahlan, Sabiluddin juga beranggapan besaran ganti rugi tanah tersebut senilai Rp700 ribu, cukup realistis. Bahkan, Sabiluddin mengatakan hasil penelusuran GeRAK Aceh tentang adanya dugaan mark-up pada proses pembebasan lahan tersebut, dinilai keliru. Alasannya: Harga tanah pasca tsunami memang mayoritas di semua lokasi cendrung naik. ”Malah, setahu saya Pak Sofyan membeli tanah itu Rp 350 ribu permeter waktu itu,” kata Sabiluddin. Memang Sofyan alias Yahmu mengaku membeli tanah tersebut seharga Rp 350 permeter pada 2003 lalu. Boleh jadi, pengakuan Sofyan alias Yahmu inilah yang mengilhami panitia sehingga menilai wajar menetapkan harga Rp 700 ribu - naik sekitar seratus persen.

Begitupun, salah seorang warga Desa Santan mengaku, Sofyan alias Yahmu membeli tanah tersebut seharga Rp 200 ribu permeternya. ”Tanah tersebut sebelumnya adalah milik Haji Gani, warga Kampung Laksana Banda Aceh,” kata warga yang tak ingin namanya ditulis. Sebelumnya, kata dia, Haji Gani membeli tanah tersebut dari Tengku Keuchik Leumik Lamseupeng. Lalu, benarkah panitia ikut memuluskan penunjukkan tanah milik Sofyan alias Yahmu oleh Pemko Banda Aceh? Entahlah. Yang jelas panitia buru-buru pasang jawaban: Panitia tak serta-merta memilih lokasi tanah milik Sofyan saja. Menurut Sabiluddin, selain tanah milik Sofyan, panitia sempat meninjau sejumlah lokasi lain. ”Pernah ada lokasi di Lambaro, tapi dikatakan tidak cocok. Sebelumnya kita juga pernah melihat lokasi di Lampenerut, tapi terkendala dengan jarak yang jauh,” kata Sabiluddin.***

■ Dadang Heryanto

GeRAK tidak yakin Proyek BRR Rampung November 2006

theglobejournal , 18 September 2008

Banda Aceh - Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias berjanji merampungkan seluruh proyek sebelum November 2009 dan pada Desember 2008 lembaga tersebut akan melakukan soft closing yang menandakan akan berakhirnya operasionalisasi BRR. "BRR akan menyiapkan langkah-langkah pengakhiran masa tugas. Mengenai pelaksanaan proyek, BRR akan merampungkannya sebelum November 2008. Dan pada Desember 2008, BRR akan melakukan soft closing yang menandakan akan berakhirnya operasionalisasi BRR," ujar Jurubicara BRR Aceh-Nias, Juanda Djamal kepada wartawan, Rabu (17/6).

Menurut Juanda, mulai Januari hingga April 2009, BRR akan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap kerja-kerja, administrasi dan keuangan. Sementara itu, Ketua Tim Pengawas Penanggulangan Bencana Alam di Provinsi Aceh dan Nias, Sumatera Utara dari DPR RI Muhaimin Iskandar menegaskan pengakhiran masa tugas BRR akan berlangsung pada April 2009, "BRR telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan mandat yang diberikan," kata Muhaimin Iskandar dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa (16/9).

Pertemuan itu dihadiri Tim Pengawas DPR RI, Pemerintah Pusat, serta unsur Badan Pelaksana BRR. Dalam pertemuan itu, Tim Pengawas merekomendasikan sejumlah hal, di antaranya agar Pemerintah Pusat mempertimbangkan usulan pembentukan lembaga baru pasca BRR untuk memastikan kesinambungan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang telah dilaksanakan. Pertimbangan Pemerintah Pusat untuk membentuk BKRA muncul setelah mendengar masukan yang diberikan Pemerintah Daerah Aceh. Setelah mandat BRR berakhir, Pemerintah Pusat dan Daerah akan bertugas melanjutkan pekerjaan rekonstruksi yang belum usai. Selain itu, Tim Pengawas DPR RI juga meminta pemerintah memastikan sumber pembiayaan rekonstruksi yang sudah dialokasikan pada RAPBN 2009 kepada ementerian/Lembaga dan Pemda untuk selanjutnya dialokasikan dalam UU APBN 2009. "Perlu dipastikan bahwa anggaran tersebut akan digunakan untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias," kata Muhaimin.

Tidak Yakin
Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani yang dimintai tanggapannya meragukan seluruh proyek BRR bias diselesaikan pada November 2009, hak tersebut dikarenakan hingga September 2008 masih banyak pekerjaan BRR yang masih terbengkalai. "Kami tidak yakin BRR bisa menyelesaikan tugasnya pada November 2008, karena hingga saat ini cukup banyak proyek mereka masih terbengkalai, jika pun mereka bisa menyelesaikannya, maka proyek tersebut pasti akan dibangun asal jadi atau kualitasnya rendah," ujar Askhalani.

Menurut Askhalani, hingga September 2008, seribu lebih korban tsunami belum mendapatkan rumah, termasuk sekitar 700 KK di Simeulu belum ada rumah, atau rumah mereka belum selesai dibangun, "Siapa yang bertanggungjawab terhadap masalah ini, tidak mungkin permasalahan tersebut dilimpahkan kepada pemerintah Aceh atau lembaga yang dibentuk setelah BRR selesai," papar Askhalani.

16 September 2008

Kasus Dana Askeskin Pidie, GeRAK Desak Auditor BPKP Diusut

Serambi Indonesia, 16 September 2008

BANDA ACEH - Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh mendesak BPKP Pusat untuk mengusut auditor BPKP Perwakilan Aceh yang diduga telah melakukan penyimpangan dalam mengaudit nilai kerugian negara terhadap kasus Askeskin Pidie tahun 2006 senilai Rp 3 miliar. Tindakan BPKP yang menyebutkan tidak ada nilai kerugian negara, dinilai menyimpang dari hasil penyelidikan jaksa yang menyatakan ada dugaan tindak pindana korupsi mencapai Rp 903 juta lebih.

“Ini sebuah kesimpulan aneh yang dilakukan BPKP Perwakilan Aceh. Untuk itu tim auditor yang terlibat dalam kasus tersebut patut dicurigai,” tulis Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani dalam pers realis yang terima Serambi, Senin (16/9), menanggapi silang pendapat antara BPKP dan Kejari Pidie dalam kasus Askeskin tersebut.
Menurut Askhalani, keanehan yang dilakukan BPKP dalam masalah ini, pertama hasil audit tidak langsung diserahkan ke pihak pemohon, dalam hal ini Kejari Pidie. Malah mereka mengirim hasil audit langsung kepada Deputi Bidang Investigasi BPKP Pusat, sedangkan kepada pemohon hanya diserahkan pengantar saja.
Padahal audit itu dilakukan sebelumnya atas permohonan/permintaan Kejari Pidie dengan surat Nomor:R-21/N.1.12/Fd.1/03/2008 tanggal 17 Maret 2008. Hal itu jelas tertulis dalam point pertama surat hasil audit kasus tersebut yang ditujukan BPKP Perwakilan Aceh kepada Deputi Bidang Investigasi BPKP Pusat.
Keanehan kedua, lanjutnya, BPKP dalam mengaudit kasus dengan cara melakukan investigasi. Padahal seharusnya mereka tidak perlu lagi melakukan audit investigasi dalam kasus ini, dan cukup melakukan menghitung kerugian negara dengan berpedoman pada hasil penyelidikan jaksa. Kalau ada bahan yang tidak lengkap dan memang dibutuhkan, maka tim auditor BPKP cukup meminta pada tim jaksa penyelidik supaya dapat dilengkapinya.
“Kasus ini kan bukan hasil temuan BPKP, tetapi hasil pengusutan jaksa. Maka BPKP tak perlu lagi melakukan investigasi dan mereka cukup berpedoman pada hasil penyelidik jaksa,” katanya.
Ia melanjutkan, keanehan lainnya yang cukup membuat publik menjadi penuh tanda tanya adalah kesimpulan pada bagian akhir hasil audit BPKP yang membuat sebuah rekomendasi yang menyebutkan, bahwa atas dasar penyimpangan penetapan porsi dana kegiatan Askeskin yang ditetapkan Kadis Kesehatan Pidie tanpa pengesahan Bupati diminta untuk dijatuhkan sanksi sesuai PP 30/tahun 1980 kepada Kadis Kesehatan.
“Tindakan dengan rekomendasi ini jelas membuktikan BPKP telah memasuki ranah jaksa. Kok beraninnya mereka membuat rekomendasi kesahalan itu hanya cukup dijatuhi sanksi PP 30 itu. Padahal kasus ini sedang ditangani aparat hukum karena diduga kuat ada tindakan pidana korupsi. Maka kita patut mencurigai ada permainan dibalik hasil audit tersebut,” tegas Askhalani.
Bahkan, tambah Askhalani, dalam audit tersebut BPKP terlihat mengabaikanketentuan yang ada seperti, tidak mempedomani Keputusan Menteri Keseharan nomor: 332/Menkes/SK/VI/2006 tentang pemodaman pelaksana Askeskin tahun 2006. Padahal surat keputusan Menkes itu menjadi pemodaman dasar hukum yang tidak bisa diabaikan dalam mengaudit maupun mengusut kasus tersebut.
“Karena mengabaikan Kepmenkes itu mereka berani berkesimpulan tidak ada kerugian negera. Ini jelas pelanggaran dilakukan BPKP. Maka kami mendesak BPKP Pusat untuk mengusut BPKP Perwakilan Aceh terkait kasus Askeskin ini,” katanya.
GeRAK juga menyatakan mendukung langkah Kejaksaan Negeri Pidie tidak menghentikan pengusutan kasus tersebut, karena dalam kasus tersebut terbukti atau tidak adalah pengadilan yang akan memutuskannya. Disamping itu GeRAK juga meminta pihak kejaksaan untuk memanggil tim auditor BPKP Perwakilan Aceh guna meminta penjelasan dan pertanggungjawabannya terjadap hasil audit tersebut. Karena tindakan yang dilakukan tim BPKP itu bisa dikatagorikan sebagai menghambat langkah pengusutan kasus korupsi.
“Kalau terbukti menghalangi bisa diganjar dengan Pasal 21 Undang-undang Nomor 20/tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Dan hukumannya maksimal 12 tahun dan denda maksimal Rp 600 juta,” katanya.
Seperti diketahui, BPKP Perwakilan Aceh dan tim jaksa penyidik Kejaksaan Sigli terjadi silang pendapat terkait dalam penentuan nilai kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus dugaan korupsi dana Askeskin Kabupaten Pidie tahun anggaran 2006 senilai Rp 3 miliar.
Berdasarkan tim jaksa penyidik dalam kasus tersebut diduga kuat telah terjadi tindak pidana korupsi, karena terbukti adanya pemotongan dana askeskin yang menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar Rp 903.175.200. Karena pemotongan dana itu melanggar dengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor: 332/Menkes/SK/V/2006 tentang pedomanan pelaksana program tersebut. Sementara BPKP menilai tidak ada kerugian negara, karena dana yang dipotong tersebut semuanya dipergunakan untuk menjalankan program dimaksud.
Persoalan itu terungkap dalam gelar (ekspos) kasus tersebut yang berlangsung di Kantor Kejati Aceh, Rabu (10/9). Ekspos kasus itu dipimpin langsung Wakajati Aceh, Muhammad Yusni SH, dan turut dihadiri Asisten Pidsus, Hazairin Lubis SH, Asisten Intel, M Adam, Asisten Pidum, Irwansyah SH, Kajari Sigli, TA Djalil, serta seluruh jaksa penyidik dalam kasus tersebut dari Kejari Sigli.(sup)

06 September 2008

Soal Biaya Pengawalan "Kuntoro Tak Punya Sense Of Crisis"

Harian Aceh, 6 September 2008

Kepala Bapel BRR Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto dinilai tidak memiliki sense of crisis terhadap korban tsunami yang sampai sekarang masih belum mendapatkan rumah, padahal bencana tersebut telah hampir empat tahun berlalu. Penilaian itu disampaikan aktivis Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askalani, dan Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA), Alfian, terkait biaya pengawalan, pelayanan, dan representasi Kepala BRR yang setiap bulannya mencapai Rp250 juta.

“Biaya tersebut seharusnya bisa digunakan untuk memperbaiki rumah bantuan BRR yang kualitasnya sangat jelek seperti di Pelanggahan dan Lampaseh,” kata Askal. Menurut dia, dengan uang sebesar Rp250 juta yang dikeluarkan setiap bulannya untuk keperluan yang kurang menyentuh kepentingan masyarakat korban tsunami, Kuntoro jelas telah mengabaikan amanah. “Padahal di awal kehadiran BRR, Kuntoro berulang kali berjanji untuk menggunakan dana korban tsunami tersebut untuk kepentingan masyarakat korban,” sebutnya.

Sementara Alfian menilai, tidak masuk akal bila kemudian alasan penggunaan dana tersebut sebagai dana taktis yang digunakan untuk menjamu tamu negara maupun saat Kepala Bapel BRR berkunjung ke daerah Aceh dan Nias. Menurutnya, dalam setiap kunjungannya ke daerah semua pejabat negara punya anggaran dari Departemen masing-masing. “Jadi, tak perlu lagi BRR menyediakan dana untuk mereka, kecuali buat uang tutup mulut bila dalam kunjungan mereka menemukan kebobrokan BRR,” kata dia sinis. Begitu juga dengan alasan dana tersebut digunakan dalam setiap kunjungan ke daerah kerjanya di Aceh-Nias.

“Bukankah dalam setiap kunjungan tersebut pejabat BRR disertai dengan surat tugas yang kemudian bisa di cairkan lagi dana yang dihabiskan selama kunjungan?” tuturnya, mempertanyakan. Alfian juga pesimis, bila dana sebesar itu semuanya digunakan Kuntoro saat melakukan kunjungan ke daerah kerjanya di Aceh-Nias. “Bukankah dia lebih banyak melakukan perjalanan ke Jakarta, sedangkan ke daerah kerjanya dalam sebulan belum tentu sekali, kecuali bila dana itu masuk ke kantong pribadinya,” katanya. Sementara juru bicara BRR, Juanda Jamal melalui rilisnya yang dikirim ke Harian Aceh, kembali membantah bahwa dana itu digunakan untuk dana pengawalan.

Menurut dia, biaya representasi, pelayanan, dan pengawalan Kepala Badan Pelaksana BRR merupakan dana operasional yang ditetapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 03/PMK.06/2006 tertanggal 8 Februari 2006. Kata Juanda, Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto tidak menggunakan dana operasional itu untuk kebutuhan pribadi, melainkan untuk menunjang aktivitasnya dalam memimpin lembaga BRR. “Dana ini juga tidak digunakan untuk membayar pengawal seperti yang dilansir media. Apalagi, saat berkunjung ke suatu daerah, Kepala Bapel BRR tidak pernah memakai pengawalan dari pihak kepolisian, tapi pengawalan dari satuan pengamanan internal BRR,” katanya. Juanda menegaskan, dana operasional Kepala Bapel BRR itu bisa dipertanggungjawabkan dan tidak menghambur-hamburkan keuangan negara. “Setiap akhir bulan, KPA membuat laporan realisasi anggaran atas penggunaan dana operasional ini dan disampaikan kepada menteri atau pejabat setingkat menteri yang bersangkutan,” sebut Juanda. KPA adalah Kuasa Pengguna Anggaran. Menurut dia, KPA dapat mencairkan dana operasional ini setiap bulannya sebesar seperduabelas dari pagu setahun anggaran sesuai dengan DIPA. “Jika dana bulan ini masih tersisa, maka bisa diakumulasikan pada bulan selanjutnya,” lanjutnya.(rta)

04 September 2008

Tuding Menuding Raibnya Berkas Korupsi Yayasan Tarbiyah

“Kinerja BPKP dan Kejati Aceh Bobrok


Harian Aceh 5, Agustus 2008

Raibnya berkas kasus korupsi Yayasan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dalam perjalanan proses hukum di kejaksaan tinggi (kejati) Aceh dan Badan Pengawasan Keuanagan dan Pembangunan (BPKP) Aceh, menndakan kinerja kedua lembaga itu buruk dan amburadul.

“ini menunjukkan Kejati Aceh masihbekerja dengan tidak mengedepankan fungsi sesungguhnya lembaga tersebut. Berkas kasus Yayasan Tarbiyah seyogyanya didampingi hingga kasus itu tuntas dan bukan malah menutup diri dengan menyalahkan pihak lain “ ujar Akhiruddin Mahjudin, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Kamis (4/9).

Menurutnya, berkas kasus Yayasan Tarbiyah IAIN Ar-RaniryBanda Aceh yang telah erugikan dunia pendidikan dan negara sebesar 2,59 miliar tersebut, sebenarnya masih ada di antara kedua lembaga itu. BPKP dan Kejati saling menyalahkan dalam hal itu hanya untuk menunda-nunda penyelidikan sebuah kasus.

“nah, itu yang kita bilang amburadul dan perlu kita pertanyakan kinerja lembaga ini, terutama Kejati. Kalau BPKP, mereka hanya menghitung kerugian keuanga ndan jumlahnya, selanjutnya adalah tugas tim penyidik yang ditunjuk Kejati. Jadi seharusnya peran Kejati lah yang menuntaskan penyidikan terhadap kasus ini dan bukan menyalahkan tim lain, “sebutnya.

Sebelumnya diberitakan, Berkas kasus penyelewengan dana pelatihan Guru yang melibatkan Yayasan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dengan total kerugian neara 2,59 miliar raib antara kejaksaan tinggi (Kejati) Aceh dan Badan Pengawasan Keuanagn dan Pembangunan (BPKP) Aceh. Akibatnya, proses hukum terhadap lima tersangka kasus tersebut belum dilakukan hingga sekarang.
Rizal, Kepala Bagian Investigasi BPKP Aceh, Rabu (3/9), mengaku telah mengembalikan berkas kasus tersebut kepada kejaksaan dengan alasan alat untuk bukti kasus ini belum cukup. Bukti yang kurang adalah bukti pengeluaran anggaran saat kegiatan dilaksanakan. Pihaknya juga meminta jaksa memeriksa lebih banyak saksi.
“Karena alat bukti untuk kasus tersebut belum cukup sehingga BPKP tidak bisa menghitung kerugian negara. Berkas kasus sudah kami kembalikan ke Kejati sekitar dua bulan lalu agar mereka bisa melengkapi alat bukti”,ujar Rizal.
Namun ketika hal ini di konfirmasi kepada para jaksa di Kejati Aceh, mereka mengaku belum menerima pengembalian berkas tersebut sampai sekarang.
“Coba minta sama BPKP bukti terima berkas, kalau memang mereka telah mengembalikan kasus ini karena kurang bukti. Pasalnya, kami belum menerimanya, “sebut Ali Lubis, Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh, Rabu (3/9).

Berkas kasus korupsi Yayasan Tarbiyah telah ditangani Kejati Aceh sejak pertengahan Tahun 2007. Kasus ini kemudian dilimpahkan ke BPKP guna melakukan Audit yang lebih mendalam.

Pihak Kejati Aceh juga sudah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus pelatihan Guru yang melibatkan Yayasan Tarbiyah tersebut. Kelima tersangka itu adalah Kasatker Pendidikan BRR Aceh-Nias merangkap Ketua Umum Yayasan Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Jamaluddin Idris, PPK Satker Pendidikan, Kesehatan dan gender BRR Aceh-Nias, M Saleh Yunus, Ketua I Yayasan Tarbiyah, Cut Aswar, Mawardi, dan Bendaharawan Panitia Proyek, Marzuki MZA.