29 Oktober 2008

Somasi dan GeRak Berharap Tersangka Korupsi tetap Ditahan

Serambi indonesia, 30 Oktober 2008

TAPAKTUAN- Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Somasi) Aceh Selatan dan GeRAK Aceh meminta Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan, serta majelis hakim yang menangani perkara kasus korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 2005 tetap konsisten dengan aturan hukum dan tidak terpengaruh dengan permintaan bupati dan dukungan DPRK agar tersangka ditangguhkan penahanannya.

“Ketua PN harus konsisiten dan tidak terpengaruh dengan permohonan bupati,”kata Saiful Bismi dalam Pers Relissnya yang ditangani oleh Pjs Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, Koordnator Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Somasi) Aceh Selatan, Saiful Bismi yang dikirim ke Serambi Selasa (28/10).
Dikatakannya, Ketua PN dan Majelis hakim harus komitmen dengan ketentuan dalam menagani perkara kasus korupsi dana bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi Bangunan (PBB) tahun 2005.
Yakni tetap mempertahankan para terdakwa dalam penahanan selama proses hukum persidangan berlangsung.
Dia menilai alasan yang disampaikan oleh Bupati untuk mengajukan penahanan luar adalah merupakan alasan yang cukup klasik serta bukan permanen yang sifatnya mendesak misalnya sakit parah atau lainnya. Merujuk atas surat yang diajukan terutama untuk para terdakwa dikarenakan mereka adalah pegawai negeri sipil serta masih dibutuhkan tenaganya untuk tetap dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab menurut jabatan masing-masing adalah hal yang kontradiktif, dan bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih (Clean and Good Governance).
Dan jika hal itu tersebut terjadi, maka bisa berdampak secara langsung terhadap penanganan sejumlah dugaan indikasi kasus korupsi baik yang dilaporkan oleh Somasi Aceh Selatan maupun yang saat ini sedang diproses oleh pihak Kejaksaan dan Kepolisian Aceh Selatan. Seharusnya, kata dia, Bupati tidak melakukan hal tersebut mengingat sebagaian besar para pelaku korupsi di sana adalah mayoritas berasal dari PNS. Dan jika ini terus dilakukan oleh Bupati maka tidak akan menimbulkan efek jera terhadap para pelaku tindak pidana korupsi di Aceh Selatan.
Berdasarkan dari hal diatas, kami dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Somasi) Aceh Selatan menyatakan sikap mendukung langkah dari pihak Ketua Pengadilan Negeri Tapaktuan serta Majelis Hakim yang menagani perkara untuk menolak secara tegas atas surat permintaan penangguhan penahanan terhadap terdakwa dalam Kasus Korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi Bangunan (PBB) Tahun 2005 yang diajukan oleh Bupati Aceh Selatan.

Pemeriksaan saksi
Pantauan Serambi, Selasa (29/10), sidang lanjutan perkara dugaan Korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi Bangunan (PBB) Tahun 2005 di Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan berlangsung tertib. Namun, sidang pemeriksaan saksi yang diadili majleis hakim Hamzah SH (Ketua), Roni Susanta SH (anggota) dan Dadi Suryandi SH (anggota). Dalam persidangan pemeriksaan saksi itu hanya dihadiri tiga saksi, yakni Drs H Harmaini (Sekdakab), Basaruddin (Kabag Keuangan) dan Muhammad Rizal
(Bendahara Umum Daerah).
Selain itu dalam persidangan tersebut juga tampak hadir Drs HT Lizam Mahmud (tersangka). Sementara mantan Bupati Aceh Selatan, HT Machsalmina Ali yang juga dijadikan saksi dalam kasus itu tidak hadir dalam persidangan tersebut. Menurut informasi yang bersangkutan sudah kembali ke kediamanya di Banda Aceh.(az)

26 Oktober 2008

Aktivis Antikorupsi Kecewa, Bupati Asel Minta Penangguhan Penahanan 5 Tersangka Korupsi

Serambi Indonesia, 27 Oktober 2008

BANDA ACEH - Para aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Gerakan Anti-Korupsi (GeRAK) Aceh, dan Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi (SoMASI) Aceh Selatan, menyatakan kecewa terhadap kebijakan Bupati Aceh Selatan yang meminta penangguhan penahanan lima tersangka kasus korupsi di kabupaten setempat.
“Ini adalah suatu tindakan yang sangat bertolak belakang dan antitesis dengan semangat pemberantasan korupsi di Aceh,” tulis Pjs Koordinator Badan Pekerja GeRAK Aceh, Askhalani dan Koordinator SoMASI Aceh Selatan, Saiful Bismi, dalam siaran pers kepada Serambi, Minggu (26/10).
Pernyataan bersama itu dikeluarkan menyikapi surat Bupati Aceh Selatan tertanggal 23 Oktober 2008 dengan nomor 180/793/2008 perihal kasus korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Tahun Anggaran 2005. Menurut Askhalani, kelima orang itu telah ditahan oleh kejaksaan Negeri Tapaktuan sejak 27 Agustus 2008 sampai 15 September 2008, dan diperpanjang kembali sejak tanggal 16 September 2008 hingga kasus ini dilimpahkan ke PN Tapaktuan.
Kelima terdakwa itu, sebut Askhalani adalah, Drs T Lizam Mahmud (mantan Kepala Dispenda Aceh Selatan), Sulaiman SE, Rahmansyah SE, Basyahwaly, dan M Yasin SH (semuanya staf Dispenda Aceh Selatan). “Surat Bupati Aceh Selatan tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tapaktuan Aceh Selatan, Majelis Hakim yang menangani perkara kasus tersebut.
Dengan alasan permohanan penangguhan penahanan tersebut bahwa kelima para terdakwa adalah PNS,” sebut Askhalani.
Menurut siaran pers itu, berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Negara Nomor: LAP-235/PW.01/5/2008 tanggal 18 Juni 2008, perbuatan para terdakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 409.272.000.

“Berdasarkan atas data bukti surat, diketahui bahwa permintaan penangguhan penahanan seperti tertera dalam surat yang ditujukan untuk Ketua Pengadilan Negeri Tapaktuan dan Majelis Hakim yang menangani perkara dengan nomor surat 180/793/2008 tertanggal 23 Oktober 2008, yang ditandatangani langsung oleh Husin Yusuf selaku Bupati Aceh Selatan dengan Perihal Penangguhan/Pengalihan Jenis Penahan,” tulis Askhalani dan Saiful Bismi dalam siaran pers tersebut. Hingga berita ini diturunkan tadi malam, Serambi belum memperoleh keterangan resmi dari pihak terkait di Aceh Selatan.
Askhalani dan Saiful Bismi menilai, kebijakan atau alasan penangguhan penahanan yang disampaikan oleh Bupati Husin Yusuf adalah suatu alasan dan kebijakan yang sangat kontradiktif dan bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat serta Gubernur Aceh.
Karenanya, mereka mendesak pihak DPRK Aceh Selatan untuk segera mengklarifikasi surat permintaan permohonan penangguhan penahanan terhadap kelima terdakwa korupsi dana PBB yang diajukan oleh Bupati kepada Ketua Pengadilan Negeri Tapaktuan. Mereka juga mendesak Bupati Aceh Selatan supaya segera mencabut surat permohonan penangguhan penahanan tersebut.
“Kami juga berharap kepada Pengadilan Negeri Tapaktuan terutama majelis hakim yang menangani perkara Drs. T. Lizam Mahmud Cs, untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, karena selama ini penegakan hukum di Aceh Selatan masih mandul,” demikian siaran pers tersebut.(*/nal)

Penahanan Tersangka Mark Up Timbangan Portable, GeRAK Puji Kinerja Polisi, Pemko dan DPRK Sabang Mendukung

Serambi Indonesia, 27 Oktober 2008

Gerakan Rakyat Anti-Korupsi (Gerak) Aceh mendukung langkah Kepolisian Resor (Polres) Sabang menahan tiga tersangka kasus mark up timbangan portable. Gerak memuji, tindakan itu merupakan kerja nyata polisi setempat memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme di wilayah hukumnya. Ketiga tersangka ditahan tiga hari lalu yakni Kadishub Sabang Azhari Daud, bersama dua stafnya, Rusli Is dan Ismail. Koordinator Badan Pekerja Gerak Aceh, Akhiruddin Mahjudin, mengungkapkan penahanan Kadishub Sabang merupakan tindakan positif. Akan tetapi, dia berharap Polres tidak sekadar sesaat menahan tersangka, kemudian ditangguhkan. “Kalau itu terjadi, menunjukkan ketidakseriusan polisi. Akhirnya, publik akan bertanya-tanya tentang motif penahanannya,” ujar Akhiruddin kepada Serambi, kemarin. Dia mengingatkan itu lantaran tidak ingin terulang pengalaman seperti selama ini. Kata dia, sebelumnya juga banyak kasus ditahan, kemudian dilepas kembali. Akibatnya, akhir kasus itu tidak jelas. Menurut Akhiruddin, penahanan yang dilakukan polisi akan memberikan efek jera. Akan tetapi, dia mendesak kepolisian agar tidak berhenti sampai di situ. Sebab, penyidikan juga harus dilakukan secara serius, dengan memberi hukuman seberat-beratnya. “Dalam kasus ini, publik Sabang dan Aceh menunggu kerja nyata kepolisian, agar keadilan bagi masyarakat dapat ditegakkan,” cetusnya.

Dapat dukungan
Walikota Sabang, Munawar Liza Zainal, menyatakan dirinya menghormati segala proses hukum berlangsung. Sementara itu, dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Sabang, Anggota Fraksi Amanat Bulan Bintang, Abdullah Imum juga menyatakan dukungannya bagi penegakan hukum yang tengah dilakukan Polres Sabang, terkait kasus mark up pengadaan timbangan portabel bersumber dari APBK Sabang 2006. “Dengan adanya penahanan ini, kesan selama ini di publik bahwa penegakan hukum di Sabang tidak berjalan, menjadi tidak benar. Buktinya, kasus timbang portable sudah diproses,” ujar Abdullah. Kendati begitu, ia berharap semua pihak tidak serta merta memvonis ketiga pejabat yang kini ditahan di Rutan Polres Sabang, sebagai pihak yang bersalah. Menurut Abdullah, prinsip praduga tak bersalah dalam konteks ini, juga harus dikedepankan. “Hak-hak para tersangka juga harus dihormati. Salah atau tidaknya mereka, pengadilan yang akan memutuskan. Jadi, kita tidak boleh memvonis dulu sebelum ada keputusan pengadilan,” kata dia
Seperti diberitakan sebelumnya, Kadishub Sabang bersama dua stafnya ditahan usai menjalani pemeriksaan lanjutan pada Jumat (24/10), sekira pukul 15.00 WIB. Kapolres Sabang, AKBP Imam Thobroni, menjelaskan penahanan ketiga tersangka untuk memudahkan dan mempercepat pemeriksaan berikutnya. Kasat Reskrim Polres Sabang, Ipda Mahyuddin Daud, mengungkapkan dari hasil pemeriksaan terungkap, ketiga perusahaan yang mengajukan penawaran tender dipimpin orang sama. Ketiganya berbasis di Yogyakarta. “Tindakan ketiga tersangka terkait pengadaan Timbangan Portabel itu, sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi,” ujar Mahyuddin.(aza/fs)

23 Oktober 2008

Soal Pimpinan Dewan Kuras Uang Rakyat, Jaksa Akan Tindaklanjuti Temuan BPK

Srambi Indonesia 24 Oktober 208

Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh segera menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Perwakilan Banda Aceh, terkait pengurasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) Rp 299 juta oleh dua pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kota setempat. Rencana itu disampaikan, sekaligus menyahuti desakan Gerakan Rakyat Antikorupsi (Gerak) Aceh, agar aparat hukum menindaklanjuti temuan dimaksud.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh, Kamaruzzaman SH, mengatakan dalam waktu dekat pihaknya menyelidiki apakah terdapat indikasi korupsi dalam penyalahgunaan APBK Banda Aceh Tahun 2007 itu. “Kami akan mengumpulkan data-data awal. Ini biasa kami lakukan jika ada temuan, untuk melihat apakah ada indikasi korupsi dalam penyalahgunaan keuangan negara,” tandas Kamaruzzaman kepada Serambi, Kamis (23/10).

Sebelumnya, Koordinator Badan Pekerja Gerak Aceh, Akhirudin Mahjuddin, mendesak aparat hukum menindaklanjuti temuan BPK-RI Perwakilan Banda Aceh itu. Hal ini terkait penggunaan dana APBK Banda Aceh Tahun 2007 untuk biaya makan minum di rumah Ketua DPRK Banda Aceh, Muntasir Hamid Rp 239.139.000 dan di rumah Wakil Ketua DPRK Anas Bidin Nyak Syech Rp 60 juta. Menurut Akhiruddin, penyalahgunaan uang negara yang dilakukan dua pimpinan dewan itu jelas-jelas merupakan tindakan melawan hukum. Temuan itu tidak boleh berhenti pada diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Namun, harus diikuti langkah-langkah hukum lainnya. “Hal ini bukan saja tindakan melawan hukum, tapi juga merupakan tindakan tidak bermoral. Ini harus dijadikan bukti awal bagi aparat hukum melakukan penyelidikan dan penyidikan,” kata Akhiruddin.(th)

Soal Pimpinan dewan Kuras uang rakyat , Gerak : Temuan BPK Mesti ditindaklanjuti

Serambi indonesia 23 Oktober 2008


Temuan Badan pemeriksaan keuangan (BPK –RI) Perwakilan Banda Aceh tentang pengurasan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) Banda Aceh 2007 oleh dua pimpinan Dewan setempat, memunculkan reaksi dikalangan pegiat antikorupsi. Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai, tindakan itu bentuk penyalahgunann keuangan daerah yang notabene berasal dari rakyat. Karena itu, GeRAK mendesak aparat hukum segera menindaklajuti temuan BPK tersebut. Sebab, penyalahgunaan uang negara jelas jelas tindakan melawan hukum.
Koordinator Badan Pekerja Gerak Aceh (GeRAK), Akhiruddin Mahjuddin, mengatakan tindakan dua pimpinan DPRK Banda Aceh yang menguras dana APBK Rp 229 juta, merupakan pengkhianatan terhadap rakyat.
“Kasus ini bukan saja tindakan melawan hukum, tapi juga tindakan tidak bermoral. Karena itu, temuan BPK ini tidak boleh berhenti hanya pada terbitnya laporan hasil pemerikasaan, tetapi harus di jadikan bukti awal bagi aparat hukum untuk penyelidikan dan penyidikan, “ kata Akhriruddin kepada Serambi, kemarin. Menurut dia, penggunaaan uang yang tidak sesuai ketentuan oleh dua unsur pimpinan dewan tersebut, bukan saja mengakibatkan permborosan. Namun juga sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam mengelola keuangan negara.
“Temuan BPK ini juga merupakan gambaran bagaimana anggota dewan selama ini mengelola keuangan dan juga memberikan pelayanan kepada rakyat. Hal ini harus menjadi catatan bagi rakyat, agar tidak memilih orang-orang seprti ini lagi menjadi wakitl rakyat pada Pemilu 2009,” tambah dia. Seperti diberitakan kemarin, biaya makan minum di rumah Ketua DPRK Muntasir Hamid Rp. 239.139.000, dan di rumah Wakil Ketua DPRK Anas Bidin Nyak Syech Rp. 60 juta, digunakan tidak sesuai ketentuan. Pengurasan dana itu telah berlangsung sejak Januari hingga Desember 2007. Agus Khotib, Penanggung jawab Permeriksaan dari Perwakilan BPK-RI di Banda Aceh, mengatakan sebenarnya dana makan minum dirumah Pimpinan DPRK yang di alokasikan dlam APBK 2007, mencapai Rp. 360 juta. Namun, yang terealisasi hingga Desember 2007 Rp. 299 juta atau 83.09 persen. Sebab, salah seorang unsur pimpinan DPRK Banda Aceh, Mukminan, tidak mengambil dana tersebut.
Ketua dan Wakil Ketua DPRK Banda Aceh, Muntasir Hamid dan Anas Bidin Nyak Syech, mengatakan penggunaan dana tersebut sudah sesuai ketentuan. Namun, Agus Khotib mangatakan, belanja makanan dan minuman untuk ruamh pimpinan DPRK tidak termasuk dalam fasilitas yang seharusnya diterima anggota dan pimpinan DPRK. Dia merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 dan PP Perubahan Nomor 35 Tahun 2005, juga PP Nomor 21 Tahun 2007. (th)

Soal Penyimpangan Proyek APBA DIKNAS, “ Harus di Proses Hukum”

Harian Aceh, 23 Oktober 2008

LSM Anti-korupsi di Aceh mendesak tim Pansus DPRA segera melengkapi data dugaan penyimpangan proyek APBA di Dinas Pendidikan Aceh. Temuan-temuan itu harus dilaporkan ke Kejaksaan atau Kepolisian untuk diproses secara hukum.
“Keakuratan temuan Pansus DPRA ini bisa dikatakan 100 persen, karena dewan turun langsung ke lapangan guna mengecek kebenaran dan juga memiliki daftar anggaran yang dialokasikan untuk masing-masing proyek di sektor pendidikan itu,” sebut Askhalani, Pjs Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Rabu (22/10).
Di sisi lain, kata dia, Pemerintah Aceh harus segera mengevaluasi kinerja pejabat di Dinas Pendidikan karena hal itu menyangkut masa depan dunia pendidikan Aceh. “Kalau memang langkah amputasi dan mutasi lebih baik, ya harus dilakukan demi pendidikan Aceh. Kita yakin, dugaan penyimpangan itu tidak dilakukan sendiri oleh kepala dinas, tapi dilakukan secara kelembagaan yang melibatkan pejabat-pejabat di dinas itu,” tuturnya.
Menurut dia, GeRAK Aceh mendukung Pansus DPRA melaporkan temuan itu kepada pihak penegak hukum anggar bisa diproses lebih lanjut. “Temuan tim Pansus ini perlu diproses tuntas, karena anggaran tahun 2008 adalah awal dari kepemimpinan kepala dinas yang baru,” lanjut Askal.
Kalau memang dana pendidikan Rp1,5 triliun lebih yang dianggarkan dalam APBA banyak diselewengkan, kata dia, maka dunia pendidikan Aceh akan terus terpuruk. “Kalau ini tidak secara hukum, dikhawatirkan hal ini akan terulang pada APBA 2009 yang alokasi dana pendidikan akan lebih banyak lagi. Apalagi ini terjadi pada pejabat yang lulus seleksi sehingga akan menimbulkan rasa kurang simpati rakyat terhadap pemerintah kalau tidak diproses hingga tuntas,” ucapnya.
Atas temuan-temuan penyimpangan itu, lanjut Askal, pihaknya mengharapkan ke depan Dinas Pendidikan Aceh tidak lagi mengurus proyek yang bersifat fisik. “Dinas pendidikan harus lebih fokus pada peningkatan SDM guru dan mutu pendidikan Aceh ke arah yang lebih baik. Hal ini saya rasa akan lebih baik bagi kemajuan dunia pendidikan kita,” tandasnya.(mrd)

14 Oktober 2008

Kejati Aceh endapkan sejumlah kasus korupsi

Harian Aceh, 15 Oktober 2008

Beberapa kasus korupsi lama maupun baru yang ditangani kejaksaan tinggi (Kejati) Aceh hilang begitu saja. Lembaga hukum itu dituding mengendapkan kasus-kasus Tipikor tersebut.

Beberapa kasus yang dinilai tidak ada kabar lagi, yakni tiga kasus korupsi ditubuh BRR Aceh –Nias yang mencapai kerugian negara hingga 8,3 miliar, seperti proyek restorasi hutan mangrove dan hutan pantai pada satker BRR pesisir dan pengembangan lingkungan hidup dengan anggaran sebesar Rp 2, 222 miliar. Selanjutnya pengadaan alat laboratorium Kimia, Biologi, Fisika untuk SMA/MA, SMP serta MTsN pada satker BRR program dan pengembangan pendidikan Rp 5, 392 miliar dan kontrak konsultan PT. Sendang Rekayasa Piranti Informatika tahun 2006 pada Satker BRR perumahan dan Pemukiman wilayah 01 Aceh sebesar 673 juta. Ketiga kasus tersebut padahal telah dilimpahkan oleh BPKP Aceh sejak 27 Mei lalu.

Sementara untuk kasus lain, seperti korupsi di Dispora Aceh Tenggara, pengadaan bibit sapi di Bener Meriah dan Aceh tengah yang dilakukan Dinas Peternakan Aceh yang saat itu Kadisnya dijabat oleh Nasir Gurumud serta kasus terbaru yakni korupsi di TVRI Aceh dan kasus Terminal Mobar. Menurut Pjs Koordinator gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Askhalani, hebohnya setiap kasus korupsi yang ditangani jaksa, ketika pada awal penanganan, selanjutnya kasus itu terdiam begitu saja. “Hal demikian akan mengakibatkan masyarakat meragukan kinerja lembaga hukum kita, sehingga ketika ada temuan dari masyarakat tentang kasus korupsi, maka mereka enggan melaporkannya ke kejati,” kata Askhal kemarin.

Menanggapi tudingan tersebut, asisten Intelijen Kejati Aceh, M Adm , SH mengatakan butuh waktu lama dalam membuktikan sebuah kasus korupsi. Dia mengaku wajar jika masyarakat menyoroti kinerja lembaganya itu yang terkesan lamban. “ Ditingkatkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan menghabiskan waktu yang cukup lama, namun demikian, kami terus bekerja dan kalau ada krtikian dari masyarakat itu sangat wajar, kritikan itu dapat menambah motivasi kinerja kami,” kata Adam yang didampingi Jaksa Suhendra, kemarin

Namun demikian, Adam mengaku kebanyakan kasus tersebut sudah sampai ditingkat penyidik, seperti dua dari tiga kasus korupsi di BRR Aceh-Nias, yakni kegiatan Restorasi hutan mangrove, hutan pantai dan kontrak konsultan PT.Sendang Rekayasa Piranti Informatika pada tahun 2006. sementara untuk alat Laboratorium Kimia, Biologi, Fisika untuk SMA/MA, SMP serta MTsN masih tahap penyidikan.

“Bukan itu saja, kasus pengadaan sapi juga sudah ditingkat penyidik, kemudian kasus Kadispora Aceh Tenggara dan kasus TVRI,” sebutnya. Sementara jaksa Suhendra, yang menjadi koordinator kasus pengadaan alat Laboratorium menjelaskan, kasus yang diduga BPKP telah terjadi penggelembungan harga dalam pengadaan harga Kertas HVS dalam pengadaan buku tersebut masih pada tahap penyelidikan. Untuk membuktikannya, saat ini pihaknya harus menghitung sejumlah buku yang sudah disalurkan ke sekolah diseluruh Aceh. “ Itu masih belum kami limpahkan, namun tidak lama lagi kasus itu sudah kami limpahkan ke pihak penyidikan dan selanjutnya akan kita lihat perkembangannya dulu, jelas Suhendra.