30 November 2008

Dewan Desak Kejati Perjelas Kasus KM Pulau Deudap, GeRAK : Informasi terakhir di Audit BPKP

Harian Aceh, 30 November 2008

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendesak pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh memperjelas status kasus pengadaan KM Pulau Deudap. Sementara dalam catatan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, informasi terakhir kasus itu sedang dalam audit Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRA, Moharriadi, ST, S.Ag, mengatakan untuk memperjelas status kasus kapal cepat yang menghabiskan dana APBA sebesar Rp22,5 miliar itu, pihak kejaksaan harus memaparkan secara transparan ke publik. ”Jangan sampai opini negatif masyarakat terhadap kinerja aparat penyidik dalam menangani sebuah kasus makin buruk,” sebutnya saat dihubungi, Sabtu (29/10).

Menurutnya, bagi publik kegagalan kejaksaan menyelesaikan sebuah kasus akan berimbas pada kinerja pemerintah, terutama dalam pemberantasan korupsi di Aceh yang sedang digalakkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, melalui program clean goverment-nya.

Penjelasan tentang kasus yang mengakibatkan KM Pulau Deudap itu bersandar di dermaga Pasiran Sabang, katanya, pihak kejaksaan tidak perlu menutup diri. Apa pun status hukum dalam kasus KM Deudap itu harus dijelaskan ke publik. “Apa masih dalam pemeriksaan atau telah diputuskan perkaranya oleh Kejati Aceh, dengan dikeluarkan Surat Pemberhentian Pengusutan Perkara (SP3) perlu adanya penjelasan konkret,” lanjut Moharriadi.

Jangan karena sudah di-SP3 atau tidak diusut lagi, katanya, pihak kejaksaan enggan menyampaikan ke masyarakat. “Dengan keterbukaan mereka, pasti masyarakat beranggapan Kejati Aceh benar-benar bekerja, namun sebaliknya jika seperti ini malah menyebabkan opini negatif dari masyarakat timbul seiring banyaknya penanganan kasus yang tidak selesai,” paparnya.

Diaudit BPKP

Sementara itu, GeRAK Aceh dalam catatan terakhirnya menyebutkan kasus itu sedang dalam audit oleh BPKP. Hal itu pernah disampaikan Asisten Intelijen Kejati Aceh, M Adam, beberapa waktu lalu di salah satu media lokal di Aceh.

”M Adam menyampaikan itu sekitar bulan Juli lalu, tapi setelah itu kasus tersebut malah hilang. Dengan demikian kami menilai ada indikasi permainan aparatur pemerintah dalam pengusutan kasus itu,” kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, kemarin, di Banda Aceh.

Menurut Askhal, berhentinya pengusutan kasus KM Pulau Deudap menunjukkan upaya Kejati untuk mempeti-es-kan kasus tersebut sangat tinggi. Hal itu dapat dilihat dari cara bekerja tim penyidik yang terkesan menutup diri untuk menyampaikannya ke publik.

”Pola kerja Kejati seperti ini tidak hanya pada kasus KM Pulau Deudap tapi masih banyak kasus lainnya belum terusut tuntas. Catatan kami, ada 20 kasus lama dari BRR dan 15 kasus baru lainnya belum mendapat penjelasan dari Kejati Aceh hingga saat ini,” tandasnya.

Sedangkan Kasi Penkum Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis, mengaku pihaknya baru menemukan file kasus KM Pulau Deudap, berhubung sebelumnya kasus pengadaan kapal cepat yang telah menghabiskan dana puluhan miliar tersebut, tidak pernah diketahuinya selama menjabat sebagi Humas di Kejati Aceh.

”Saya bukannya tidak mau memberikan keterangan. Karena saya baru menjabat sebagai Humas di sini, jadi terus terang kasus ini saya tidak bisa menjelaskannya, sebelum pihak jaksa yang menangani kasus ini menjelaskan kronologis yang sesungguhnya,” sebutnya.

Rasab menambahkan, dengan telah ditemukannya file kasus itu akan membantu pihaknya untuk segara menyampaikan kepada publik, bagaimanapun status kasus itu saat ini agar masyarakat di Aceh mengetahuinya.(min/ril)

18 November 2008

Kasus Korupsi APBD Agara, Armen Desky Jadi Tersangka

Serambi Indonesia, 18 November 2008

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Bupati Aceh Tenggara, H Armen Desky, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Agara 2005-2006. Demikian ditegaskan Jurubicara KPK, Johan Budi, menjawab Serambi di Jakarta, Senin (17/11).

Menurut Johan, proses penyidikan terhadap tersangka hingga kini masih berlangsung dan diperkirakan baru tuntas dua bulan. “Setelah penyidikan selesai baru dilanjutkan penututan,” kata Johan Budi.

Johan tidak tidak menampik kemungkinan bertambahnya tersangka baru dalam kasus tersebut, sementara berapa besar jumlah kerugian negara akibat perbuatan tersangka saat ini masih dihitung. Meskpun telah ditetapkan sebagai tersangka, namun KPK berlum melakukan penahanan terhadap Armen Desky.

Dugaan kasus korupsi APBD Aceh Tenggara yang disidik KPK itu merupakan satu dari enam berkas dugaan korupsi APBD dalam kurun waktu 2005-2006 di enam kabupaten/kota di Aceh, yang dilaporkan Gubernur Irwandi Yusuf pada Maret 2008 silam.
Meliputi Kabupaten Aceh Barat, Aceh Barat Daya (Abdya), Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Gayo Lues senilai Rp 202 milyar.

Keseluruhan berkas tersebut diserahkan gubernur secara resmi kepada Wakil Ketua KPK M Yasin. Sebelum itu, gubernur juga melaporkan kasus di Aceh Timur dan Bireuen. Namun, dari seluruh laporan dugaan korupsi tersebut, KPK baru menindaklanjuti kasus Aceh Tenggara.

Gubernur Irwandi Yusuf sebelumnya mempertanyakan penanganan laporan dugaan korupsi di enam kabupaten itu. Sepengetahuan dirinya, baru kasus Aceh Tenggara yang diperiksa, dan belum mendengar pemeriksaan terhadap lima kabupaten lainnya.
“Tentu kita mempertanyakan hal ini kepada KPK, sejauh mana sudah penanganannya,” kata Irwandi.

Jangan tebang pilih

Sementara itu, secara terpisah, aktivis Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh, Akhiruddin Mahjuddin menaruh apresiasi terhadap penanganan dugaan kasus korupsi APBD Aceh Tenggara menyusul ditetapkanya Armen Desky sebagai tersangka oleh KPK.

Namun, kata pria yang kerap disapa Udin tersebut, KPK diminta tidak hanya melakukan fokus penyidikan kepada Armen. Sebab, dugaan korupsi tersebut disinyalir juga turut melibatkan sejumlah pejabat lainnya di Pemerintahan Aceh Tenggara.

“KPK jangan tebang pilih. Jangan ada istilah penetapan tersangka terkesan bagian dari pesanan, by order atau ada nuansa politis. KPK harus mencari tersangka lain yang ikut terlibat dari kasus tersebut,” katanya.

Dia sebutkan, bila KPK menetepkan tersangka karena muatan politis, maka tindakan itu dinilai telah mencederai rasa keadilan rakyat. Menurut Udin, pihaknya mensinyalir tidak hanya Armen yang menikmati dana APBD yang diduga telah dikorupsi itu. Akan tetapi, katanya, diyakini ada pejabat lain di pemerintahan setempat yang juga turut menikmati dana tersebut

Pihaknya juga mendesak agar KPK segera menahan Armen pascapenetapan status mantan bupati Aceh Tenggara itu sebagai tersangka. Hal ini penting agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan berupaya menghambat orang lain untuk menjadi saksi, baik dalam proses penyidikan maupun persidangan serta untuk memberikan rasa keadilan kepada publik.(fik/sar)

17 November 2008

Soal Terminal Mobar, GeRAK Surati KPK Pekan ini

Harian Aceh, 18 November 2008

Wacana Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani kasus pembebasan lahan terminal Mobar sudah bulat. Dipastikan, meraka akan menyurati KPK dalam pekan ini.

KPK diminta menyelidiki dugaan penggelembungan dana pada pembebasan lahan terminal Mobardi Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar, setelah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mewancanakan penghentian penyelidikan kasus tersebut.

Pjs Koordinator GeRAK, Askhalani mengaku sudah menyiapkan surat tersebut untuk dikirimkan ke KPK Pusat. “Tinggl kirim ke KPK pusat dalam pekan ini secara resmi. Kami serius terhadap ini, bukan gertak belaka,” katanya di Banda Aceh, kermain.

Menurut Askhal, pertimbangan untuk meminta KPK menyelidiki kasus Terminal Mobar sudah lama dipikirkan pihaknya setelah melihat potensi tim penyidik di Aceh masih lemah dalam menyelidiki kasus korupsi.

“Lemahnya kemampuan penyidik Kejati Aceh mengungkapkan ksus korupsi yang ditangani lembaga itu hilang begitu saja,” kata Askhal.

Kasus pembebasan lahan terminal Mobar, menurut Askhal, telah terjadi pembohongan publik terkait harga tanah yang dibayarkan dengan harga sebenarnya. “Kita lihat saja ketika KPK turun ke lapangan. Saat itu kita bisa menilai kinerja tim penyidik kita yang masih sangat jauh dari yang kita harapkan,” terang Askhal.

Pada pemberitaan sebelumnya, Kejati Aceh yang selama ini menangani kasus tersebut mewacanakan penghentian penyelidikannya.

Kesimpulan tidak adanya penyimpangan pada pembebasan lahan yang dilakukan oelh Tim Sembilan itu, setelah para jaksa itu turun langsung ke lokasi terminal Mobar. min

15 November 2008

Gerak Desak Pengusutan Tuntas Kasus Pemotongan Uang BBM Pegawai Dinkes

Serambi Indonesia, 15/11/2008

BANDA ACEH - Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh mendesak aparat kejaksaan mengusut tuntas dugaan pemotongan uang operasional bahan bakar minyak (BBM) di Dinas Kesahatan (Dinkes) Banda Aceh. Menurut para pegiat antikorupsi di lembaga itu, apapun alasanya, pemotongan uang tetap sebuah pelanggaran.

Pj Koordinator Gerak Aceh, Askhalani mengatakan, pemotongan itu mengandung unsur pidana. Apalagi ditambah tidak jelasnya penggunaan uang yang dipotong selama ini.

“Pertama, kita harus memberi apresiasi atas kerja Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh yang berhasil membongkar kasus ini,” ujar dia kepada Serambi, kemarin.

Namun, kata Askhalani, Dewan jangan diam sampai di situ. Dia menyarankan agar lembaga legislatif mengusut tuntas kasus tersebut. Dengan demikian, kerja sebuah lembaga wakil rakyat
––yang salah satu tugasnya––mengawasi jalannya roda pemerintahaan, bisa dipertanggungjawabkan ke publik.

“Kami mengharapkan dewan mendorong kasus ini untuk diusut oleh penyidik.
Karena, memotong uang itu pidana. Meskipun ada kesepakatan, tetap tidak dibenarkan. Di samping itu, praktik tersebut harus segera dihentikan,” tegasnya.

Belum lagi, dari jumlah uang yang dipotong berkisar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu per pegawai per bulan. Bila dikalkulasikan, puluhan juta rupiah uang dimaksud tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Karena janjinya uang yang dipotong dibagikan kepada 48 pegawai yang tidak memperoleh uang operasional BBM. Sedangkan sisa uang dimaksud tidak jelas penggunaannya,” tukas dia.

Ashkalani menyebutkan, kasus semacam itu tidak boleh dilihat dari besarnya nilai uang. Sebab, praktik itu dilakukan dengan modus sangat cantik dan rapi. Kalau kasus pemotongan uang semacam ini terus dibiarkan, kata dia, semakin memudahkan pejabat di instansi lain melakukan tindakan serupa, dengan dalih sudah disetujui.

“Padahal, bawahannya tidak setuju kalau ditanya secara jujur dari hati ke hati. Tapi mereka mengiyakan karena ada unsur takut pada atasan,” duganya. “Kalau dibiarkan, pegawai golongan rendahan berpenghasilan pas-pasan akan terus menjadi korban. Sekali lagi, kasus ini harus diusut tuntas.”

Seperti diketahui, kasus itu terungkap ketika Panitia Anggaran (Pangar) DPRK Banda Aceh mengevaluasi kinerja dan realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Kota (APBK) 2007, pada 4 November silam. Pangar mendapatkan laporan pemotongan BBM dari 163 pegawai Dinkes yang diberi kendaraan operasional. Pemotongan tersebut dipastikan dengan pengakuan Kepala Dinkes (Kadiskes) Banda Aceh, Media Yulizar.(sup)

13 November 2008

Para Rekanan Nyatakan Ikhlas, GeRAK: Uang Terima Kasih = Suap

Serambi Indonesia, 14 November 2008

ANDA ACEH - Sepuluh rekanan pemenang tender proyek pada Dinas Pendidikan Aceh, Kamis (13/11) kemarin mendatangani Mabes Serambi Indonesia untuk menyampaikan sebuah surat pernyataan. Isinya, mereka nyatakan tidak ada unsur paksaan saat mereka memberikan uang kepada PPTK Dinas Pendidikan Aceh, sebagaimana terekam oleh video anggota Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), Senin (10/11).

“Uang itu kami berikan dengan ikhlas, tanpa ada unsur paksaan,” kata Fahdinur Fadil SE, Kuasa Direktur PT Jamil Kongsi dan Hadimiswar, Direktur CV Tumbuh Sejahetra, mewakili sepuluh rekannya, kepada Serambi.

Usai menjelaskan maksud kedatangannya ke Mabes Serambi, Fahdinur Fazil dan Hadimiswar menyerahkan surat pernyataan terkait berita harian ini kemarin tentang pungli di Dinas Pendidikan Aceh yang terekam video seorang anggota TAKPA.

Pada permulaan surat pernyatannya itu mereka mengakui bahwa benar telah memberikan uang kepada pihak pembuat kontrak yang jumlahnya bervariasi, antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta, bahkan ada yang lebih. Tapi uang tersebut diberikan untuk biaya cetak dan penggandaan dokumen kontrak plus biaya lainnya, yaitu biaya ketik kontrak dan materai. Jadi, bukan biaya “pungli/upeti”.

Pada poin 2 surat pernyataan itu, disinggung soal isu “pungli/upeti”. Bahwa sebagaimana diberitakan, PPTK/pembuat kontrak jika tidak diberikan upeti/pungli oleh rekanan, maka SPK/kontrak sangat lamban dikerjakan. Tapi sebaliknya, jika diberikan “upeti”, maka pada hari itu juga SKP/kontrak bisa langsung ditandatangani dan diambil oleh rekanan. Menurut para rekanan, berita tersebut tidaklah benar.

Poin 3, terkait berita di atas para rekanan merasa berita tersebut terlalu dibesar-besarkan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Pada poin 4, para rekanan itu menyatakan, “Apa pun yang kami berikan kepada pembuat dan sebagai biaya cetak pengadaan kontrak, itu bukanlah unsur paksaan, melainkan ikhlas.”

Pakta integritas

Terkait dengan pemberitaan tersebut, Ketua Kadin Aceh, Firmandez, Ketua LPJK Nova Iriansyah, dan Ketua Ardin Aceh, Hazwan Amin, didampingi pengusaha besar Aceh, Beldi, di Kantor Kadin Aceh kemarin mengatakan, dalam mekanisme tender atau lelang dan pemberian pekerjaan ada yang namanya pakta integritas. Jadi, antara PPTK dan rekanan pemenang tender hendaknya saling memegang aturan dimaksud.

Konkretnya, pemberian dana di luar yang tidak diatur hendaknya jangan dilakukan rekanan dan PPTK pun harus berani menolaknya. “Sebab, jika itu dilakukan, bisa membuat proses tender dan pelaksanaan proyek menjadi tak lagi sehat,” tukas Firmandez.

Pemerintah sebagai pemilik proyek, ungkap Hazwan menambahkan, sudah menyiapkan perangkat prasarana dan sarana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan lelang dan kontrak kerja dengan cukup, termasuk pembiayaannya. Sebaliknya, pihak rekanan yang ikut tender serta yang telah menang tender pun punya tanggung jawab. Jadi, masing-masing harusnya memegang aturan yang telah diatur, sehingga proses pelelangan proyek APBA bisa berjalan di atas relnya dan hasil proyek itu juga nanti bisa dinikmati rakyat dengan kualitas standar dan tak ada lagi berita tentang proyek yang ditelantarkan atau dikerjakan asal jadi oleh rekanannya.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, kata Hazwan Amin, membentuk tim antikorupsi tentulah punya misi dan tujuan yang dia inginkan, yakni agar pelaksanaan pemerintahannya bisa berjalan baik dan bersih, tanpa KKN. Cita-cita Gubernur itu, harusnya ditindaklanjuti oleh seluruh dinas/badan untuk bermain sesuai aturan, supaya kegiatannya tidak menjadi temuan TAKPA yang dibentuk Gubernur Irwandi. “Sehingga apa yang menjadi misi dan cita-cita Gubernur Irwandi Yusuf dalam masa pemerintahannya ini bisa menjadi kenyataan,” ujar Ketua Ardin Aceh itu.

Sama dengan suap

Praktik pungli yang diduga terjadi di Disdik Aceh dan sempat terekam video itu, mengundang reaksi dari Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh. Lembaga itu menyebutkan, pungutan liar atau uang terima kasih tersebut sama halnya dengan suap, berpotensi merugikan keuangan negara.

Gerak mendesak agar TAKPA segera melaporkan temuan hasil rekaman video pungli tersebut kepada aparat penegak hukum.

“Tindakan pungli yang dilakukan oleh oknum dinas tersebut sudah termasuk kategori tindakan melanggar hukum,” kata Pj Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, dalam pernyataan tertulis kepada Serambi kemarin.

Menurutnya, berdasarkan analisa atas kasus praktik tersebut bukan dilakukan oleh satu orang saja, melainkan dilakukan secara berjemaah.

Dia sebutkan, khusus dalam proses pelayanan administrasi di kantor-kantor pemerintah di manapun tidak dibenarkan untuk meminta pungutan kepada para pihak atau menerima imbalan dari tugas yang dilaksanakan.

Menurut Askhalani, praktik pungli yang diduga terjadi di Disdik Aceh itu juga bertentangan dengan UU RI Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam Pasal 5 ayat (6) UU tersebut dinytakan bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih, baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Kami mendesak Gubernur untuk segera memecat oknum-oknum yang ikut bermain dalam praktik pungli tersebut, karena tindakan yang dilakukan telah melanggar aturan hukum serta kode etik dan sumpah yang diucapkan saat dilantik menjadi PNS,” ungkapnya. (her/sar)

KASUS PROYEK TERMINAL MOBAR, Kejati Akan Hentikan Pengusutan, Hasil Temuan Lapangan tak Terbukti. GeRAK ACEH : Kami Akan Laporkan Ke KPK

Serambi Indonesia, 14 November 2008

Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menyatakan akan menghentikan pengusutan kasus dugaan mark-up (penggelembungan harga) pembebasan tanah untuk proyek pembangunan terminal mobil baran (Mobar) di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Jaksa belum menemukan adanya unsur tindak pidana korupsi sebagaimana disinyalir Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dalam laporannya beberapa waktu lalu.

“ Secara hukum belum ditemukan ada indikasi penggelembungan harga (mark-up). Bahkan disana itu tidak ada lagi harga tanah Rp. 700 ribu/meter. Tapi sudah diatas satu juta,” kata Kasie Penkum/Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH, kepada wartawan, Kamis (13/11), usai survei lapangan di lokasi lahan pembangunan terminal Mobar yang dipimpin Asintel Kejati Aceh, M Adam SH.

Sebelumnya,laporan GeRAK mensinyalir telah terjadi mark-up dalam proses pembebasan tanah tersebut. Menurut GeRAK, dalam penetapan harga tanah yang besarannya Rp. 700 ribu/meter tersebut telah terjadi penggelembungan harga. Hal ini dibuktikan dengan telaah perbandingan atas harga pembebasan yang dilakukan oleh Satker BRR- Pengembangan Sarpras Lembaga Permasyarakat Banda Aceh di wilayah Desa Santan untuk pembangunan Lapas dan Rutan Banda Aceh yang hanya dibayarkan sebesar Rp. 142.500/meter kepada 51 pemilik tanah.

Menurut Ali Rasab, harga pembelian tanah terminal Mobar sebesar Rp. 700 ribu/meter itu sudah wajar. Hal ini disimpulkan setelah pihaknya melakukan cross check langsung ke lokasi dan bertemu dengan keuchik dan sekretaris kecamatan setempat, kemarin. “Secara faktual setelah kita cek, keuchiek mengatakan memang segitu harganya. Jadi kita berkesimpulan belum ada indikasi penyelewengan harga dalam pembeliaan tanah tersebut,” jelasnya.

Dia katakan, lokasi lahan pembangunan terminal Mobar berada di pinggir jalan Banda Aceh – Medan. Karena letaknya di pinggir jalan, kata Ali Rasab, maka saat ini harga jual tanah di kawasan itu tidak ada lagi yang di bawah Rp. 1 juta/meter seperti ditegaskan keuchik setempat.

Berbeda dengan lokasi pembangunan LP Banda Aceh yang berada di dekat sawah, sekitar 1 km dari lokasi terminal Mobar, yang masih memerlukan dana untuk penimbunan. Kondisi ini membuat harga antara tanah terminal Mobar dengan LP Banda Aceh juga terjadi perbedaan harga.

“ Karena itu, sepertinya tidak ada lagi yang kita panggil. Cuma Keuchik yang akan kita panggil untuk penetapan harga untuk dituangkan secara hukum. Disamping itu, harga tersebut juga sudah ditetapkan oleh Tim Sembilan, jadi sah secara hukum,” katanya.

Meskipun begitu, kata Ali Rasab, keputusan menghentikan kasus tersebut sepenuhnya berada di tangan Kajati. “Bisa saja ditindaklanjuti kembali kalau ada bukti-bukti baru yang bisa dipertanggungjawabkan,” demikian Kasie Penkum/Humas Kejati Aceh. (sar)


GeRAK ACEH : Kami Akan Laporkan Ke KPK

Banda Aceh – Keputusan Kejati akan menghentikan kasus tersebut ternyata menuai reaksi dari GeRAK Aceh. Meraka menilai, sikap tersebut merupakan salah satu bukti Kajati lemah dalam penegakan hukum.

“Sudah kita duga dari awal Kajati tidak akan mampu mengungkap kasus ini. Kita sangat kecewa. Ini bukti kelemaha Kajati,” kata Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, kepada Serambi kemarin.

Menurutnya, dalam kasus tersebut pihak Kejati dinilai hanya terfokus pada pertimbangan harga berdasarkan lokasi lahan terminal dan tidak berupaya maksimal mengungkapkan mengapa bisa terjadi penetapan harga tanah yang jumlahnya mencapai Rp. 700 ribu/meter. “Kami sangat kecewa, dan akan melaporkan kasus ini kepada KPK,” tegas Askhalani.

Terkait kasus ini, sebelumnya Kejati Aceh sudah memintai keterangan dari beberapa orang yang tergabung dalam Tim Sembilan bentukan Pemkab Aceh Besar. Termasuk di antaranya Sekdakab Aceh Besar, Dahlan, Yusmadi dan Salikin.

Pembabasan lahan Terminal Mobar ini sendiri dilakukan pihak pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar dan Pemko Banda Aceh dengan luas lahan 2 hektar lebih dengan pagu anggaran Rp. 13.774.810.000 bersumber dari BRR Aceh – Nias. (sar)

Penyelidikan Terminal Mobar Bakal Berhenti, GeRAK Ancam Surati KPK

Harian Aceh, 14 Nopember 2008

Kejakasaan Tinggi (Kejati) Aceh mewacanakan penghentian penyelidikan terhadap kasus dugaan mark-up pembebasan lahan terminal mobil baran (Mobar) di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Sementara Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh akan menyurati KPK jika wacana jaksa tersebut terwujud.

Wacana penghentian penyelidikan tersebut karena Kejati Aceh menilai tarif tanah yang dibebaskan Panitia Sembilan di desa Santan sudah sesuai prosedur. Hal ini terungkap setelah delapan penyelidik Kejati yang dipimpin Asintel M Adam dan Kasie Penkum Humas Ali Rasab Lubis turun ke lokasi pada Kamis (13/11).

Ketika di lapangan, mereka melihat langsung latak tanah terminal seluas dua hektar yang dibeli oleh pemerintah kabupaten senilai Rp. 13.774 Miliar dari APBN 2008 yang sebelumnya diduga telah terjadi penggelembungan harga seperti yang dilaporkan oleh LSM GeRAK Aceh beberapa bulan lalu.

“Kami nilai sangat wajar dengan harga yang dibayarkan Tim Sembilan sebesar Rp. 700 ribu per meter, karena lokasinya terletak di pinggir jalan. Tanah disitu memang segitu harganya malah ada harga Rp. 1 juta per meter,” kata Ali Rasab, kermarin.

Saat dilapangan, tim jaksa tesebut juga ditemani oleh Keuchik Desa Santan dan Sekcam Ingin Jaya. Berdasarkan keterangan dari mereka, dan pantauan langsung, akhirnya jaksa menyimpulkan untuk mewacanakan penghentian penyelidikan kasus tersebut.

“Jika dibandingakan harga pembebasan lahan Lembaga Permasyarakatan (LP) yang lokasinya dalam satu desa yakni Rp. 500 ribu per meter dengan harga pembebasan tanah terminal yang harganya Rp. 700 ribu per meter, memang terjadi penggelembungan harga Rp. 200 ribu per meter. Namun harus dilihat lagi, kalau lokasi LP agak jauh dari jalan, sementara lahan terminal dekat jalan.” Kata Ali Rasab.

Menurut Rasab, hasil di lapangan tersebut nantinya akna dilaporkan ke kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh. “Kalau nanti katanya pemeriksaan dilanjutkan ya kita lanjutkan, kalau tidak baru kami hentikan,” ujarnya lagi.

Rasab mengatakan sebelum pihaknya turun ke lapangan, penyelidik sudah memeriksa beberapa orang yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut, diantaranya Sekda Aceh Besar Dahlan, Anggota Panitia Sembilan Yusmidi dan Sadikin. “Atas penjelasan mereka sehingga tim penyidik turun ke lokasi,” katanya.

Ancam Surati KPK

Sementara Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengaku akan menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, jika Kejati Aceh menghentikan penyelidikan kasus tersebut. “Jika dihentikan kami akan meminta KPK untuk melanjutkan penyidikan tersebut,” kata Askhal, kemarin.

Askhalani mengaku dari semula sudah ragu terhadap penyelidikan Kejati Aceh pada kasus tersebut. Sebelumnya GeRAK sudah memprediksi kasus tersebut akan menghilang begitu saja.

Menurutnya keinginan untuk menyutati KPK bakal dilaksanakan secepatnya, karena dalam kasus tersebut ada permasalahan yang sangat rumit yang tidak dapat mampu diselidiki Kejati Aceh.

“Itu bukan masalah tarif tanah, ada permainan harga tanah antara panitia dengan laporannya untuk mendapatkan laba besar yang dapat merugikan negara. Jadi bukan setelah melihat lokasi, jaksa langsung menilai harganya sudah sesuai. Kami sangat kecewa jika hal itu dijadikan sebagai alasan untuk menghentikan penyelidikan,” sebut Askhalani. min

Di Duga sarat Penyimpangan, Anggaran Tsunami Drill tak jelas

Harian Aceh, 14 Nopember 2008

Sumber dana yang dipakai Pemerintah Kota Banda Aceh untuk biaya kegiatan simulasi tsunami atau ‘tsunami dril’ di Kecamatan Meuraxa pada Minggu (2/11) lalu, hingga kini belum jelas. BRR Aceh-Nias yang disebut-sebut oleh Pemko sebagai donatur utama, malah membantah sudah mencairkan dana untuk proyek yang berdurasi 1,5 jam tersebut. Sehingga, seremonial itu ditengarai sebagai ajang korupsi para pejabat.

“Belum seperser pun dana kami cairkan untuk kegiatan tersebut,” kata Juru Bicara BRR Aceh-Nias, Juanda Djamal, yang dihubungi Harian Aceh, Kamis (13/11) malam.

Menurut Juanda, anggaran pelaksanaan ‘tsunami dril’ baru sebatas pengajuan Pemko Banda Aceh kepada BRR sebesar Rp900 juta. Namun, BRR baru sebatas mempelajari proposalnya. “Karena belum cair dari BRR, sementara ini segala biaya pelaksanaan ditanggung oleh Pemko setempat,” ungkap Juanda.

Pernyataan Juanda bertentangan dengan pengakuan Walikota Mawardi Nurdin dan Wakil Walikota Illiza Saaduddin. Mereka mengaku dana yang sudah terpakai pada simulasi sebesar Rp200 juta dari bantuan BRR. “Yang kami gunakan pada simulasi tersebut dari bantuan BRR sebesar Rp200 juta,” kata Wakil Walikota Illiza Saaduddin, kemarin.

Menurut Illiza, sumber dana pelaksanaan ‘tsunami dril’ dari DIPA 2008 sebesar Rp900 juta yang diajukan kepada BRR Aceh-Nias. Dari jumlah tersebut, BRR baru mencairkan Rp200 juta. Minimnya pencairan dana dari BRR tidak mampu menutupi kebutuhan pelaksanaan kegiatan simulasi bencana tersebut, akibatnya kegiatan tersebut menyisakan hutang.

“Dana Rp200 juta dipakai untuk perencanaan kegiatan, transportasi, pengadaan 1000 baju peserta, konsumsi peserta, dan uang saku 4000 peserta sebesar Rp15 ribu per orang. Jadi, tidak cukup, sehingga kami banyak berutang di luar seperti di restoran,” kata Illiza.

Namun, Illiza enggan menyebutkan rincian dana yang sudah dihabiskan pada simulasi tersebut. Dia mengatakan simulasi yang diikuti 4000 orang yang terdiri dari berbagai elemen itu tidak memakai APBA dan APBK Banda Aceh. “Anggaran ini dari DIPA, karena simulasi ini dilakukan di tingkat nasional,” ujar Illiza.

Pernyataan Illiza juga bertolak belakang dengan yang diungkapkan Walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin. Mawardi menyebutkan kegiatan simulasi tersebut tidak menyisakan hutang. Menurutnya, pihak pelaksana menyesuaikan anggaran minim yakni Rp200 juta yang dibantu BRR.

“Uang yang diberikan BRR Rp200 juta sudah kami sesuaikan, meski kecil tapi tidak meninggalkan hutang,” kata Mawardi yang dihubungi Kamis (13/11) malam.

Sementara Ketua Harian Pelaksana ‘Tsunami Drill’, Dandim 0101/Aceh Besar Letkol Inf Fauzi Rusl mengaku sama sekali tidak mengetahui tentang besaran anggaran yang dihabiskan pada pelaksanaan simulasi tersebut. “Yang saya tahu, dana tersebut dari BRR. Mengenai besar anggaran itu urusan ibu Illiza (Wakil Walikota Banda Aceh—red),” katanya.

Sebagai ketua pelaksana harian, kata Dandim, dirinya hanya bertugas menyiapkan personil, baik untuk peserta maupun keamanan.

Ajang Korupsi

Pelaksanaan ‘tsunami drill’ ditengarai hanya sebagai ajang penghamburan uang rakyat yang berpotensi terjadinya korupsi. Karenanya, sumber dana dan penggunaan anggaran yang dipakai Pemerintah Kota Banda Aceh untuk membiayai simulasi tsunami tersebut menjadi tanda tanya sejumlah elemen sipil.

Pengakuan Pemko telah memakai dana BRR Rp200 juta malah mengundang kecurigaan tentang adanya ‘permainan’ di balik proyek tersebut. Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menyebutkan sepengetahuan pihaknya hingga kini belum ada pencairan dana BRR untuk ‘tsunami drill’.

“Berdasarkan data di KPPN yang kami telusuri, belum ada SP2D untuk acara simulasi tersebut,” kata Pjs Koordinator GeRAK, Askhalani, kemarin.

Dia mengatakan biaya yang dipakai oleh Pemko untuk kegiatan ‘tsunami drill’ harus diusut. Bahkan, pernyataan walikota dan wakil walikota yang bertolak belakang dengan pernyataan BRR dan data di KPPN patut dicurigai. “Ini harus diusut, dari mana dana begitu besar diambil pemerintah? Apalagi BRR belum sepeser pun mencairkan dana yang diajukan pemerintah sebesar Rp900 juta,” kata Askhal.

Dikatakannya, jika Pemko mengambil anggaran tersebut dari kas Pemko atau dari APBK untuk menutupi biaya pelaksanaan tersebut, maka secara aturan sudah salah. Karena, ‘tsunami drill’ bukan sebuah bencana, melainkan acara seremoni yang bertujuan menghambur-hamburkan uang rakyat.

“Masyarakat yang diikutkan dalam acara tersebut banyak mengeluh karena belum dibayar honornya oleh pemerintah hingga sekarang,” kata Askhal.

Pertanyakan Honor

Tidak hanya masyarakat yang belum dibayar honor oleh Pemko pada kegiatan ‘tsunami drill’ tersebut, tapi sekitar 387 relawan PMI yang ikut terlibat dalam acara itu juga belum diberikan haknya oleh Pemko.

"Kami hanya menerima biaya makan sebesar Rp15 ribu per orang dan juga biaya perlengkapan lainnya, seperti obat-obatan , perban dan lainnya. Sedangkan honor belum kami terima,” kata Ketua PMI Kota Banda Aceh, Qamaruzzaman Hagni, kemarin.

Qamaruzzaman yang tidak tahu persis jumlah honor yang nantinya diterima, mengaku sudah mengajukan secara tertulis kepada Pemko tentang pengadaan honor tersebut.

Menurut dia, dalam kegiatan tersebut relawan PMI Kota Banda Aceh memang tidak menuntut banyak. “Kami kan relawan apapun yang ditugaskan untuk membantu masyarakat siap mengerjakannya. Tapi honor kami untuk acara semacam ini harus diperjelas,” tuturnya.(adi)

04 November 2008

GeRAK Pinta KPK Ambil Alih Kasus Terminal Mobar

theglobejournal, 3 November 2008

Upaya penyelidikan yang dilakukan pihak Kejaksaan Tinggi Aceh terkait kasus dugaan Mark-Up harga pembebasan tanah pada proyek pembangunan terminal mobil barang di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar. Sampai saat ini belum jelas perkembangannya dan terkesan pihak Kejati Aceh tidak serius menangani kasus tersebut. Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai, kondisi tersebut terindikasi seperti ada unsur “permainan” dalam penanganan kasus tersebut. “GeRAK Aceh beberapa waktu lalu menghadap pihak kejaksaan tinggi untuk dimintai keterangan dalam kasus ini. Namun setelah sekian lama, kami belum mendengar perkembangan kasus yang berarti,” ujar Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani kepada The Globe Journal Senin (3/11).

Menurut Askhalani dalam pernyataan tertulis, GeRAK Aceh sudah melaporkan kasus mark up harga pembebasan tanah terminal mobil barang Kota Banda Aceh kepada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. GeRAK Aceh mencatat, kasus ini dilaporkan secara langsung ke KPK di Jakarta pada 29 Juli 2008 yang diterima langsung oleh penerima laporan pengaduan masyarakat KPK di Jakarta.

Selanjutnya, tambah Askhalami, pada 19 September 2008 pihak Kejaksaan Tinggi Aceh mengirim surat secara resmi kepada GeRAK Aceh. Dalam surat tersebut GeRAK Aceh dimintai keterangan sebagai klarifikasi sehubungan dengan adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan tanah pembangunan terminal mobil barang di desa Santan dan Meunasah Krueng Ingin Jaya. Surat dengan Nomor:R-593/N.1.3/Dek.3/09/2008 dan langsung ditandatangani oleh Asisten Intelijen Kejati Aceh, M.Adam, SH. “GeRAK Aceh memenuhi undangan penegak hukum tersebut dengan harapan kasus tersebut terselesaikan, mewakili GeRAK Aceh Arman Fauzi, Abdullah Abdul Muthaleb dan Hayatuddin menghadap Jaksa Ali Rasab Lubis, SH pada 23 September 2008, dalam pertemuan tersebut pihak Kejaksaan Tinggi langsung meminta keterangan dan kemudian menyusun dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP),” papar Askhalani.

Akan tetapi, sebut Askhalani, hingga hari ini kami belum mendengar perkembangan penyelidikan kasus tersebut, baik melalui media maupun secara langsung. Dengan tidak adanya informasi perkembangan kasus tersebut, masyarakat menjadi bertanya-tanya keseriusan pihak kejaksaan tinggi Aceh mengusut kasus indikasi korupsi yang melibatkan orang-orang “besar”. “GeRAK Aceh mendesak pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil alih penyelidikan kasus yang sedang ditangani oleh Tim Kejaksaan tinggi Aceh. Berdasarkan pantuan yang dilakukan, GeRAK Aceh menilai ada hal-hal yang berpotensi kasus tersebut tidak akan tuntas di laksanakan oleh pihak kejaksaan tinggi karena trend dalam penegakan hukum cukup lemah dan mengecewakan,” sebut Askhalani.

Menurut Askhalani, GeRAK Aceh juga mendesak pihak Kejati Aceh untuk menyampaikan ke publik mengenai perkembangan penanganan kasus tersebut. Publik berhak mengetahui perkembangannya, meskipun bukan pada informasi materilnya, namun minimal masyarakat tahu sejauh mana perkembangannya. Jika ini tidak dilakukan, maka masyarakat dapat menilai komitmen Kejati Aceh dalam menuntaskan kasus korupsi di Aceh. “Kami juga mendesak Kejaksaan Agung untuk menurunkan tim melakukan monitoring terhadap kinerja pihak kejaksaan di daerah dalam mengusut kasus korupsi. hal ini penting dalam memperbaiki dan menyelematkan citra penegak hukum itu di mata masyarakat,” ungkap Askhalani