21 Agustus 2008

Terkait Qanun Wali Nanggroe, Pansus XI akan ke Swedia dan Belanda.

Panitia khusus XI DPR Aceh akan menjadwalkan perjalanan ke Swedia dan Belanda untuk menjaring aspirasi terkait penyempurnaan isi Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe. Untuk melakukan perjalan tersebut, Pemerintah Aceh mengeluarkan “kocek” sebesar Rp 2,3 miliar. Angka yang fantastis harus dibayar mahal rakyat untuk sebuah qanun yang demokratis?

Rancangan Qanun Wali Nanggroe merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Disamping itu, Panitia Legislasi Aceh pun sudah memasukkan Rancangan Qanun tersebut dalam Program Legislasi Aceh (Prolega). Pun demikian, kita memberikan apresiasi kepada “anggota dewan” yang sudah sangat serius membahas rancangan qanun ini. Namun apa hendak dikata, ternyata masyarakat di Aceh (dianggap) belum mampu memaknai eksistensi seorang wali Nanggroe, hingga akhirnya Pansus XI DPRA memutuskan untuk meminta pendapat dari Swedia dan Belanda.

Memang sejarah menyebutkan bahwa keberadaan wali nanggroe tidak dapat dipisahkan dari kehidupan rakyat Aceh tempo dulu. Atas dasar kepentingan itu, maka menurut kami tidak salah bila kita membicarakan soal wali Nanggroe. Akan tetapi Pansus juga perlu ingat, bahwa yang sedang kita rumuskan adalah Qanun Aceh yang akan diimplementasikan dalam kehidupan rakyat Aceh hari ini. Oleh karena itu, menurut kami alangkah lebih lebih bijak sengkiranya anggota dewan lebih fokus pada saran dan pendapat dari ahli hukum, ulama dan tokoh masyarakat di Aceh.

Disamping soal substansi dan urgensi rancangan qanun tersebut, menurut kami penting juga mempertimbangkan efektifitas waktu dan efesiensi anggaran. Pertimbangan ini penting diperhatikan oleh anggota dewan, mengingat anggaran yang digunakan tersebut merupakan uang dari rakyat. Semudah itukah menghabiskan jerih payah rakyat yang dibayarkan ke pemerintah (dalam bentuk pajak dan retribusi)?

Mengingat kondisi tersebut diatas, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. GeRAK Aceh Mendesak pihak Pansus XI DPR Aceh membatalkan niat keluar negeri untuk menyerap aspirasi terkait rancangan Qanun Wali Nanggroe. Akan lebih prioritas DPRA melakukan pengawasan terhadap kinerja SKPA/Dinas dibandingkan dengan melancong ke luar negeri.
  2. Mendesak DPRA untuk memperkuat substansi qanun tersebut melalui diskusi-diskusi dengan ahli/pakar dan melibatkan lebih banyak komponen masyarakat.
  3. Meminta masyarakat sipil, ulama, pakar hukum, dan seluruh masyarakat Aceh untuk bersama-sama merumuskan substansi rancangan qanun sesuai dengan aspirasi masyarakat Aceh.

Demikian pernyataan ini kami sampaikan, mengingat bahwa hal ini merupakan tanggungjawab moral kami dalam mengkiritisi kebijakan pemerintah yang tidak populer. Terima kasih atas perhatian dan kerjasama kita selama ini.

Banda Aceh, 21 Agustus 2008

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh

Badan Pekerja

(Abdullah Abdul Muthaleb)

Manajer program Monitoring Parlemen

Mitra sejati Perempuan Indonesia

(MiSPI) Aceh

(Syarifah Rahmatillah)

Direktur Eksekutif

Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

(Alfian)

Koordinator

12 Agustus 2008

Himbauan Kepada Seluruh Anggota DPRA/DPRK

SEGERA KEMBALIKAN DANA

TUNJANGAN KOMUNIKASI INSENTIF (TKI) DAN DANA OPERASIONAL (DO)

Masih terniang dalam ingatan kita, ketika republik ini dibuat geger dengan PP No.37/2006. Bayangkan, penambahan penghasilan DPRD berupa Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) sebanyak 3 kali uang representasi dan Dana Operasional (DO) 6 kali uang representasi yang berlaku surut sehingga dibayarkan mulai Januari 2006, merupakan peraturan yang menyakitkankan rakyat. Protes keras masyarakat kemudian memaksa Pemerintah yang kemudian membatalkan Pasal 14D dari PP tersebut yang menegaskan “berlaku surut” itu. PP No 37 tahun 2006 ini ditetapkan pada tanggal 14 November 2006 tetapi berlaku sejak 1 Januari 2008.

Berlaku surut inilah yang kemudian anggota DPRA/DPRK di Aceh dan di Indonesia secara keseluruhan, kemudian menjadi masalah. Dana TKI dan DO yang diambil dalam kurun waktu berlaku surut itu diminta oleh Pemerintah untuk dikembalikan ke kas daerah. Akhirnya, PP No.37/2006 direvisi kembali dengan lahirnya PP No. 21 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler Dan Keuangan Pimpinan Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam PP No 21 Tahun 2007 pada pasal 29A ditegaskan bahwa :

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima Tunjangan Komunikasi Intensif dan pimpinan DPRD yang telah menerima Dana Operasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 harus menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti sebagai anggota DPRD periode 2004 sampai dengan tahun 2009.

(2) Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara sekaligus atau mengangsur setiap bulan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Merujuk pada Pasal 29A ayat 3 dari PP No 21 Tahun 2007 ini, kemudian Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah, Penganggaran Dan Pertanggungjawaban Penggunaan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Serta Tata Cara Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif Dan Dana Operasional. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2007 ini, khusus berkaitan dengan Tata Cara Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif Dan Dana Operasional sebagaimana kami kutip dari beberapa bagian di BAB IV, dengan penjelasan detail sebagai berikut:

BAB IV

Tata Cara Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif Bagi Pimpinan Dan Anggota Dprd Dan Dana Operasional Bagi Pimpinan Dprd

Pasal 14

(1) Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima Tunjangan Komunikasi Intensif dan Pimpinan DPRD yang telah menerima Dana Operasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 dan belum mengembalikan seluruhnya, harus menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah melalui Sekretaris DPRD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti sebagai Anggota DPRD periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2009.

(2) Sekretaris DPRD selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menetapkan jumlah pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing Pimpinan dan Anggota DPRD.

(3) Penetapan jumlah pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah disetor ke Kas Negara.

(4) Penganggaran dana pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan pada jenis pendapatan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah, obyek pendapatan dari pengembalian, rincian obyek pendapatan dari pengembalian Pajak Penghasilan Pasal 21.

(5) Sekretaris DPRD selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menerima dan menyetorkan pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke Kas Umum Daerah.

Pasal 15

(1) Dalam hal Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) berhenti antar waktu atau diberhentikan antar waktu sebelum berakhir masa baktinya, wajib mengembalikan seluruh Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional paling lambat 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan dinyatakan berhenti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal Pimpinan dan Anggota DPRD berhenti antar waktu karena meninggal dunia sebelum berakhir masa baktinya, pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional menjadi tanggungjawab ahli warisnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

(1) Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan dengan cara sekaligus/tunai atau diangsur setiap bulan.

(2) Pengembalian dengan cara sekaligus/tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada awal periode pengembalian atau dapat dilakukan pelunasan terhadap sisa angsuran.

(3) Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhitung mulai tanggal 1 April 2007.

(4) Pimpinan dan Anggota DPRD yang mengembalikan Tunjangan Komunikasi intensif dan Dana Operasional secara diangsur dilakukan dengan pemotongan penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD yang bersangkutan oleh Sekertaris DPRD.

(5) Besarnya pemotongan penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setiap bulan sejumlah pengembalian dibagi jumlah bulan hingga 1 (satu) bulan sebelum berakhir masa baktinya.

Sikap

Terkait dengan persoalan di atas, dimana ditengarai masih banyak anggota dewan di Aceh yang belum mengembalikan dana TKI dan DO tersebut, sebagaimana yang terjadi di DPRK Aceh Besar, maka dengan ini Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Masyarakat Transparansi (MaTA) Aceh dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendesak seluruh wakil rakyat di Aceh, baik di DPR Aceh maupun di DPRK kabupaten dan kota di Aceh untuk berjiwa besar guna segera mengembalikan dana Tunjangan Komunikasi Intesif (TKI) dan Dana Operasional (DO) ke kas daerah masing-masing sesuai dengan tata cara yang telah digariskan dalam Permendagri No 21 Tahun 2008.

2. Mendesak adanya transparasi di tubuh parlemen bersama sekretariat-nya dalam mensikapi persoalan pengembalian dana TKI dan DO tersebut. Selama ini nyaris proses pengembalian dua dana itu sangat tertutup kepada publik. Akibatnya, rakyat tidak mengatahui lagi siapa saja yang telah mengembalikan dana tersebut.

3. Bagaimana nasib pengembalian TKI dan DO kepada anggota dewan yang telah direcall atau mengundurkan diri? Oleh karena itu, kami memandang penting peran aktif dan keberanian Pimpinan Dewan termasuk Sekretaris Dewan untuk memainkan perannya sehingga dalam waktu dekat seluruh anggota dewan di Aceh telah mengembalikan dana TKI dan Do tersebut. Transparansi ini untuk menghindari vonis dari masyarakat yang nantinya dapat berdampak buruk bagi para anggota dewan khususnya dan partai politik umunya.

4. Kami menyadari bahwa batas waktu untuk pengembalian belum berakhir karena dalam Permendagri No 21 Tahun 2008 disebutkan batas waktu terakhir pengembalian kedua dana itu adalah satu bulan sebelum berakhir masa bakti anggota dewan Periode 2004-2009. Namun demikian, seiring dengan kesimbukan dan fokus pada Pemilu 2009 mendatang, maka sangat diharapkan kepada anggota dewan yang belum mengembalikan TKI dan DO itu agar dari sekarang semua anggota dewan bersegera untuk mengembalikannya.

5. Kami berharap sikap kesatrian para anggota dewan yang bersegera untuk mengembalikan kedua dana itu adalah upaya membangun kepercayaan rakyat kepada lembaga legislatif dan bukti dari komitmen yang tinggi untuk menghargai setiap rupiah uang rakyat. Semakin cepat dikembalikan maka sebenarnya dana tersebut dapat digunakan dalam program dan kegiatan publik di daerah masing-masing.

6. Tidak kalah penting pula bahwa komitmen untuk segera mengembalikan tersebut sebenarnya menjadi catatan bagi rakyat dalam pesta demokrasi Pemilu 2009 mendatang. Siapa sebenarnya yang layak dipilih dan dijadikan wakil rakyat? Berlarut-larutnya pengembalian dana itu adalah bentuk prilaku politik yang tidak sehat dan menyakiti hati rakyat Aceh.

7. Dan terakhir, himbauan ini pada prinsipnya adalah bagian tanggung jawab moral kami sebagai elemen masyarakat untuk mengingatkan para wakil rakyat di Aceh. Dan GeRAK Aceh bersama MaTA Aceh terus meng-up date perkembangan pengembalian TKI dan DO di Aceh. Namun demikian, kami tetap berharap agar tidak ada satu orang pun anggota dewan di Aceh periode 2004-2009 yang kemudian berurusan dengan aparatur penegak hukum, hanya karena enggan untuk mengembalikan uang rakyat itu.

Banda Aceh, 11 Agustus 2008

Hormat Kami,


Abdullah Abdul Muthaleb
Manager Program monitoring Parlemen GeRAK Aceh

Asra Rizal

Koordinator Bidang Advokasi dan Kampanye
MaTA Aceh


11 Agustus 2008

Anggaran Pendidikan Besar, Siswa Bayar uang Bangku

Serambi Indonesia, 12 Agustus 2008

Koordinator GeRAK Aceh : Itu Korupsi

KUTACANE – Alokasi dana pendidikan dari provinsi untuk Aceh Tenggara, sangat kecil sehingga terjadinya pengutipan di sekolah-sekolah. Hal ini sangat membebankan wali murid tingkat SMP/SMA dan sekolah sederajat lainnya yang harus membayar uang bangku, uang buku, uang baju dan diperkirakan mencapai Rp 1 juta/siswa.

Hal itu terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah provinsi untuk pendidikan di Aceh Tenggara. Padahal, dana pendidikan Aceh Rp 2 Triliun untuk tahun 2008 yang bersumber dari APBA dan belum lagi dana BOS yang alokasinya dari dana APBN.

Demikikan Dikatakan Sekretaris Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertingal Aceh (KP2DTA), Nasrulzaman ST Mkes, Senin (11/8) dalam kunjungan lapangan di Aceh Tenggara. Alasan pihak sekolah yang menyatakan bahwa pengutipan biaya-biaya tersebut di atas sudah menjadi kesepakatan komite sekolah.

Beberapa wali murid yang mengadu ke pihaknya merasa keberatan dengan beban pendidikan saat ini yang mengharuskan membayar uang bangku, beli baju dan uang buku. Hal ini sangat memalukan, lebih lagi dana pendidikan yang besar di Aceh. Terkait hal ini, diminta gubernur Aceh mengevaluasi kinerja pihak dinas pendidikan. Apabila hal ini masih terjadi dikhawatirkan angka penganguran di Agara meningkat karena tak mampu untuk melanjutkan pendidikan karena biaya pendidikan mahal.(as)

04 Agustus 2008

Kawinkan Anak, Bupati Nagan Kerahkan Seluruh Pejabat, termasuk Membebani Anggaran Terkait

Serambi Indonesia, 5 Agustus 2005

BANDA ACEH - Bupati Nagan Raya, Drs T Zulkarnaini, yang akan menyelanggarakan pesta perkawinan putrinya, Cut Keumala Cahaya, selama dua hari, Jumat-Sabtu (8-9/8) di Jeuram, mengerahkan seluruh pejabat dan sebagian pegawai pemkab setempat.

Tak cuma itu, di dalam Surat Keputusan Bupati Nagan Raya Nomor: 474.2/130/SK/2008 tanggal 17 Juli 2008 tentang panitia pelaksana peresmian perkawinan Cut Keumala juga disebutkan bahwa segala biaya yang timbul akibat dikeluarkannya surat keputusan yang ditandatangani Wakil Bupati Nagan Raya, M Kasem Ibrahim BSc, itu dibebankan pada anggaran terkait. Juga dibebankan pada sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Uniknya lagi, surat keputusan itu dibuat di atas kop surat Bupati Nagan Raya berlambang burung Garuda. Surat itu turut dibubuhi paraf oleh Sekda Nagan Raya, Drs H Djasmi Has MM.
Wakil Bupati Nagan Raya, M Kasem Ibrahim, yang dikonfirmasi Serambi, Senin (4/8) via telepon selularnya mengakui ada menandatangani SK panitia pelasakanaan perkawinan Cut Keumala Cahaya binti Teuku Zulkarnaini itu. “Ya, saya ada menandatangani SK tersebut,” katanya.
Namun, sebelum pihakya menandatangani SK tersebut, ia lebih dulu bertanya kepada Sekda, Djasmi Has. “Sekda mengatakan tidak masalah, karena SK tersebut hanya formalitas saja, maka saya tandatangani. Soalnya yang buat pesta adalah Pak Bupati, maka saya kira perlu dihargai. Kalau pesta itu tidak sukses kan daerah juga yang malu,” katanya berargumen.
Wakil bupati juga ditanyai Serambi tentang poin empat SK tersebut yang menyatakan segala biaya yang timbul akibat dikeluarkan keputusan ini dibebankan pada anggaran terkait dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. “Itu juga hanya formalitas. Kegiatan ini tidak kita gunakan anggaran daerah,” tukasnya.

Tidak lazim
Sementara itu, Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Akhiruddin Mahjuddin yang menghubungi Serambi kemarin, mengatakan pihaknya juga sudah memiliki SK tentang kepanitiaan perkawinan putri Bupati Nagan Raya itu.
Ia menilai bahwa SK bupati tersebut menunjukkan ketidaklaziman dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, selain menunjukkan praktik penyalahgunaan kewenangan secara nyata yang dilakukan oleh Bupati dan Wakil Bupati Nagan Raya. “Ini juga menunjukkan pelaksanaan pemerintahan yang menyimpang dari etika birokrasi, etika politik, kepatutan, serta norma hukum,” kecamnya.
Menurut Akhiruddin, SK tersebut merupakan penyimpangan dalam pengelolaan pemerintahan

daerah, karena pimpinan daerah telah mencampuradukkan antara kepentingan publik dengan kepentingan pribadi, dalam hal ini urusan peresmian perkawinan anaknya sendiri. “Tindakan ini juga menunjukkan pengelolahan Kabupaten Nagan Raya bagai pemerintahan yang menganut sistem kerajaan atau monarki,” ujarnya.
Di dalam SK bupati tersebut, juga disebutkan bahwa bagi pegawai negeri sipil yang namanya tidak tercantum dalam keputusan itu tetap berperan sebagai panitia, sejauh yang bersangkutan berperan aktif dan membantu dalam pelaksanaan prosesi peresmian perkawinan dimaksud.
Secara norma hukum, ulas Akhiruddin, SK Bupati Nagan Raya yang ditandatangani Wakil Bupati tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan bebas dari KKN. Karena, dalam Pasal 1 ayat (5) UU tersebut dinyatakan, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kemudian, dalam Pasal 5 ayat (4) juga dinyatakan: setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, ungkap Akhiruddin, tindakan Bupati dan Wagub Nagan Raya itu juga merupakan tindakan korupsi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Alasan yang diungkapkan di atas, kata Akhiruddin, terkait dengan poin keempat SK Bupati Nagan Raya. Selain itu tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai gratifikasi jika dana yang dimaksud bersumber dari pegawai negeri sipil, kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Kabupaten Nagan Raya, atau dari pengusaha/kontraktor, sesuai Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,” ungkap Akhiruddin sambil mengutip bunyi pasal tersebut.
Berdasarkan fakta tersebut, GeRAK Aceh mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memeriksa Bupati dan Wakil Bupati Nagan Raya terkait indikasi korupsi sebagaimana diatur pada Pasal 3 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Gratifikasi sesuai Pasal 12B UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. (sup
)

03 Agustus 2008

Jelang Akhir Jabatan, Anggota DPR Aceh Pelesiran Berjamaah Ke Bali

Harian Aceh, 3 Agustus 2008

Banda Aceh - Menjelang akhir jabatan, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) masih sempat berpelesiran dengan uang rakyat ke Bali dan Gorontalo. Pelesiran yang ‘dibungkus’ studi banding itu dilakukan Panitia Legislasi (Panleg) DPRA dengan alasan untuk memperkaya materi Qanun Perlindungan Perempuan dan Anak serta Qanun Pelayanan Publik yang sedang mereka godok.

“Ini hanya akal-akalan anggota dewan yang terhormat saja untuk bertamasya dengan uang rakyat di akhir masa jabatannya,” ujar Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Akhiruddin Mahjuddin, kepada Harian Aceh, kemarin.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Alfian, yang dimintai pendapatnya secara terpisah.

Sebelumnya, anggota Panleg DPRA, Rusli Abdussamad dan Hj. Zainab AR, kepada Harian Aceh, Kamis, (31/7), mengatakan studi banding ke Gorontalo dan Bali itu dilakukan selama lima hari, 31 Juli hingga 4 Agustus 2008.

Keberangkatan Panleg DPRA tersebut terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok Gorontalo dipimpin oleh Amir Helmi (Fraksi Demokrat) dengan anggota Mohariadi dan Khairul Amal (PKS), Rusli Abdussamad (PBB), Abdurrahman Ahmad (PBR), dr. Hanafiah (Golkar), Al Manar (PAN), dan Basrun Yusuf (PPP) yang menyusul ke Gorontalo pada Jumat (1/8).

“Kelompok Gorontalo akan mengadopsi dan mencari perbandingan model pelayanan publik yang diterapkan oleh pemerintah di sana serta penyajian komperatif terhadap materi peraturan daerah (Perda) atau Qanun Perlindungan Perempuan dan Anak di provinsi yang dipimpin Gubernur Fadel Muhammad itu,” terang Rusli

Sedangkan kelompok Bali dipimpin Wakil Ketua Panleg, Adriman Kimat, serta sekretaris Panleg, Samsul Bahri (PBR). Anggotanya, yakni Jauharuddin Harmay (Golkar), Jamal Yunus (PBB), Ismaniar (PAN), Burhanuddin (PPP).

Menurut Zainab, kelompok Bali juga didampingi oleh staf ahli Panleg DPRA, serta beberapa staf sekretariat dewan. “Anggota dewan dari kelompok Bali juga ada yang menyusul pada Jumat, seperti Adriman Kimat (Golkar) dan Nasrul Musadir Alsa (Perjuangan Umat/PKB),” kata Zainab.

Sementara Koordinator GeRAK Aceh, Akhiruddin mengatakan kalau memang untuk keperluan Qanun Perlindungan Perempuan dan Anak, seharusnya studi banding tersebut dilakukan ke Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan, juga ke rumah tahanan khusus anak dan perempuan.

“Jadi, ini hanya akal-akalan dari Panleg, berpelesir degan bungkus studi banding. Ini sudah keterlaluan, tindakan menghambur-hamburkan dana rakyat, dengan dalih mencari masukan,” cerca Udin.

Menurutnya, mereka hanya ingin memanfaatkan kesempatan untuk pelesiran menjelang akhir masa tugas di DPRA. “Kalau dilihat substansinya studi banding tentang perlindungan anak dan perempuan, tidak bisa jadi rujukan di kedua propinsi tersebut,” sebutnya.

Udin menuturkan, studi banding ke Bali, dimungkinkan untuk mencari masukan terhadap Qanun Transparansi Anggaran, yaitu ke Kabupaten Jembrana. Sedangkan ke Gorontalo cocoknya mencari masukan tentang qanun menanam jagung yang baik agar rakyat yang telah memilih mereka sejahtera. “Tapi kalau untuk memperkaya materi Qanun Perlindungan Perempuan dan Anak serta Qanun Pelayanan Publik, ya jauh panggang dari api,” lanjutnya, bertamsil.

Pendapat senada juga disampaikan Koordinator MaTA, Alfian. Menurut dia, studi banding tersebut alasan klasik yang digunakan oleh anggota dewan untuk jalan-jalan sambil cuci mata. “Kalau kita melihat ke belakang, sudah sangat banyak studi banding yang dilakukan dewan terhormat keluar daerah, tapi tidak ada hasil yang dibawa pulang untuk diimplementasikan ke daerahnya,” ungkapnya.

Menurut dia, alangkah baiknya anggota dewan terhormat tersebut mencari masukan langsung dari masyarakat daerah pemilihan mereka. Justru di sana akan didapatkan masukan sebagaimana yang dibutuhkan rakyat yang telah mempercayai mereka sebagai wakilnya di lembaga dewan.

Apapun ceritanya, kata Alfian, mencari masukan materi Qanun Perlindungan Perempuan dan Anak serta Qanun Pelayanan Publik, tidak cocok ke dua propinsi tersebut. Karena, secara psikologi persolan yang dihadapi perempuan dan anak di Bali atau Gorontalo sangat berbeda dengan yang di Aceh.

Menurut dia, biarpun studi banding tersebut dibenarkan, tapi itu bagian dari pemborosan anggaran. Sejatinya wakil rakyat harus peka oleh hal-hal seperti itu. “Alangkah baiknya anggaran yang digunakan tersebut dibagikan untuk fakir miskin di wilayah pemilihan mereka, justru itu akan menguntungkan jika berniat mencalonkan diri lagi jadi orang terhormat,” demikian Alfian.