25 Desember 2008

GeRAK : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Gagal

Theglobejournal.com, 26 Desember 2008

Banda Aceh – Meskipun tsunami di Aceh sudah memasuki usia empat tahun, namun proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh hingga saat ini masih banyak yang belum mampu dipenuhi oleh BRR Aceh-Nias yang bertugas membangun kembali Aceh, ditambah tingginya angka temuan kasus yang berpotensi korupsi dilembaga terseburmebuktikan kegagalan yang terstruktur dilakukan oleh pejabat di BRR Aceh-Nias. “Hasil monitoring yang dilakukan GeRAK Aceh tercatat di wilayah pantai Barat selatan Aceh, masih cukup banyak perumahan untuk korban tsunami yang belum selesai dibangun oleh BRR Aceh-Nias bahkan ratusan korban tsunami juga belum mendapatkan rumah mestipun verifikasi sudah dilakukan,” ujar Pjs, Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (25/12).

Menurut Askhalani, pembentukan BRR Aceh-Nias untuk memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh yaitu bantuan perumahan dan pemberdayaan ekonomi khusus wilayah bencana. “Daerah yang masih banyak rumah yang belum selesai dibangun adalah Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas 1.000 unit di masing-masing kabupaten,,” ujarnya.

Askhalani mengungkapkan, kegagalan pemenuhan hak-hak dasar korban tsunami yang belum terpenuhi tetap harus menjadi tanggung jawab BRR dan tidak serta merta melepas tangan begitu saja, ”Sebelum transfer kewenangan dilakukan ke pihak lain BRR harus membersihkan dulu semua barang yang kotor yang ditingalkan oleh mereka, ini cukup penting jangan sampai piring kotor ini menghambat kinerja yang akan dibangun setelah mereka meninggalkan Aceh,” sebut Askhalani.

Askhalani juga menyebutkan, dengan tidak bisa dipenuhi hak-hak dasar masyarakat seperti pembangunan rumah dan fasilitas umum lainnya ditambah lagi BRR tidak perrnah bisa memberikan data akurat terhadap proyek yang mereka laksanakan telah cukup bukti kalau lembaga tersebut telah gagal melakukan tugasnya di Aceh.[003]

Proses Rehab-Rekon belum Selesai

Serambi Indonesia, 26 Desember 2008

BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.

Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009.
Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi.
“Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID. Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya.
Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal. Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)

Penyerahan Aset BRR Tidak Transparan

theglobejournal.com, 25 Desember

Hingga kini, penyerahan aset dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias kepada pemerintah daerah tidak transparan. Akibatnya, banyak proyek yang belum selesai juga diserahkan kepada pemerintah. “Berdasarkan data monitoring kami lakukan, tercatat bahwa format pemberian aset yang diserahkan kepada beberapa kepala pemerintah kabupaten atau kota tidak dipublikasikan secara transparan ke publik,” ujar Pjs. Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Rabu (24/12).

Menurut Askhalani, pada dasarnya hal tersebut sebenarnya sama dengan melakukan upaya pembohongan atas kondisi, objek dan juga kualitas dari aset yang diserahkan oleh BRR Aceh-Nias, sementara implimentasi dilapangan yang dilakukan BRR hanya mencantumkan jumlah angka dan ini tidak bisa dilakukan karena pihak penerima tidak akan bisa mencata nilai aset yang diterima. Merujuk Peraturan Menteri Keuangan dengan Nomor 62/PMK.06/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Negara Pada Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara, dijelaskan dalam pasal 6 cara mengajukan penetapan status penggunaan dilakukan.

Askhalani juga menyebutkan, kehati-hatian dari para pengambil kebijakan yang akan menerima aset dari BRR baik Pemerintah Aceh dan Bupati/walikota merupakan hal yang mutlak harus dilakukan sebab jangan sampai mereka seperti “Membeli kucing dalam karung atau menerima baju kotor yang belum dibersihkan. “Jika ini tidak dilakukan ke depan akan banyak sumber dana dari APBA dan APBK kab/kota yang habis terkuras setiap tahun untuk memperbaiki aset yang telah diberikan oleh BRR dikerenakan kualitas yang kurang baik,” sebut Askhalani.[003]

GeRAK : Tepat Bupati Aceh Barat Tolak Aset BRR

theglobejournal.com, 25 Desember

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai, tindakan Bupati Aceh Barat Ramli MS menolak tegas menerima aset dari BRR NAD-Nias adalah sebuah langkah yang sangat tepat dan seharusnya pemerintah daerah lain juga harus melakukan hal yang sama. “Apa yang dilakukan oleh Bupati Aceh Barat merupakan langkah yang patut diberikan apresisasi dan ancungan jempol, ini adalah sebuah reaksi yang cukup tepat ditengah belum jelasnya persoalan tentang sistem mekanisme aset yang akan diserahkan kepada seluruh rakyat Aceh atas dana-dana yang sudah digunakan kurun waktu empat tahun berjalan,” ujar Pjs. Koordinator GeRAK Aceh Askhalani kepada The Globe Journal, Rabu (24/12).

Menurut Askhalani, dari semua daerah tingkat dua di Aceh, hanya bupati Aceh Barat yang melakukan hal itu. ,Padahal banyak proyek BRR di daerah yang mereka pimpin juga belum selesai, namun mereka takut menolak. “Padahal jika dipikirkan lebih jauh, jika bupati dan walikota menerima aset yang kondisinya tidak jelas, maka ini menjadi ancaman bagi mereka sendiri karena harus merehab dan memperbaiki aset tersebut,” sebut Askhalani.

Askalani menambahkan, hal ini sebenarnya sudah terlambat karena sebagian besar kepala pemerintah tingkat dua di Aceh telah menandatangani serah terima asset tersebut, “Kita lihat saja nanti bagaimana mereka akan kewalahan menangani asset yang telah mereka terima,” tambahnya.

Askhalani menyebutkan, agar hal ini tidak lagi terulang, GeRAK Aceh mendesak Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota mengikuti langkah seperti yang dilakukan oleh Bupati Aceh Barat, jika aset yang diserahkan oleh BRR NAD-Nias tidak dilakukan verifikasi serta keakuratan atas data aset tidak disampaikan secara transparan maka aset yang diserahkan harus berani untuk ditolak dan tidak langsung diterima, “Karena ini akan cukup berbahaya terutama kedepan akan menjadi beban yang cukup tinggi terutama atas biaya merawat dan perbaikan atas aset dan dengan sendirinya mengerogoti uang publik di Aceh,” ujarnya.

Dia menjelaskan, Pemerintah Aceh sebagai pihak yang mempunyai kewenangan luas tidak boleh bersikap pasif ketika dihadapkan pada persoalan aset. Pemerintah Aceh punya hak dan harus berani untuk meminta pembuktian atas realisasi anggaran terhadap seluruh aset yang akan diserahkan oleh BRR NAD-Nias.
“Keberanian ini membuktikan realisasi anggaran sesuai dengan bukti faktual atas aset. Jika hal itu tidak dilakukan maka kecenderungan pemutarbalikan fakta atas semua nilai dan jenis aset berpotensi besar terjadi. Bukankan ini sebuah kondisi yang sangat riskan terutama atas semua nilai aset yang akan diserahkan? maka bersiap-siaplah Pemerintah Aceh bakal kena getahnya,” terangnya.[003]

23 Desember 2008

Unsyiah Diminta Lakukan Transparansi Anggaran

Harian Aceh, 22 Desember 2008

Sebelum menuju Badan Hukum Pendidikan (BHP) maka kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) harus melakukan transparansi ke Publik, khususnya mahasiswa dan dosen. Banyaknya anggaran yang beredar di Unsyiah bukan hanya milik Rektorat, melainkan milik rakyat yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Hal tersebut dikatakan Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhlani, SHI dalam diskusi publik yang di gelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik (BEM FT) Unsyiah dan Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK) di kantin fakultas itu, Sabtu (20/12).

Menurut Askhlani, jika mahasiswa tidak bisa mengakses danan yang beredar saat ini di Unsyiah, maka menimbulkan pertayaan publik, terhadap transparansi kampus tersebut.

“Jika Unsyiah yang menjadi tempatnya para ilmuwan menetap dan mencarai ilmu belum transparansi, maka bagaimana mahasiswa bisa mengharapkan transparansi anggaran di Pemerintah Aceh.” Kata Askhalani.

Dia menambahkan, saat ini mahasiwa dan dosen pun tidak bisa mengakses dana yang beredar di Unsyiah. Seharusnya Rektorat membuka akses itu agar tidak ada kecurigaan antara sesamanya.

Aktivis anti korupsi ini menyarankan agar FT duluan melakukan transparansi anggaran. Maka hal ini akan menjadi pukulan telak bagi rektor. “Jika rektor tidak mau melakukan trasparansi anggaran, maka mahasiswa gelar aksi massa aja.” Ujarnya yang mengaku tidak melakukan aksi provokasi.

Aktivis Aceh Society Taks Force (ACSTF) Aryos Nivada menambahakan, perubahan status kampus dari Perguruan Tinggi (PT) menuju BHP adalah bukti pemerintah tidak sanggup menanggung hak dasar rakyat, seperti kesehatan dan pendidikan. “Belum ada jaminan pendidikan akan lebih baik, ketika pemerintah meningkatkan harga pendidikan. malah yang terjadi hanya mengusir orang miskin dna menjadikan kampus hanya untuk orang kaya,” ujarnya

Aktivis peduli HAM itu juga mengatakan, ketika seorang dosen mengajar hanya untuk uang, maka transfer knowledge itu tidak efektif. Perubahan Diknas No. 2 tahun 1989 menjadi PP No. 61 tahun 1999 adalah bentuk cuci tangan pemerintah terhadap dunia pendidikan.

Sementara sosiolog Unsyiah, Dr. Shaleh Safei mendukung proses perubahan kampus dari PT menuju BHP, “ini kan proses disentralisasi atau otonomi kampus untuk menyelenggarakan pendidikan daerah. Sebenarnya Unsyiah sudah melakukan industrialisasi pendidikan. Buktinya dengan adanya kelas non reguler di Unsyiah, BHP hanya melakukan formalisasi hukum agar semua kampus di Indonesia bisa mandiri,” ujarnya. Menurut dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu, BHP juga untuk menyadarkan masyarakat yang kaya dan yang miskin. Jika mereka miskin maka silahkan mengikuti pendidikan sampai sembilan tahun yang diberikan gratis oleh pemerintah. Jika meraka mau anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka silakan berinvestasi.

“Mahasiswa jangan hanya mengkritik tanpa ada solusi. Kalau katanya belum siap menerima BHP, lantas kapan Unsyiah siap menerima BHP?” Ujarnya dengan tanda tanya. Ketua Jurusan Teknik Kimia, Dr. Ir. Muhammad Zaki, M. Sc menambahakan, jika Unsyiah sudah BHP maka semua kan mudah diakses, termasuk anggaran dan aset kampus. “Pertanyaannya mahasiswa pilih pendidikan bermutu atau pendidikan murah? Pilih Ijazah atau Ilmu yang di dapat?” ujarnya.

Menurutnya, yang penting saat ini semua elemen civitas akademika memperjuangkan akreditas kampus, agar kampus lebih baik.czf

Unsyiah Berpotensi Dapat Anggaran Ganda

Harian Aceh, 23 Desember 2008

Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dinilai sangat berpotensi mendapatkan anggaran ganda terhadap pelaksanaan program di kampus itu. Pasalnya, pada usulan anggaran ke DPRA tidak disertai dengan perencanaan program secara menyeluruh. “ Sebagai universitas Negeri yang dibiayai APBN, Unsyiah Seharusnya Transparan Mengenai Sumber-Sumber pendanaan yang mereka miliki, “ kata aktivis Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Arman Fauzi, Senin (22/12)

Menurutnya, banyak usulan program Unsyiah yang tidak mempunyai relevansi dan keterkaitan antara kegiatan yang dilakukan dengan hasil yang hendak dicapai pada program tersebut.

“ Anggaran kegiatan Ilmiah yang diusulkan tidak masuk akal, diantaranya item biaya publikasi hasil jurnal peneletian Internasional sebesar Rp. 10 juta perjudul”, ungkapnya. Unsyiah seharusnya, lanjut dia, ketika meminta usulan tambahan anggaran kepada DPRA juga menyertakan program perencanaan dan keseluruhan program Unsyiah dapat diketahui sumber pembiayaan, sehingga DPRA tinggal menyetujui yang belum ada sumber biaya. “ Jika ini tidak dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi double anggaran, semisal, pada anggaran yang sudah disediakanAPBN akan disediakan lagi oleh APBA ketika Unsyiah mengusulkan, “ jelasnya.

Anggaran bantuan untuk Unsyiah awalnya dalam RAPBA 2009 berjumlah Rp 31 Milyar, kemudian dalam pembahasan Pokja DPRA mereka kembali mengusulkan tambahan angaran sebesar Rp 79,6 Milyar. “ Unsyiah harus terbuka kepada Publik , berapa dana dana yang mereka terima setiasp tahun dan dari mana saja sumbernya, apakah APBN, APBA dan sumber-sumberlain”, katanya.

Sementara itu pengelola Jurnal Ilmiah Ekonomi Unsyiah, Muhammad Nasir, Ph.D, mengatakan banyak usulan program Unsyiah dalam rencana kegiatan anggaran (RKA) tidak mempunyai keterkaitan dengan hasil pencapaian . “ Ada kegiatan pembangunan gedung kedokteran Gigi, tapi hasil yang hendak dicapai malah meningkatkan IPK mahasiswa, ini kan aneh”, katanya.

RKA sendiri merupakan dokument yang memuat nama kegiatan, pencapaian program, dan hasil yang hendak dicapai (out put) . Usulan tambahan dari Unsyiah sebesar Rp 79,6 Milyar diperuntukan bagi pembangunan gedung fakultas kedokteran gigi.

Dia meragukan dengan besaran anggaran yang diminta untuk biaya publikasi jurnal Ilmiah, karena anggran kegiatan ilmiah yang diusulkan itu dianggap tidak masuk akal. “ saya pengelola jurnal Ilmiah Unsyiah tidak pernah meminta biaya pemuatan karya Ilmiah. Apalagi jurnal Internasional yang kredibilitasnya sangat tinggi” kata lulusan Bonn, Jerman itu.

Kejari Sigli Diminta Serius Tangani Kasus Korupsi APBK Pidie

Banda Aceh, 23 Des 2008

Kejaksaan Tinggi (Kejari) Pidie diminta serius menangani kasus korupsi APBK Pidie tahun anggaran 2002 senilai Rp. 878 juta. Pasalnya, tim Penyidik Satuan III Tipikor Polda Aceh sudah menuntaskan pengusutan dugaan penyalahgunaan anggaran publik pada pos Belanja Tak Tersangka itu dan seluruh berkas sudah dilimpahkan ke Kejari Sigli.

“Kejari Sigli harus serius melakukan penuentutuan sesuai dengan fakta hukum yang sesungguhnya. Momentum penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan pejabat tingggi Pidie itu harus dijadikan pembuktian bila Kejari Sigli mempunyai kinerja baik dan profesional, karena selama ini Kejari Sigli dinilai bermasalah di mata publik,” kata Ketua Mangar Program Monitoring Parlemen Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Abdullah Abdul Muthaleb, kemarin, di Banda Aceh.

Menurutnya Polda Aceh sudah menetapkan tersangka dalam kasus itu pada 10 April 2008 lalu dan sudah mengumumkan tersangka yang merupakan pejabat teras Pidie saat itu. “Ketiga tersangka itu yakni mantan Bupati Pidie Ir. Abdullah Yahya, mantan Wakil Bupati Pidie Drs. Djalaluddin Harun, dan mantan Sekda Pidie Drs. Imran Usman,” jelasnya.

Dikatakannya, Direktur Reskrim Polda Aceh, KBP Drs. HS Maltah, SH, Msi, pernah menyebukan bahwa setelah melalui proses penyidikan panjang, tim penyidik berhasil menuntaskan kasus tersebut. “Menurutnya, sesuai ketentuan bahwa anggaran tersebut harus digunakan untuk menangani bencana alam atau bencana sosial yang sifatnya mendesak. Tatapi dalam praktiknya, ketiga tersangka secara bersama-sama menggunakan dana itu untuk kepantingan pribadi dengan alasan biaya operasional Pemda termasuk untuk bantuan hari raya, serta bantuan kepada anggota DPRK setempat,” jelasnya.

GeRAK Aceh berharap pemberantasan korupsi tetap maksimal guna menghindari terbang pilih, termasuk kasus Pidie. Karena pada prinsipnya, kata dia, kasus yang sama dalam indikasi korupsi belanja tak tersangka Pidie, bukan hanya terjadi pada tahun anggaran 2002 tetapi juga terjadi pada 2004.

“Bahkan indikasi korupsi 2004 jauh lebih besar dibandingkan 2002. karenanya, diyakini pula akan banyak aktor lain yang di duga kuat terlibat dalam kasus ini,” ungkapnya.GeRAK Aceh juga menghargai kebijakan tim penyidik Polda Acehyang pada saat penyelidikan awal kasus itu, kemudian mengembangkan pada kasus sama, tetapi tahun anggaran beda.

“Anggaran Belanja Tak Tersangka 2004 menurut kami belum dipertanggungjawabkan secara terbuka dan transparan oleh pihak eksekutif pada saat perhitungan APBD Pidie 2004,” jelasnya.

Dari hasil audit BPK RI, paparnya, ditemukan dari total anggaran Rp. 18.498.364.000 itu, sebesar Rp 7.067.775.360 dinyatakan tidak sesuai peruntukannya dan kejanggalan pengelolaan uang rakyat itu semakin kuat dengan lahirnya keputusan DPRD Pidie pada 30 November 2006.

DPRD Pidie mengeluarkan keputusan nomor 30/2006 tentang hasil pembahasan laporan keterangan pertanggungjawaban bupati akhir masa jabatan dan penghapusan barang milik daerah. Pada pasal 1, disebutkan bahwa hasil pembahasan terhadap laporan keterangan pertanggungjawaban bupati akhir masa jabatan dengan catatan bahwa penggunaaan dana tak tesangka yang tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlakusupaya dikembalikan ke kas daerah.

Untuk itu, pihaknya mengharapkan, komitmen Kejari Sigli untuk segera melimpahkan kasus itu ke pengadilan sesuai dengan komitmennya pada saat penerimaan berkas hasil penyidikan dari tim penyidik Polda Aceh. Karena, masyarakat Pidie sudah lama menantikan agar kasus itusegera dituntaskan secara hukum di pengadilan.

“Kami bersama elemen masyarakat sipil lainnya di Pidie, akan tetap memantau proses penegakan hukum di tangan Kejari Pidie hingga ke Pengadilan,” katanya.

Untuk mengefektifkan pemantauan itu, pihaknya kan membentuk Tim Monitoring Korupsi Pidie, dengan melibatkan jaringan Aceh Damai Tanpa Korupsi (ADTK) di Pidie, dalam memantau penutasan kasus mulai proses lanjutan di Kejari Pidie hingga proses persidangan. ril

Temuan Sementara GeRAK Aceh 30 Persen Dana P2KP BKM Bungong Seulanga Terindikasi Korupsi

Harian Aceh, 23 Desember 2008-12-24

Sekitar 30 Persen dari Rp 91.014.000 dana sosial Program penanggulangan Kemiskinan Perotaan (P2KP) yang dikeloloa bandan Kemakmran Mesjid (BKM) Bungong Seulanga, elurahan Sukaramai, Banda Aceh, diduga kuat penyaluran bersifat fiktif.

“Itu baru temuan awal” ungkap Yulindawati, Staf Monitoring Rehabilitasi dan Rekonstruksi GeRAk Aceh, Senin (22/12). Menurutnya pengelolaan dana sosial atas lima program sosial untuk masyarakat Sukaramai tersebut, tidak tepat sasaran. Bahkan, peserta kegiatan tersebut didominasi oleh anggota BKM itu sendiri. Hal itu dibenarkan oleh Ilyas Hanafiah, Kepala Lingkungan Keumala, Sukaramai. Selama ini, program BKM untuk anggaran tahun 2007 tersebut tidak diketahui sama sekali. “ contohnya untuk bantuan orang jompo, ada nama yang sudah meniggal tujuh tahun, tapi masih menerima bantuan” kata Ilyas. Dari anggaran 2007 yang dikelola BKM Bungong seulanga, ada lima program yang sementara diduga terindikasi mark –up dan fiktif. Lima program tersebut, bantuan untuk orang Jompo dengan anggaran Rp. 29. 800.000, santunan anak yatim (Rp. 30 Juta), bantuan untuk orang cacat (Rp. 10.800.000), pelatihan kue tradisional (Rp.8.500.000) dan pelatihan menjahit (Rp.12.414.000). Khusus untuk bantuan Jompo, Kata llyas, ada empat item barang yang disalurkan yaitu susu anline (120 Kg), roti kaleng (120 sak), gula (5 Kg) dan beras satu sak untuk ukuran 15 Kg. “tapi yang disalurkan hanya beras satu sak dan uang yang bervariasi antara Rp 90 ribu-Rp135 ribu”, jelasnya. Bahkan program bantuan orang jompo yang ditargetkan untuk 121 orang tersebut, hanya 116 orang yang menerima bantua “ itupun kalau dikaji dari LPJ nya, yang tertera hanya 120 orang”, tambahnya

Menurut temuan GeRAK, kata Linda, khusus untuk program orangjompo ini, ada nomor urut penerima bantuan yang dihilangkan, yaitu nomor urut 46, 94, 96, 109 dan nomor 112. Sementara untuk bantuan anak yatim, diduga penyaluran barang barang dari P2KP tidak pernah ada. Menurutnya, selama ini, dari pengakuan beberapa anak yatimdi sukaramai, mereka menerima bantuan hanya dari OKI. Bukan P2KP. Untuk banuan cacat. Dtemukan kejangalan penyaluran yakni pada salah satu warga yang sama sekali tidak cacat fisiknya. Ilyas menyebutkan penerima bantuan korban cacat tersebut, diterima oleh Totok.. “ Kesehariannya ia mengajar les karate, kok dibilang cacat. Ujarnya.

Katanya, dari sekian banyak bantuan, korban cacat hanya menerima satu sak beras lima belas kilo. Sementara anggaran yang dibuat program, diplokan sebesar Rp 10.400.000. “ Diduga pihak BKM meraup keuntungan dari beras tersebut berkisar enam jutaan rupiah”, katanya. Linda juga menmbahkan, dalam laporan pertanngung jawaban BKM tersebut, terdapat banyak sekali faktur-faktur yang bermasalah. Selain itu, ada beberapa peserta program pelatihan yang dilaksanakan oleh BKM, didominasi oleh anggota BKM it sendiri. “ Sayangnya fihak Faskel P2KP, Korkot dan PJOK Baiturrahman, tidak teliti dalam pemeriksaan LPJ tersebut”’ ungkap Linda.

Seharusnya lanjut Linda, pihak tersebut tidak langsung menandatangani Laporan Pertanggung Jawaban Kerja (LPJK) BKM bungong Seulanga, kalauada hal-hal seprti ini. “ Belum lagi, ada daftar bantusn penerima bantuan yang ganda. Tapi, ianya tidak mendapatkan bantuan. Lalu kemana bantuan itu disalurkan”, Sambung Ilyas. Pihak warga meminta agar Word Bank Selaku donatur P2KP dan jajaran untuk memblokir angaran bantuan 209. “ ditunda bantuan dulu bantuan itu, kalau kasus penggelapan dana ini belum jelashasilnya. Kalaupun disalurkan, kami minta pengurus BKM diganti, Pinta Ilyas. cbn

17 Desember 2008

Kasus Lahan Blang Panyang, Tim Kejati aka turun ke Lokasi

Harian Aceh, 17 Desember 2008

Kejaksaan Tinggi Aceh akan turun ke Lhokseumawe untuk mempelajari kasus dugaan korupsi dalam pembebasan lahan Blang Panyang sumber dana APBK Lhokseumawe tahun 2007. Sementara terkait kasus dugaan korupsi dana operasional North Aceh Air (NAA) sumber dana APBK Aceh Utara tahun 2008, Kejati tengah menunggu hasil audit BPKP.

Hal tersebut dikatakan Wakajati Aceh Muhammad Yusni, SH,MH, menjawab pertanyaan Asra Rizal, Koordinator Bidang Monitoring dan Advokasi MaTA Aceh dalam sesi dialog pada acara ‘Mendorong Partisipasi Publik untuk Terwujudnya Peradilan yang Bersih dan Transparan di Aceh’. Acara yang digelar GeRAK Aceh bekerja sama dengan Kemitraan berlangsung di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Senin (15/12), Wakajati Muhammad Yusni menjadi salah satu pemateri.

Di kesempatan itu, Wakajati Aceh menyatakan pihaknya terlebih dahulu akan meminta Kejari Lhokseumawe untuk memproses kembali kasus Blang Panyang, sehingga proses hukum tidak berhenti di tengah jalan.

“Saya menanyakan kepada Wakajati Muhammad Yusni sejauh mana sudah pengusutan kasus dugaan korupsi dana operasional NAA Rp6 miliar bersumber dari APBK Aceh Utara 2008. Ia mengatakan pihaknya tengah menunggu hasil audit dari BPKP. Saya juga menanyakan tentang kasus lahan Blang Panyang. Wakajati mengaku pihaknya akan turun langsung ke lokasi. Tapi, ia tidak menjelaskan lebih lanjut terkait hal itu,” kata Asra Rizal, saat dihubungi, kemarin.

Sebagaimana diketahui, kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Blang Panyang awalnya ditangani pihak Kejari Lhokseumawe. Namun, belakangan Kajari Lhokseumawe Tomo, SH, menyatakan hasil penyelidikan pihaknya belum ditemukan adanya indikasi korupsi dalam kasus tersebut. Mengetahui hal itu membuat sejumlah NGO antikorupsi—yang mengadvokasi kasus tersebut, gerah. Mereka menilai Kajari Tomo tidak serius dalam pemberantasan kasus korupsi di Lhokseumawe.

Sementara Kajari Lhokseumawe Tomo, saat dihubungi ke telepon genggamnya, kemarin, mengatakan pihaknya tidak melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus Blang Panyang karena belum ditemukan indikasi korupsi. “Sudah saya katakan kemarin (bulan lalu—red), kan persoalannya di surat kuasa. Kalau memang pemilik lahan merasa tidak memberikan surat kuasa, silakan diadukan pembuat surat kuasa tersebut dulu. Karena bukti yang kita dapat, ada surat kuasa,” katanya.

Lahan milik warga di Desa Blang Panyang seluas 20 ha dibebaskan oleh Pemko Lhokseumawe dengan dana APBK tahun 2007. Menurut pemilik lahan, Pemko Lhokseumawe hanya membayar Rp10 ribu per meter tanah, sementara yang dipertanggungjawabkan ke kas daerah Rp20 ribu per meter sehingga Pemko diduga telah menggelembungkan harga pembebasan lahan tersebut mencapai Rp2 miliar.(irs)

01 Desember 2008

GeRAK: Kejati - BPKP Bekerja Sama Tutupi Kasus

Harian Aceh, 1 Desember 2008

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh bersama tim audit Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh ditengarai salingkerja sama dalam menutupi sebuah kasus.

“Kedua lembaga itu pura-pura saling tuding untuk menutupi diri, padahal sama-sama berusaha membenamkan kasus,” ujar koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani di Banda Aceh kemarin.

Menurut dia, kerja sama tersebut dapat dilihat lewat pola kerja yang diperankan oleh kedua lembaga itu dalam mengusut sebuah kasus korupsi. Mereka sering saling menyalahkan sebagaimana pada kasus Tarbiyah dan kasus-kasus BRR.

“Seharusnya mereka (Kejati dan BPKP) harus bekerja dengan fungsinya masing-masing. Pengauditan yang dilakukan BPKP itu kan berdasarkan permintaan yang dibarengi surar pernyataan dari Kajati. Nah, disini fungsinya menghitung kerugian yang ada, naumun yang terjadi selama ini BPKP terkesan memperlambat perhitungan kasus-kasus yang dilimpahkan ke lembaga itu,” kata Askhalani.

Selama ini masyarakat menilai kinerja Kejati sangat lemah. Bagi publik, Kejati merupakan lembaga penyidik yang dibentuk pemerintah menuntaskan sebuah kasus hingga ke pengadilan, sementara BPKP itu kinerjanya tidak pernah disalahkan karena badan itu bekerja sesuai permintaan dari tim penyidik.

“Atas dasar ini kita dapat melihat fungsi Kejati itu apa dan BPKP itu apa. Di antara keduanya sebenarnya saling kait-mengait yang tidak boleh dipisahkan. Keterlambatan BPKP merupakan keterlambatan bagi Kejati, jadi jika kedua lembag a ini selalu saling menyalahkan berarti hanya kedok utnuk menutupi kelemahan diri,” paparnya.

Dijelaskannya, bila merujuk dari perundang-undangan yang berlaku, BPKP Aceh tidak punya alasan memperlambat perhitungan sebuah kasus hingga berbulan-bulan apabila pihak Kejati-Aceh meminta badan itu untuk segera menyelesaikannya. “Secara akal sehat, apabila adanya kedisiplinan atau desakan yang dilakukan Kejati kepada BPKP, tim pengaudit itu tidak mungkin akan melanggarnya, sehingga alasan yang selama ini diperankan oleh BPKP, seperti kekurangan anggata atau akan dilimpahkan atau sedang diproses pada sebuah kasus yang sudah berbulan-bulan tidak terjadi,” lanjutnya.

Pihaknya berharap, tim penyidik dapat memberikan tekanan disiplin kepada tim pengauditnya. “BPKP juga bekerjalah sesuai undang-undang, sehingga kasus-kasus yang ada di Aceh baik yang masih ditangani Kejati maupun di tangan BPKP segera terungkap,” harapnya.