02 Juni 2009

www.gerakaceh.org

Silahkan anda Kunjungi Website kami di ;

www.gerakaceh.org

02 Mei 2009

GeRAK Integrasikan Program RIA dalam Penyusunan Qanun

Serambin Indonesia, 2 Mei 2009

JANTHO - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK), bersama Pemkab Aceh Besar saat ini sedang menyusun nota kesepahaman untuk mengintegrasikan program Regulatory Impact Asessment (RIA) dalam penyusunan sejumlah peraturan daerah (qanun) yang akan dibahas pada tahun ini. Penerapan metode RIA ini diharapkan mendukung lahirnya qanun-qanun yang berkualitas dan sesuai kebutuhan masyarakat. Sebelumnya, GeRAK telah mensosialisasikan metode tersebut kepada pejabat Pemkab Aceh Besar, pada Senin (27/4) lalu. Sosialisasi itu dipresentasikan oleh Program Manager The Asian Fondation, Oka Nasokah yang dihadiri Asisten III Setdakab Aceh Besar, kepala inspektorat, kabag hukum, dan sejumlah kepala SKPD.

“Sosialisasi ini bertujuan mengajarkan metode atau kerangka berfikir dalam merumuskan regulasi dengan logika yang sistematis. Disamping untuk menjamin transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Serta memperhitungkan dampak dari sebuah regulasi yang berkaitan dengan dunia usaha untuk peningkatan ekonomi lokal dan sektor-sektor lainnya,” kata Nasruddin MD, Koordinator GeRAK Aceh Besar, kemarin.

Nasruddin menilai, Pemkab Aceh Besar memiliki keinginan yang kuat untuk memperbaiki pelayanan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang dimotori kelompok UMKM. Serta menciptakan iklim ekonomi lokal sebagai daya tarik investasi. Namun untuk mewujudkan itu semua, perlu adanya penilaian dan introspeksi kebijakan pemerintah. Salah satu metode yang sedang dikembangkan yaitu metode Regulatory Impact Assesment (penilaian terhadap dampak atas sebuah kebijakan). Metode ini merupakan alat untuk menilai kebijakan yang akan dibuat, yang sedang berlaku, maupun untuk merevisi kebijakan-kebijakan yang tidak relevan lagi diterapkan.

“Saat ini kami sedang menyusun MoU dengan Pemkab Aceh Besar. Untuk tahap awal, kami akan mengintegrasikan metode RIA ini dalam dua qanun yang akan dibahas. Ke depan, metode ini juga diharapkan dapat diadopsi dalam membuat atau merevisi qanun-qanun lainnya,” ungkapnya. Kepala Bagian Hukum Setdakab Aceh Besar, Yusran Saby mengatakan, tahun ini Pemkab Aceh Besar akan membahas 27 qanun. “Metode yang sedang dipelajari ini mudah-mudahan bisa diadopsi dalam menerapkan regulasi yang baik, dan untuk merevisi qanun-qanun yang sudah tidak relevan,” kata Yusran.(th)

WORKSHOP KPK, Tiga Kasus Dihentikan Jaksa Terungkap

Harian Aceh Kamis, 30 April 2009

Tiga kasus dugaan korupsi yang dihentikan penyelidikan oleh Kejati Aceh, terungkap dalam workshop sehari yang digerlar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh, Rabu (29/4).

Terkuaknya tiga kasus tersebut pada workshop bertema “Peran serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi” ketika peserta workshop dari sejumlah aktivis LSM anti korupsi di Aceh, seperti aktivis GeRAK, MaTA, serta LSM lainnya menanyakan kepada Wakil KPK Moch Jasin, tentang sejauh mana wewenang KPK mengambil alih kasus korupsi yang ditangani jaksa.’

Tiga kasus dicontohkan aktivis saat menanyakan kepada Moch Jasin, yakni Laporan GeRAK terhadap indikasi korupsi pembebasan lahan pembangunan terminal mobil barang (Mobar) di Gampong Santan, Kabupaten Aceh Besar.Kemudian pembebasan lahan Blang Panyang di Lhokseumawe yang dilaporkan MaTA dan dugaan korupsi pembangunan rumah korban konflik di Bener Meriah yang dilaporkan AJMI Aceh.

Ketika kasus tersebut di duga sudah dihentikan penyidikan oleh Kejati Aceh. Mengapa pihak KPK tidak mengambil alih beberapa kasus di Aceh, seperti Mobar, Blang Panyang dan Rumah Korban Konflik Bener Meriah yang penyelidikan sudah diberhentikan Kejati Aceh. “Dalam UU Tipikor di KPK dibenarkan untuk mengambil alih sebuah kasus yang ditangani jaksa dan polisi, namun KPK tidak mengambil alih kasus yang sudah dihentikan oleh Kejati Aceh,” Tanya seorang peserta kepada Moch. Jasin, dalam acara tersebut. Moch. Jasin menjawab, pihaknya dapat mengambil alih sebuahksusu yang merugikan Negara Rp. 1 miliar, jika sebuah kasus terlibat pejabat Negara seperti bupati, gubernur atau minimal eselon-eselonnya dan DPR. “Apabila melibatkan pejabat Negara, kami bisa mengambil alih sebuah kasus dari jaksa atau polisi dengan berkoordinasi. Karenanya, pelapor harus memberikan bukti-bukti awal,” jawab Jasin*min.

18 April 2009

KPK Tahan Armen Desky, Dijebloskan ke LP Cipinang

Serambi Indonesia 18 April 2009

JAKARTA - Drs Armen Desky yang pernah menjabat Bupati Aceh Tenggara (Agara) dua periode, Kamis (17/4) tadi malam resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Orang kuat” Agara itu langsung dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, tempat Gubernur Abdullah Puteh dulunya juga ditahan KPK, atas dugaan terlibat korupsi. “Setelah proses penyidikan hari ini penyidik KPK langsung menahan Armen Desky, mantan bupati Aceh Tenggara,” ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, menjawab Serambi, Jumat (17/4).

Armen diduga terlibat kasus korupsi APBD Aceh Tenggara tahun 2005-2006 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 23,5 miliar. Ia dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Modus operandi yang digunakan Armen dalam mengorup uang negara adalah dengan cara menyumbangkan uang untuk yayasan. Namun ternyata dalam praktiknya digunakan untuk kepentingan pribadi. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 23,5 miliar. “Dia ditahan untuk sementara selama 20 hari,” kata Johan Budi SP.

Menubruk kaca
Berdasarkan amatan Serambi, Armen diperiksa penyidik KPK sejak pukul 10.00 kemarin dan baru berakhir pada pukul 21.42 WIB tadi malam. Setelah itu ia dikeluarkan dari Gedung KPK dan dibawa naik mobil tahanan KPK warna hitam B 8638 WU menuju LP Cipinang. Saat ke luar dari ruang pemeriksaan menuju mobil yang hendak membawanya, Armen sempat menubruk kaca pintu otomatis Gedung KPK. Kemungkinan dia shock atau memang matanya tak jeli melihat kaca gedung tersebut setelah diperiksa maraton selama sebelas jam lebih.

Begitupun, saat menyadari tubuhnya telah membentur dinding, Armen cepat-cepat mundur satu dua langkah, lalu menggeser arah dan melangkah cepat menuju mobil yang hendak membawanya. Begitupun, ia tetap menyunggingkan senyuman ke arah para wartawan dan fotografer, namun tidak menjawab sepotong pun pertanyaan yang diajukan insan pers. Selama diperiksa sampai masuk mobil, Armen yang mengenakan baju kotak-kotak lengan pendek, selalu didampingi pengacaranya, Kaharuddin SH.

Juru Bicara KPK, Johan Budi SP yang dikonfirmasi Serambi tadi malam membenarkan bahwa Armen Desky sudah ditahan KPK dan ditempatkan di LP Cipinang. Di tempat itu pula Gubernur Abdullah Puteh ditahan KPK pada 7 Desember 2004, karena kasus korupsi pembelian helikopter Pemda Aceh, bikinan Rostov, Rusia. Berdasarkan penjelasan singkat Johan Budi SP, Armen Desky ditahan karena diduga terlibat dalam praktik korupsi dana APBD 2005-2006 saat memimpin Aceh Tenggara.

Dilapor gubernur
Sebagaimana diketahui, pengusutan kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan bupati Aceh Tenggara itu berawal dari laporan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, kepada KPK pada 18 Maret 2008. Pada saat itu, Irwandi tidak saja melaporkan kasus dugaan korupsi di Agara, tetapi juga di enam kabupaten lainnya. Meliputi Aceh Barat, Aceh Barat Daya (Abdya), Nagan Raya, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Saat itu, Gubernur Irwandi menyatakan berdasarkan data yang terkumpul, jumlah penyalahgunaan anggaran yang terbesar di antara tujuh kabupaten itu justru berada di Kabupaten Aceh Tenggara. “Saya minta temuan ini segera dikelarkan oleh KPK dan kalau patut diteruskan, ya diteruskan,” ujar Irwandi.

Dugaan korupsi senilai Rp 202 miliar di tujuh kabupaten dalam Provinsi Aceh itu justru terjadi pada kurun 2005-2006, sebelum Irwandi memimpin Aceh. Irwandi mengatakan, korupsi itu diduga dilakukan para petinggi di daerah tersebut dengan modus penyalahgunaan anggaran daerah. (fik/sup/dik/dtc)

Buku Korupsi di Negeri Syariat Dibedah

Serambi Indonesia, 18 April 2009

BANDA ACEH - Catatan kasus korupsi hasil investigasi Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh beserta jaringannya yang telah dibukukan yang diberi judul ‘Korupsi di Negeri Syariat ‘ Kamis (16/4), dibedah di Hermes Palace. Dalam acara kemarin, Saifuddin Bantasyam, dosen Fakultas Hukum sebagai pembedah menyatakan buku tersebut cukup informatif bagi khalayak umum untuk mengetahui seperti apa korupsi. Ditampilkan secara kronologis, isi buku cukup sistematis.

“Membantu sekali kita memahami kasus-kasus yang dipaparkan. Melalui buku ini kita menjadi tahu tentang ABC dan Z nya organisasi ini, mekanisme dan output dari pekerjaan mereka dan buku ini sangat informatif,” paparnya terhadap buku yang ditulis oleh Askhalani cs itu. Hanya saja, katanya, ia tidak melihat benang merah antara kata ‘korupsi’ dan ‘syariat’ secara kronologis yang dijelaskan dalam pengantarnya buku yang dieditori Murizal Hamzah itu. Semestinya, harus dipaparkan bahwa di Aceh ada dua sistem hukum. Korupsi sendiri belum dimasukkan dalam qanun jinayah.

“Jangan nanti pembaca di luar Aceh melihat anti korupsi di Aceh telah diatur dalam produk hukum tertentu dalam hukum syariat dan ini perlu dipertangungjawabkan,” katanya. Sementara pembedah lain, Ahmad Humam Hamid, Sosiolog Aceh menyatakan pemilihan judul lebih karena menjual dari segi marketing pasalnya korupsi juga terjadi di seluruh Indonesia. Karenanya ia meminta Aceh ke depan mulai mengerakkan golden triangle, yaitu kekuatan masyarakat sipil komunitas anti korupsi, aparat hukum, dan pers untuk solid melawan korupsi. Komentator lain, Indra Nasution dari Kejaksaan Tinggi NAD berharap buku dimaksud berguna bagi aparat penegak hukum dan masyarakat umum.(dwi)

13 April 2009

GeRAK Aceh Luncurkan ‘ Korupsi di Negeri Syariat’

Harian Aceh, 14 April 2009

Lembaga Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh bekerjasama dengan Kemitraan Bagi Pembaharuan Pemerintah (Partnership), akan meluncurkan buku “ Korupsi di Negeri Syariat” pada Kamis (16 April). Buku tersebut merupakan “ Rekam Jejak” beberapa kasus yang terindikasi tindak pidana Korupsi temuan LSM tersebut.

Menurut Kordinator GeRAK Aceh , Askhalani buku yang mereka luncurkan ini menginformasikan bahwa ada begitu banyak penyalahgunaan dalam pengelolaan keuangan Negara dalam Proses pembangunan Aceh saat ini.

Katanya , Informasi yang disampaikan dalam buku ini tidak hanya menceritakan kronologi sebuah kasus korupsi, juga dilengkapi dengan bukti-bukti autentik yang sangat memiriskan hati pembaca. Apalagi mengingat Aceh sebagai Provinsi pengusung Syariat Islam. “Dengan buku ini diharapkan ada masukan khusus dari penegak hukum dan pengadilan mengenai peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi di Aceh, “ papar dia. Lanjut dia lagi, pemberantasan dan penanganan kasus yang terindikasi tindak pidana korupsi di Aceh masih dihadapkan pada penegakan hukum yang belum maksimal. Ada banyak kasus yang muncul dan tenggelam kembali, tanpa adanya ketetapan hukum yang jelas.

“ Harus diakui banyak faktor membuat kasus korupsi tidak mudah sampai pada sebuah putusan pengadilan. Mulai dari penyelidikan, bukti-bukti, saksi, perhitungan indikasi kerugian Negara, proses BAP, dan proses pengadilan, yang kesemuanya membutuhkan waktu, biaya, keahlian serta integritas yang tinggi. Disinilah peran Lembaga Pengadilan sebagai institusi kunci bagi pencari keadilan menjadi penting. Permasalah ini semua kita ungkapkan didalam buku ini,” tuturnya. Tambah dia, Peluncuran buku ‘ Korupsi di Negeri Syariat’ akan dilakukan di Hermes Palace Hotel, Kamis, 16 April 2009 nanti. Hadir sebagai pembahas nantinya adalah Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, Kepala Pengadilan Tingi (PT) Aceh, DR. Ahmad Humam Hamid serta Saifuddin Bantasyam . mrd

21 Maret 2009

Pemda Aceh Tengah Lapor LSM Anti Korupsi ke Polisi

Theglobejournal.com, 20 Maret 2009

Banda Aceh – Kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Aceh dinilai sangat bertentangan dengan semangat dan upaya reformasi hakim yang profesional dalam pemberantasan korupsi, pasalnya Hakim di Pengadilan Tinggi Aceh telah membebaskan tersangka kasus korupsi khususnya yang terjadi di BRR Aceh-Nias.

Menurut hasil monitoring GeRAK Aceh diperiode tahun 2008-2009 tercatat ada tiga kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan semangat UU No 20 tahun 2001 Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan putusan bebas. “Adapun tiga kasus korupsi yang dibebaskan diantaranya, kasus indikasi korupsi mark up buku BRR NAD-Nias yang melibatkan staf BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi pembebasan lahan di Simeulue yang hanya divonis percobaan dan yang terakhir adalah Indikasi korupsi proyek pembangunan rumah tsunami di Desa Rima Keuneureum, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar tahun 2005 dengan tersangka mantan anggota DPRK Banda Aceh Saiful Hayat yang juga kontraktor,” ungkap Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (19/3).

Menurut Askhalani, ketiga kasus tersebut menurut hasil telaah atas putusan awal dari pengadilan negeri dalam amar putusan yang dikeluarkan cukup kontroversi dengan apa yang dihasilkan oleh pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Aceh cendrung tidak mempertimbangkan atas usaha jaksa dan hakim di Pengadilan Negeri dalam memutuskan vonis akhir terhadap perkara tindak pidana korupsi. “Rentetan panjang terkait bebasnya terdakwa kasus korupsi akan berimbas kepada upaya dan langkah masyarakat dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi, putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Aceh atas kasus bebasnya tersangka korupsi pada proyek pembangunan 30 unit rumah bantuan BRR, makin menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap proses peradilan. Dengan mudahnya para tersangka koruptor bebas, meskipun fakta hukum yang muncul pada saat di PN belum sepenuhnya menjadi pertimbangan majelis Hakim Tinggi,” sebut Alumni Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry tersebut.

Askhalani menyebutkan, seharusnya dalam kasus tindak pidana korupsi atas dana bencana seperti Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. “Dalam penjelasan UU di atas, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.[003]

GeRAK Aceh : Hakim Bebaskan Korupsi di Aceh

Theglobejournal.com, 20 Maret 2009

Banda Aceh – Kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Aceh dinilai sangat bertentangan dengan semangat dan upaya reformasi hakim yang profesional dalam pemberantasan korupsi, pasalnya Hakim di Pengadilan Tinggi Aceh telah membebaskan tersangka kasus korupsi khususnya yang terjadi di BRR Aceh-Nias.

Menurut hasil monitoring GeRAK Aceh diperiode tahun 2008-2009 tercatat ada tiga kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan semangat UU No 20 tahun 2001 Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan putusan bebas. “Adapun tiga kasus korupsi yang dibebaskan diantaranya, kasus indikasi korupsi mark up buku BRR NAD-Nias yang melibatkan staf BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi pembebasan lahan di Simeulue yang hanya divonis percobaan dan yang terakhir adalah Indikasi korupsi proyek pembangunan rumah tsunami di Desa Rima Keuneureum, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar tahun 2005 dengan tersangka mantan anggota DPRK Banda Aceh Saiful Hayat yang juga kontraktor,” ungkap Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (19/3).

Menurut Askhalani, ketiga kasus tersebut menurut hasil telaah atas putusan awal dari pengadilan negeri dalam amar putusan yang dikeluarkan cukup kontroversi dengan apa yang dihasilkan oleh pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Aceh cendrung tidak mempertimbangkan atas usaha jaksa dan hakim di Pengadilan Negeri dalam memutuskan vonis akhir terhadap perkara tindak pidana korupsi. “Rentetan panjang terkait bebasnya terdakwa kasus korupsi akan berimbas kepada upaya dan langkah masyarakat dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi, putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Aceh atas kasus bebasnya tersangka korupsi pada proyek pembangunan 30 unit rumah bantuan BRR, makin menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap proses peradilan. Dengan mudahnya para tersangka koruptor bebas, meskipun fakta hukum yang muncul pada saat di PN belum sepenuhnya menjadi pertimbangan majelis Hakim Tinggi,” sebut Alumni Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry tersebut.

Askhalani menyebutkan, seharusnya dalam kasus tindak pidana korupsi atas dana bencana seperti Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. “Dalam penjelasan UU di atas, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.[003]

05 Maret 2009

Tim Jamwas Kejakgung Masih Inspeksi Kejati

Serambi Indonesia, 6 Maret 2009

BANDA ACEH - Tim Inspeksi Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) Kejaksaan Agung RI hingga Kamis (5/3) kemarin masih melanjutkan inspeksi ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Masih dalam agenda yang sama, tim yang dipimpin Iskamto SH bersama tiga anggotanya itu masih memeriksa sejumlah pejabat di lingkungan internal Kejati. Termasuk Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Yafizham SH, para asisten, kepala seksi, dan para jaksa. Pemeriksaan masih dipusatkan di lantai II gedung Kejati Aceh secara maraton.

Wartawan yang sejak pagi menunggu di kantor tersebut hingga pukul 16.30 WIB tidak berhasil menemui Tim Jamwas Kejagung. Anggota tim yang memeriksa juga tidak kelihatan, karena berada di lantai dua. Sebuah sumber yang dikonfirmasi wartawan menyebutkan, pemeriksaan pada Rabu kemarin berlangsung hingga malam hari. Khusus pada Kamis kemarin pemeriksaan terhadap para pejabat Kejati diperkirakan juga sampai malam hari. Sejumlah informasi beredar bahwa inspeksi Tim Jamwas Kejagung di sebut-sebut ada kaitannya dengan isu jual beli kasus (suap) di Kejati Aceh, dalam kasus pengadaan lahan terminal mobil barang (mobar) di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Hingga kini kasus itu sudah dihentikan Kejati, karena dinilai tidak ada indikasi korupsi. Selain itu, inspeksi itu juga dikaitkan dengan penanganan kasus pembebasan lahan Blang Panyang, Kota Lhokseumawe, yang juga telah diberhentikan pengusutannya oleh kejari setempat. Karena itu, dalam inspeksi tersebut tim Jamwas juga memeriksa Kajari Lhokseumawe, Tomo SH.

Tim Jamwas juga memanggil dua saksi untuk dimintai keterangan terkait kedua kasus tersebut. Masing-masing Askalani (Pj Koordinator Gerakan Antikorupsi/GeRAK Aceh) untuk kasus mobar dan Alfian (Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh/MaTA) sebagai saksi untuk kasus pembebasan lahan Blang Panyang. Kajati Aceh Yafizham yang dikonfirmasi wartawan mengatakan, kedatangan Tim Jamwas Kejagung ke Kejati Aceh merupakan agenda rutin setiap tahun. Namun, tidak tertutup kemungkinan tim itu juga menanyakan berbagai perkembangan kasus yang selama ini ditangani Kejati Aceh.

Yafizham mengakui, kasus mobar dan pembebasan lahan Blang Panyang menjadi fokus pemeriksaan tim Jamwas. Meski demikian, tidak hanya dua kasus tersebut yang diperiksa, melainkan ada banyak kasus yang juga menjadi perhatian tim. Ia menilai, kasus mobar dan Blang Panyang sudah telanjur diekspose luas oleh media massa, sehingga tim Kejagung berupaya mencari tahu duduk kasus tersebut kepada Kejati Aceh. “Saya kan sudah bilang, perkara itu malah sudah kita bikin laporan kepada KPK dan Kejagung. Karena isunya ramai (diberitakan media), lalu diambil keterangan itu (oleh tim Jamwas),” katanya. Yafizham mengakui, dirinya juga sempat diperiksa tim Jamwas. Namun, ia menolak disebutkan bahwa ada pemeriksaan terhadap dirinya. “Bukan diperiksa, tapi dimintai klarifikasi,” ujarnya. Dia sebutkan, pihaknya tidak begitu menanggapi terkait adanya isu jual beli kasus di lingkungan Kejati yang sempat santer beredar di kalangan wartawan.

“Namanya saja isu, saya mau bilang apa. Isu kan dari orang. Bisa-bisa saja. Anda pun bisa bilang. Tapi harus ada pembuktian, kalau tidak ada pembuktian apa yang mau dibilang. Saya tidak bilang benar atau tidak, tapi buktinya ada tidak,” sergahnya.

Terkait pengusutan dua kasus, baik pengadaan lahan terminal mobar mapun pembebasan lahan Blang Panyang, kata Kajati, pihak Kejati bisa saja menindaklanjuti asal ada bukti-bukti baru. “Kalau perkara itu tidak memenuhi alat bukti kita tidak akan lanjutkan. Kalau ada unsur kerugian negara, itu baru bisa kita naikkan,” kata dia.

No comment
Sementara itu, Asintel Kejati M Adam SH yang dikonfirmasi wartawan terkait isu suap yang menimpa dirinya, menolak berkomentar. “Saya dituding macam-macam, itu hak mereka. Tidak bisa saya klarifikasi. Saat ini saya no comment,” katanya sambil berlalu naik lantai dua Kantor Kejati Aceh.

Harus diusut
Anggota Komisi III DPR RI Bidang Hukum dan HAM, M Nasir Djamil, Sag meminta Kejati Aceh agar responsif terhadap laporan masyarakat terkait berbagai kasus dugaan korupsi di Aceh. Ini penting agar lembaga penegak hukum itu mendapat kepercayaan dari dari publik.

“Kejaksaan tidak harus berdiam diri. Sebagai lembaga penegak hukum, mereka juga berusaha menerapkan akuntabilitas internal di lingkup kejaksaan. Ketika ada laporan sampai ke kejaksaan, maka harus direspons secara cepat, sehingga tidak jadi fitnah,” katanya. Hal itu disampaikan Nasir usai bertemu dengan Kajati Aceh Yafizham dalam rangka fungsi pengawasan DPR RI atas kinerja Kejati di daerah.

Dia sebutkan, terkait kasus mobar dan Blang Panyang, pihaknya memberi waktu kepada Kejati Aceh untuk mendalami kembali agar duduk persoalannya menjadi jelas, sehingga masyarakat tahu. “Kalau ada bukti baru tidak boleh ditutupi. Jadi, publik tidak bisa dibiarkan ’menggantung‘ begitu. Ekspektasi masyarakat itu sangat besar kepada Kejati,” ujarnya. Nasir juga menegaskan, terkait adanya isu jual beli perkara di Kejati, hal itu harus direspons dengan pembuktian, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Dia menilai, kehadiran tim Jamwas ke Kejati juga dalam rangka untuk meluruskan permasalahan tersebut. “Kalau memang ditemukan ada hal-hal baru bahwa isu itu benar, maka harus diproses secara hukum. Apalagi yang melakukannya itu aparat penegak hukum,” ujar politisi PKS ini. (sar)

Kajati akui di Periksa Kejakgung

Harian Aceh, 6 Maret 2009

Tim Pengawas (Jamwas) Kejaksaan Agung (Kejakgung) RI, Kamis (5/3), melanjutkan pemeriksaan terhadap pejabat Kejati Aceh. Ditengarai, pemeriksaan itu terkait penghentian sejumlah kasus korupsi yang ditangani lembaga penyidik tersebut.
Kajati Aceh Yafitzham mengakui dirinya ikut diperiksa oleh Jamwas Kejagung, namun pemeriksaan itu sebatas dimintai keterangan terkait sejumlah kasus yang ditangani pihaknya, baik yang sudah di tahap tuntutan, penyidikan, maupun yang masih di tingkat penyelidikan. ”Saya benar ada diperiksa. Pemeriksaan ini rutin dilakukan setiap tahunnya oleh jajaran kejaksaan,” kata dia, tanpa menyebut waktu pemeriksaannya.
Sementara pemanggilan terhadap pekerja GeRAK dan MaTA, kata Kajati, keduanya tidak lebih sebagai saksi atas laporannya, yakni untuk kasus pembebasan lahan Terminal Mobil Barang dan pembebasan lahan Blang Panyang.
Hal itu, kata dia, memang sering dilakukan Jamwas Kejagung dalam setiap inspeksinya. ”Jadi tidak benar kalau pemanggilan mereka karena kasus itu sudah kami hentikan pemeriksaan akibat suap. Yang dimintai kepada GeRAK dan MaTA hanya jika ada bukti baru yang ditemukan mohon disampaikan untuk dilakukan penyelidikan kembali,” ungkapnya menyikapi pernyataan kedua LSM tersebut.
M Adam, Asintel Kejati Aceh yang juga disebut-sebut orang yang rawan menerima suap di lembaga penyidik itu, menolak memberikan keterangannya. ”Pokoknya, saya tidak ada komentar. Yang membesarkan informasi itu hanya media. Padahal, demi Allah saya tidak terlibat suap-menyuap,” sebut M Adam.
Isu suap yang rawan terjadi di lembaga penyidik Aceh itu juga ditanggapi serius Komisi III DPR-RI. Pada lanjutan pemeriksaan pejabat Kejati Aceh, kemarin, anggota Komisi III DPR M Nasir Djamil mendatangi kantor Kejati Aceh.
Anggota DPR asal Aceh itu, sekira pukul 12.00 WIB turun dari lantai dua kantor Kejati Aceh, didampingi Kajati Yafitzham dan Asintel M Adam. Menurut Nasir, kedatangannya itu merupakan kunjungan perorangan untuk melihat kinerja Kejati Aceh, sesuai fungsi komisi yang diembannya yaitu bidang pengawasan.
Sebuah isu yang berkembang, kata dia, harus ditindaklanjuti dengan jelas, sehingga tidak terjadi salah tafsir. Jika isu yang berkembang itu benar, maka harus diproses sesuai prosedur hukum. ”Tapi laporan itu harus dibuktikan, jangan hanya main tebak tanpa bukti. Kalau informasi yang berkembang itu benar, Kejakgung tidak bisa berdiam diri,” sebut Nasir. Meskipun inspeksi yang dilakukan Jamwas Kejakgung itu merupakan tugas rutin setiap tahunnya, lanjut dia, namun jika menemukan laporan adanya suap dan menutupi kasus, itu harus diproses.(min)

04 Maret 2009

Kejati Aceh Diduga Jual Beli Kasus, Diinspeksi oleh Tim Jamwas, GeRAK dan MaTA Ikut Dimintai Keterangan, Hari Ini Giliran Kajati dan Asintel

Serambi Indonesia, 5 Maret 2009
Tim Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) melakukan pemeriksaan dengan seksama (inspeksi) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh terkait laporan adanya jual beli kasus di lembaga penegakan hukum tersebut.
Proses pemeriksaan kemarin, Rabu (4/3) berlangsung dari pagi hingga menjelang magrib. Tim dari Kejaksaan Agung dipimpin Iskamto SH (Inspektur Pidsus/Datun pada Jamwas) beranggotakan M Abduh Amasta SH, Rahmat Trioyono SH, dan Fazar SH. Tim ini tidak saja memeriksa sejumlah pejabat di Kejati, termasuk Kajari Lhokseumawe, Tomo SH tetapi juga memintai keterangan dari tiga petinggi LSM antikorupsi di Aceh, yaitu Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, Sekretaris Eksekutif GeRAK Aceh, Arman Fauzi, dan Koordinator MaTA Lhokseumawe, Alfian. Ketiga mereka diperiksa dalam status sebagai saksi.

Ketiga pegiat LSM antikorupsi tersebut tiba di Kantor Kejati Aceh sekitar pukul 09.30 WIB. Mereka langsung diarahkan ke lantai II, tempat berlangsungnya pemeriksaan. Sebuah sumber menyebutkan, pemeriksaan ketiga aktifis LSM ini berlangsung secara tertutup di ruang Asisten Pengawasan (Aswas).

Ketika pemeriksaan ketiga saksi dan Kajari Lhokseumame, suasana di ruang kantor Kejati Aceh tampak tegang. Biasanya banyak pegawai terlihat lebih santai di ruangan, namun kesan itu tidak terlihat Rabu kemarin. Bahkan suasana lebih tegang terasa di ruang lantai II, tempat pemeriksaan berlangsung.

Beberapa staf mengaku tidak bisa sembarang naik ke lantai II. Sesekali para pejabat Kejati, termasuk Kasi Penkum, Ali Rasab Lubis SH terlihat turun ke lantai I, namun hanya untuk ke kamar kecil, setelah itu kembali ke lantai II.

Wartawan yang mendapat informasi adanya pemeriksaan oleh Tim Jaksa Agung, sejak pagi sudah berkumpul di kantor Kejati Aceh. Namun tidak ada satu pun pihak yang bisa dimintai konfirmasi. Saat ditanya wartawan, semuanya tutup mulut.

Sekitar pukul 13.04 WIB, ketiga saksi turun dari lantai II melalui tangga tengah. “Ya, kami bertiga tadi dimintai keterangan oleh tim dari Jamwas terkait adanya laporan yang diterima Jaksa Agung bahwa di Kejati Aceh selama ini ada dugaan jual beli perkara. Kami dalam hal ini sebagai saksi,” ujar Askhalani yang dicegat wartawan usai memberi keterangan.

Menurut Askhalani, dalam pemeriksaan itu, ia bersama Arman Fauzi diajukan 13 pertanyaan. Dari belasan pertanyaan tersebut, tim lebih mengarah menanyakan soal kasus dugaan mark-up pembebasan tanah Teminal Mobil Barang (Mobar) di Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar
“Kasus terminal mobar ini kan sempat dilakukan penyelidikan, tetapi tiba-tiba dihentikan pengusutannya karena dinilai tidak memiliki bukti,” katanya.

Padahal, kata Askhalani, berdasarkan hasil investigasi dan bukti-bukti yang diperoleh pihaknya, kasus Mobar ini memiliki indikasi kuat telah terjadi penyimpangan dalam pembebasan tanah seluas 4 hektare. Sebab berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga tanah di lokasi tersebut hanya berkisar Rp 128.000/meter. Sementara dalam proses pembebasan tanah harganya mencapai Rp 700.000/meter. “Ini kan jelas terjadi penggelambungan harga yang luar biasa, sehingga negara dirugikan mencapai Rp 5 miliar dalam kasus ini,” katanya.

Padahal, lanjut Askhalani, kalau dilihat dengan data perbandingan pembebasan lahan yang dilakukan Tim Sarpras BRR Aceh-Nias terhadap tanah untuk lokasi pembangunan penjara yang lokasinya tidak jauh, cukup mencolok. Sebab tanah untuk lokasi penjara harga ganti ruginya hanya sekitar Rp 142.000/meter kepada 51 pemilik tanah. Penghentian kasus ini juga terkesan aneh, katanya, karena sebelum lebaran Idul Fitri 1429 H pengusutannya baru mulai dilakukan, tetapi setelah lebaran tiba-tiba dihentikan pengusutannya.

Menurut Askhalani, pihaknya sempat menyerahkan sebanyak 42 kasus kepada tim Jamwas yang sampai saat ini tidak ada kejelasan pengusutannya oleh jajaran Kejati Aceh.

Askhalani mengatakan, undangan ke Kejati oleh tim Jamwas sangat mendadak diterima pihaknya. “Kami sangat terkejut atas undanngan ini. Karena undangan baru diterima melalui feks, Selasa (3/3) pukul 12.00 WIB. Maka kami juga terkejut ketika ditanyai persoalan tersebut,” katanya.

Dalam surat panggilan Nomor R-01/N.17/Hkt.1/03/2009 yang ditandatangani Ohara Pudjo SH (Asisten Pengawasan Kejati) disebutkan, kedua saksi dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun dalam surat tersebut tidak dijelaskan permintaan keterangan dalam kasus apa.

Kasus Blang Panyang

Alfian yang dikonfirmasi wartawan menyebutkan, selama pemeriksaan ada dua kasus yang menjadi fokus permintaan keterangan tim Jamwas. Sedangkan kasus pembebasan lahan di Blang Panyang telah pernah dilaporkan ke Kejari Lhokseumawe. Namun dalam pengusutannya, Kejari setempat juga tidak menemukan adanya kerugiaan keuangan negara, sehingga kasus tersebut dihentikan pengusutannya. “Dihentikan sejak 2008, sekitar November,” kata Alfian Dia sebutkan, pihaknya melihat dalam kasus pembebasan lahan di Blang Panyang terdapat potensi korupsi, bahkan pada pernyataan terakhir, LSM MaTA menyatakan akan membuat pengaduan kepada Kejagung. Dia menilai, dalam pengusutan kasus ini, pihak Kejari Lhokseumawe belum bekerja optimal. “Secara lembaga kita melihat dalam kasus ini belum ada political will dari Kejaksaan untuk mengungkap kasus ini,” katanya.

Selain itu, katanya, ada dua hal penting yang dinilai MaTA belum dilakukan pihak Kejari, yakni belum memanggil secara resmi orang-orang kunci dalam panitia pembebasan lahan (tim sembilan).

Alfian menyebutkan, dalam proses pembebasan lahan tersebut dialokasikan dana Rp 4 miliar untuk 20 hektar. Namun yang diterima pemilik lahan Rp 10.000 per meter. Sehingga terjadi selisih mencapai Rp 2 miliar yang diduga telah terjadi pemotongan.

Usai pemeriksaan ketiga aktifis LSM antikorupsi tersebut, tim melanjutkan pemeriksaan terhadap Kajari Lhokseumawe, Tomo SH. Pemeriksaan Tomo disebut-sebut terkait tidak ada kejelasan pengusutan kasus tanah Blang Panjang, Lhokseumawe.

Kemudian tim juga melanjutkan pemeriksaan awal terhadap tiga Kasi pada Asiten Intelijen Kejati Aceh, masing-masing Kasi Penkum/Humas Ali Rasab Lubis SH, Kasi Prosarin Amanto SH, dan Kasi Sospol Jufri SH. Ketiga mereka diperiksa karena ikut merupakan jaksa yang menangani penyelidikan dalam kasus dugaan mark-up harga tanah terminal mobar.

Akibat tertutupnya jalan pemeriksaan tersebut membuat kalangan wartawan tidak memperoleh informasi terkait hasil pemeriksaan itu.

Bahkan semua sumber menyebutkan, Kamis (5/3) hari ini, giliran Kajati Aceh, Yafizham SH dan Asisten Intelijen, M Adam SH diperiksa tim tersebut terkait laporan dugaan jual beli kasus di Kejati yang terjadi selama ini.

Isu suap Asintel

Sehari sebelumnya, Selasa (3/3), informasi pemeriksaan terhadap Asintel Kejati Aceh, HM Adam SH oleh Jamwas Kejagung beredar santer di kalangan wartawan. Tidak mengherankan informasi tersebut menarik perhatian pekerja pers. Dalam sebuah pesan singkat yang diterima wartawan antara lain disebutkan, “M Adam SH telah menerima suap dalam kasus pengadaan tanah terminal mobil barang Banda Aceh....Selama ini M Adam telah banyak mempermainkan perkara korupsi”.

Kasi Penkum/Humas Kejati, Ali Rasab SH yang dikonfirmasi terkait informasi tersebut membatah. Malah dia mempertanyakan kebenaran informasi itu dan dari mana sumber informasi tersebut berasal.

Dia juga membantah telah terjadi pemeriksaan terhadap Kajati dan Asintel oleh Jamwas Kejagung.

“Tidak ada itu. Dari siapa informasinya. Itu hanya pemeriksaan rutin saja, semua bagian diperiksa kok. Coba tanya saja kepada orang yang kasi informasi itu,” katanya ketika dihubungi Serambi melalui telepon.(sar/sup)

Hentikan kasus Mobar dan blang Panyang, Pejabat Kejati Aceh, diperiksa kejakgung

Harian Aceh, 5 Maret 2009

Sejumlahpejabat Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, Rabu (4/3), diperiksa tim pengawas dari Kejaksaan Agung (Kejakgung) RI. Pemeriksaan itu ditengarai terkait penghentian penyelidikan beberapa kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) di Aceh.
Tim Kejakgung memeriksa secara perorangan pejabat Kejati Aceh, mulai dari tingkat kepala hingga kepala seksi, termasuk Kajati Yafitzham SH, Asintel M Adam, dan Kajari Lhokseumawe Tomo SH. Sementara koordinator GeRAK Aceh dan MaTa ikut dimintai keterangan terkait indikasi korupsi yang mereka laporkan.
Kajati Yafitzham dan Asintel M Adam disebut-sebut diperiksa terkait pemberhentian penyelidikan kasus pengadaan lahan Terminal Mobil Barang (Mobar) di Desa Santan, Ingin Jaya, Aceh Besar. Sementara Kajari Tomo diperiksa terkait pemberhentian kasus pengadaan tanah pembangunan rumah sakit bantuan Korea di Blang Panyang, Lhoksmawe.
Askhalni dan Rahmat dari GeRAK serta Alfian dari MaTa dipanggil terkait temuan kedua LSM itu terhadap kedua kasus yang diberhentikan pihak penyidik kejaksaan di Aceh. Sedangkan pemeriksaan seluruh kepala seksi (Kasi) dan asisten lainnya merupakan pemeriksaan rutin setiap tahunnya.
Tim pengawas Kejakgung yang diturunkan ke Aceh itu diketuai Iskamto SH. Dia dimpingi empat anggotanya, yakni Rahmat Priono, Rahmat Riono, M Abdu Amasta, dan Fajar.
Alfian, Koordinator MaTa, mengatakan surat panggilan kepadanya dilayangkan Jamwas Kejakgung beberapa hari lalu. Kedatangannya ke Kejati Aceh sebatas saksi dengan tidak menentukan jenis kasusnya. Dia mengaku menjalani pemeriksaan pukul 09.00-12.00 WIB. “Saya dicerca 12 pertanyaan terkait kasus Blang Panyang yang penyelidikannya telah dihentikan oleh Kejari Lhokseumawe,” katanya.
Menurut pihaknya, sebut Alfian, telah terjadi korupsi dalam kasus Blang Panyang, sesuai barang bukti baru yang ditemukan. “Tapi kasus itu dihentikan oleh Kejari. Laporan kami itu ternyata mendapat respon dari Kejakgung,” jelasnya.
Karena dikhawatirkan adanya permainan suap-menyuap dalam kasus itu, lanjut Alfian, maka Kajari Tomo juga diperiksa oleh tim pengawas. “Tim itu juga memeriksa kinerja Kejati Aceh atas sejumlah kasus yang sudah diusut dan kasus yang berhenti begitu saja seperti PT NAA dan beberapa kasus lainnya,” sebutnya.
Hal senada disampaikan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani. Kata dia, pemanggilannya menghadap tim pengawas Kejakgung hanya sebagai saksi. Meski tidak disebutkan saksi dalam kasus tertentu, namun dari 12 pertanyaan yang diajukan keselurahannya menyangkut kasus pengadaan lahan Terminal Mobar di Desa Santan, Aceh Besar.
”Mereka meminta keterangan atas temuan korupsi yang kami laporkan itu. Pasalnya, Kejati Aceh telah menghentikan penyelidikan dengan alasan tidak ditemukan indikasi korupsi. Mungkin keterangan dari kami sebagai data tambahan untuk pemeriksaan Yafitzham dan M Adam atas pemberhentian kasus itu,” katanya usai diperiksa empat jam bersama rekannya Arman, Sekretaris Eksekutif GeRAK.
Pengurus LSM Antikorupsi itu menyebutkan, komitmen Kejakgung RI dalam memberantas korupsi khususnya di Aceh sangat tinggi. Hal itu terlihat dari kedatangannya dalam inspeksi kinerja Kejati Aceh tersebut dengan memeriksa hingga tingkat Kajati.
”Mereka sebenarnya menilai ada sesuatu di balik penghentian kedua kasus tersebut, sehingga memanggil kami sebagai pelapor kasus. Dari pernyataan-pernyataan mereka, sangat patut diperiksa Kajati Aceh dan Asintelnya untuk kasus Mobar, serta Kajari Lhoksmawe untuk kasus Blang Panyang,” sambung Arman.
Namun pernyataan kedua LSM tersebut dibantah Kasi Penkum Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis. Menurut Rasab, pemeriksaan oleh tim pengawas Kejakgung itu sebatas inspeksi umum dan dilaksanakan setiap tahun. ”Apa saja yang disampaikan di luar, silakan saja. Yang jelas, inspeksi iniadalah inspeksi umum keseluruhan,” katanya saat dihubungi, kemarin.
Menyangkut pemanggilan koordinator GeRAK dan MaTa Aceh, Rasab mengatakan hal itu biasa dan tidak ada kaitan dengan inspeksi tersebut. ”Itu saja. Apa yang mereka bilang, ya kata mereka, bukan saya yang katakan,” pungkasnya.(min)

03 Maret 2009

Kejagung Panggil Pjs GeRAK dan Koordinator MaTA

theglobejournal.com, 3 Maret 2009

Pjs koordinator Gerak Aceh Askhalani menyebutkan, dirinya dan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian dipanggil ke Kejati Aceh besok, Rabu (4/3). Mereka diminta untuk menghadap Jaksa utama bagian pengawasan pidana Kejagung RI Iskanto. Demikian ungkap Askhalani kepada The Globe Journal melalui pesawat telepon, Selasa (3/3).

Lebih lanjut ujarnya, dia tak mengetahui maksud pemanggilan khusus itu, kepada dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap menyuarakan anti korupsi itu di Aceh. Namun pastinya, besok dirinya beserta coordinator MaTA Alfian harus bertandas ke Kantor Kejati Aceh pada pukul 09.00 WIB.

Ditanyai mengenai indikasi permintaan keterangan pada Gerak dan MaTA terkait dugaan kasus suap, yang dilakukan Kasi Inteligen Kejati Aceh M Adam SH seperti informasi yang dihimpun The Globe Journal, dia mengaku belum bisa memastikan hal itu. Namun, dia menegaskan akan memenuhi panggilan itu. “Saya dan Alfian MaTA dipanggil oleh Kejagung RI ke Kejati Aceh besok. Namun, kami belum tau maksud pemanggilan itu,” ungkapnya. [003]

Dibantah Inspeksi Kejagung untuk Periksa Staf Kejati Aceh

theglobejournal.com, 3 Maret 2009

Banda Aceh – Informasi inspeksi Kepala Kejaksaan Agung ke Kejaksaan Tinggi Aceh merebak dikalangan wartawan. Namun hingga pukul 17.00 Kepala Kejagung beserta rombongan belum juga bertandas ke Kejati Aceh. Demikian amatan The Globe Journal di Kantor Kejati Aceh, Selasa (3/3).

Berdasarkan informasi yang dihimpun The Globe Journal, disamping agenda inspeksi tahunan Kejagung RI ke Kejati Aceh, disinyalir kedatangan itu juga dilakukan untuk memeriksa Kasi Intelijen Kejati Aceh M Adam. Pemeriksaan itu disinyalir terkait dugaan suap tentang pengusutan kasus penggelembungan harga pembebasan tanah, untuk proyek pembangunan terminal mobil barang di Santan kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Kepala Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis membantah dugaan itu. Menurutnya, rencana kedatangan rombongan Kejagung ke Aceh memang ada. Hanya saja, kunjungan itu merupakan agenda tahunan untuk mengevaluasi kinerja Kejati Aceh. Dia menegaskan, dugaan suap yang dilakukan M Adam hanyalah isu belaka. “ Itu kabar angin. Tak benar kedatangan Rombongan Kejagung RI untuk memeriksa Kasi Intel kita terkait dugaan suap itu,” ujarnya.

Pjs koordinator Gerak Aceh Askhalani yang diminta keteranganya mengenai dugaan itu mengaku belum mengetahui kabar itu. Namun dia menyebutkan, rombongan Kejagung RI memang diketahui akan bertandas ke Kejati Aceh hari ini. “ Saya belum tau dugaan itu. Namun saya juga mendapat kabar akan rencana kedatangan rombongan Kejagung RI ke Kejati Aceh hari ini,” imbuhnya. [003]

02 Maret 2009

Pengesahan APBA 2009 Dinilai Cacat Hukum

Serambi Indonesia, 3 Maret 2009

Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2009 senilai Rp 9,7 triliun yang telah disahkan Pimpinan DPR Aceh, Selasa (24/2) malam, dinilai cacat hukum. Sebab, pengesahan anggaran dilakukan tanpa lebih dulu memperbaiki catatan (koreksi dan evaluasi) dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terhadap RAPBA tersebut. Penilaian bahwa model pengesahan yang demikian itu cacat hukum, dilontarkan Abdullah Abdul Muthaleb, Manajer Monitoring Parlemen pada LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Senin (2/3). Kepada Serambi, Abdullah mengaku telah menyimak dengan saksama apa yang diutarakan dua anggota DPRA, yakni Abdurrahman Ahmad dari Fraksi PBR dan T Surya Darma dari Fraksi PKS, bahwa APBA 2009 itu disahkan Pimpinan DPRA dalam sidang paripurna sebelum diperbaiki. Padahal, dalam daftar koreksi dan evaluasinya, Mendagri menghendaki RAPBA 2009 itu harus diperbaiki/dirasionalkan lebih dulu sebelum disahkan.
Sementara itu, dua pakar dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr Mawardi Ismail dan Dr Faisal A Rani menyatakan, berdasarkan aturan yang berlaku, pengesahan RAPBA menjadi Qanun APBA baru bisa dilakukan setelah koreksi/evaluasi Mendagri terhadap RAPBA diikuti. “Tapi cacat hukum atau tidaknya sebuah produk hukum (qanun), haruslah melalui proses hukum dan ada putusan tetap dari pengadilan,” tukas Mawardi Ismail.

Tak ikuti ketentuan

Abdullah Abdul Muthaleb dari GeRAK Aceh justru menilai bahwa pengesahan APBA tahun ini tidak memenuhi ketentuan hukum yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini, menurut Abdullah, seharusnya menjadi pedoman bagi Pemerintahan Aceh (DPRA dan Gubernur) untuk menjalankan roda pemerintahan.

Pada Pasal 235 ayat (5) UUPA disebutkan bahwa sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK, maka pemerintah mengevaluasi Rancangan Qanun (Raqan) tentang APBA, sedangkan Gubernur mengevaluasi Raqan APBK (kabupaten/kota).

Pada ayat (6) disebutkan, hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan.

Selain itu, kata Abdullah, pada Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 ditegaskan bahwa sebelum pembicaraan tingkat keempat dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (6), maka Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) bersama Panitia Anggaran (Panggar) DPRA melakukan penyempurnaan sesuai dengan hasil evaluasi Mendagri.

Penegasan serupa, ungkap Abdullah, juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bagian IV, yakni mengenai Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran RAPBD pada Pasal 47 ayat (5) dan (6).

Selain itu, dalam Pasal 187 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa jika hasil evaluasi Mendagri itu tidak diperbaiki oleh DPRD (dalam hal ini DPRA) dan Gubernur, maka Mendagri bisa membatalkan APBA 2009 yang telah disetujui dan disahkan DPRA. “Kalau ini terjadi, maka Pemerintah Aceh harus melaksanakan APBA tahun sebelumnya,” timpal Abdullah.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPRA Bidang Anggaran, Tgk Waisul Qarany Ali mengatakan, pengesahan APBA 2009 dan penutupan Sidang Paripurna APBA 2009 pada Selasa (24/2) malam itu dimaksudkan hanya untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan APBA 200. Sedangkan perbaikan terhadap koreksi Mendagri itu tetap dilakukan, namun belakangan.

Apa yang dilakkan DPRA itu, menurut Abdullah, membuktikan bahwa DPRA tidak taat terhadap aturan yang telah dibuatnya bersama Gubernur, yakni Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh. Selain itu, Pimpinan DPRA yang mengesahkan APBA 2009 itu telah melanggar UUPA yang merupakan pedoman pelaksanaan pemerintahan di Aceh.

“Kalau demikian kejadiannya, bagaimana mungkin DPRA bersama Gubernur ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. Tuh lihat bukti konkretnya, aturan yang dibuat bersama, justru dilanggar,” rutuk Abdullah.

Menurut Abdullah, jika hasil evaluasi dan koreksi Mendagri itu tidak diperbaiki Panggar DPRA bersama TAPA, maka dana senilai Rp 2,5 triliun yang dipersoalkan Mendagri di dalam RAPBA 2009 itu bisa saja disalahgunakan setelah pengesahan anggaran.

Sehubungan dengan masalah itu, GeRAK, menurut Abdullah, akan melaporkan peristiwa tersebut kepada Mendagri untuk dijadikan masukan dan dasar pengambilan kebijakan selanjutnya.

Harusnya diperbaiki

Pakar hukum dari Unsyiah, Dr Mawardi Ismail dan Dr Faisal A Rani yang diminta Serambi tanggapannya di tempat terpisah mengatakan, sebelum DPRA mengesahkan Raqan APBA 2009 menjadi Qanun APBA 2009, hasil evaluasi Mendagri terhadap APBA 2009 itu, seharusnya diperbaiki lebih dulu. Hal itu diatur dalam Pasal 235 ayat 5) dan (6) UUPA serta Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh.

Koreksi Mendagri itu perlu duluan dilaksanakan, baru Raqan APBA 2009 disahkan, menurut Mawardi, bertujuan supaya kegiatan yang dilaksanakan dalam APBA 2009 nanti sama dengan apa yang disahkan DPRA dan ditandatangani Gubernur dalam lembaran daerah.

Di sisi lain, Faisal A Rani mengingatkan bahwa UUPA memberikan kelebihan kepada DPRA. Tapi kenapa dewan tidak menggunakan kelebihannya itu. “Untuk masalah ini sebaiknya kita kembalikan ke dewan,” kata Faisal A Rani.

Menurut Mawardi, karena Raqan APBA 2009 telah telanjur disahkan, maka lampiran APBA yang dikoreksi Mendagri itu harus segera diperbaiki supaya tidak menjadi masalah hukum di kemudian hari.

Menanggapi pendapat segelintir orang bahwa pengesahan APBA 2009 itu cacat hukum, Mawardi menyatakan itu sah-sah saja disampaikan orang bersangkutan. Tapi untuk mengetahui, cacat hukum atau tidak sebuah produk hukum (qanun), haruslah melalui proses hukum dan adanya putusan tetap dari pengadilan. “Jadi, bukan dari pendapat yang dilontarkan oleh pihak yang tidak berwenang menyatakan hal itu,” tukasnya. (her)

17 Februari 2009

Tsunami Rebuilding Dogged By Corruption, Aceh Watchdog Reveals

Jakarta Globe, February 13, 2009

The earthquake and devastating tsunami that struck Aceh Province in 2004 has been followed by a flood of corruption involving the Aceh-Nias Rehabilitation and Reconstruction Agency, or BRR, in collusion with parasitic contractors, a corruption watchdog alleged on Friday.
At least Rp 100 billion ($8.5 million) provided by the government to rebuild the province has been consumed by corruption, resulting in poor quality reconstructions, said Askhalani, the coordinator of the Aceh branch of the People’s Anti-Corruption Movement, or Gerak.
“Based on the results of our monitoring, the suspected corruption mostly took place in the housing sector. One of the cases involved Rp 20.5 billion in graft by three companies working on the BRR’s housing assistance scheme,” Askhalani said.

He said that at the end of 2006, the agency gave orders to three Jakarta-based companies to build 799 houses for tsunami victims in Singkil and Aceh Jaya districts, worth Rp 60.55 billion.
“But soon after withdrawing Rp 20.5 billion, these three companies abandoned work and their bidding deposit cheques bounced,” Askhalani said.

“The BRR has reported this case to the Metro Jaya Police Department, but so far, there has been no explanation regarding the investigation. The question is why BRR officials who are supposed to be professionals failed to check on the credentials of these companies and disbursed the money so freely.” Aceh’s prosecutors’ office has probed two BRR’s officials — Bambang Sudianto, deputy for housing, and Ramli Ibrahim, deputy for control, but the results of their questioning have not been made public. ‘The question is why BRR officials failed to check on the credentials of the companies’

Askhalani, Gerak Aceh
Askhalani said there were several other suspected corruption cases in housing construction that were believed to have been caused by collusion between contractors and BRR officials. The pattern was that contractors withdrew the money and then abandoned work, or lowered the quality and specifications of the housings, prompting tsunami victims to refuse to occupy them, he said.
“The result of our monitoring from 2005 up to 2008, showed that there were 80 troublesome companies building houses for the BRR. They were mostly in Simeulue and Aceh Jaya districts. This was caused by BRR’s poor control ... many of its contractors caused problems,” Askhalani said, adding that many people had called on the agency to improve its supervision of contractors.
He cited a Rp 59.6 billion procurement project for 3,015 units of stainless steel frames for housing roofs in 2006, that later became “unusable due to incompatibility with the specifications in the contract." “Now the steel frames have become junk. If there was no conspiracy between the contractors and BRR’s officials, these situations would never have occurred,” Askhalani said.

Other corruption cases were also suspected in the various sectors of the BRR, monitoring by Gerak activists and the audit results of the Development and Finance Control Board, or BPKP, showed. He said that the BPKP’s audit results showed that corruption was suspected in mangrove and beach forests restoration projects, believed to have caused Rp 2.22 billion in state losses, and in the procurement project for high school laboratory equipment, which caused Rp 5.392 billion in losses. The construction of the Lamno-Calang road project also suffered a Rp 3.5 billion loss to corruption. Planning and designing health-care facilities caused a further Rp 3.298 billion in losses, he said. Investigations by Gerak Aceh found irregularities in land purchases for Banda Aceh’s cargo terminal that could inflict Rp 8 billion in losses to the government. “Our investigation found a land price mark-up. It should have cost from Rp 45,000 up to Rp 300,000 a meter, but the BRR paid Rp 700,000 a meter,” Askhalani said.

From the many suspected corruption cases, he said, only a few were investigated by prosecutors. Among those cases still being investigated by the Aceh High Court, were a teacher training program that caused some Rp 2.5 billion in state losses, a salt water dam construction which cost

Rp 7.1 billion and other projects worth hundreds of billion rupiah.
Mukminan, a member of the Banda Aceh council of representatives, said that many BRR projects in Banda Aceh seemed wasteful and were not fit for use due to shoddy construction work, especially the abandoned houses built by BRR for tsunami survivors. In addition, he said, construction of water pipelines and urban drainage systems had been built at a substandard level.

09 Februari 2009

GeRAK Pertanyakan Dua Kasus ‘ Mengendap ‘ di BRR

Harian Aceh, 9 Februari 2009

Deputi Pengawasan BRR Aceh-Nias diminta serahkan segera ke penyidik dua kasus korupsi senilai Rp 6,8 Miliar yang masih mereka endapkan sampai sekarang. “ Tim Audit BPKP Aceh telah menghitung adanya kerugian Negara mencapai Rp 6,8 miliar, jadi buat apa deputi pengawasan mengaudit lagi ke lapangan”, kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, kemarin.

Dua kasus korupsi Rp 6,8 miliar di BRR yakni, proyek jalan Lamno-Calang dengan kerugian Negara Rp 3,5 miliar dan pekerjaan perencanaan pembangunan revitalisasi Puskesmas di Aceh, dengan kerugian Rp 3, 298 miliar

Menurut Askhal, lambannya pelimpahan kedua kasus teersebut kepenyidik, dinilai BRR telah menutupi kinerja buruk di Lembaganya. “ Tim penyidik juga harus transparan atas semua kasus yang sudah ditanganinya, agar perbandinagn kebaikan dengan kebrobrokan BRR selama di Aceh terlihat. Menurut catatan kami, ada 26 kasus BRR yang rata-ata merugikan Negara diatas Rp 1 miliar, hingga kini belum diketahui status hukumnya, “ katanya.

Sementara Juru Bicara (Jubir) BRR, Juanda Djamal mengatakan dua kasus yang masih diaudit ulang oleh Deputi pengawasan BRR, segera dilimpahkan ke penyidik. “ Dalam waktu dekat, dua kasus itu akan kami limpahkan ke penyidik, “ kata Djuanda tanpa menyebutkan waktunya. [ min]

07 Februari 2009

104 Koperasi kuras Rp 12 Milyar APBA 2009

Harian Aceh, 7 Februari 2009

Pemerintah Aceh menganggarkan Rp 12 M untuk 104 koperasi di Aceh pada tahun 2009. Penyaluran tersebut dinilai menambah deretan lembaga sosial lainnya yang ikut menguras APBA 2009 melalui dana aspiratif diusulkan dewan.

Bantuan Koperasi tersebut dianggarkan melalui pos mata anggaran APBA 2009 untuk seluruh kabupaten/kota, melalui Dinas Penindustrian, Perdagangan, koperasi dan UKM serta biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Rakyat. “ Dana yang berjumlah Rp 12 Milyar itu sebagian bersumber dari dana aspirasi ang gota DPRA, “ kata koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani di banda Aceh kemaren, Sebut Askhalani, modus pemberian dana atas koperasi itu, di tenggarai juga tidak ubah seperti pemberian dana atas beberapa Yayasan yang mencuat kepermukaan sebelumnya, “ diketahui, beberapa koperasi tersebut tidak aktif, bahkan dicurigai bukan koperasi yang dapat membantu dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, melainkan sebuah keluarga, “ ungkapnya.

Hal itu, lanjutnya, tidak sejalan dengan konsep ekonomi yang ditawarkan dalam visi dan misi pemerintah Aceh, periode Irwandi-Nazar, terutama untuk peningkatan keluarga kurang mampu lewat bantuan modal usaha melalui koperasi di Aceh. Dari beberpa koperasi yang diusulkan, paparnya, tercatat banyak yang tidak memiliki alamat lengkap, dan bahkan dana yang diberikan juga cukup bervariasi, antara Rp 20 Juta sampai Rp 600 juta.

“ Sebagian banyak koperasi yang dibantu jika tidak diseleksi ketat maka tidak menutup kemungkinan koperasi ini juga dapat mendapat kucuran dana dari daerah masing-masing melalui Dinas Koperasi di Kabupaten/Kota yang sumber dananya berasal dari APBK masing-masing,” tandasnya.

Menurutnya, seharusnya Pemerintah Aceh selektif memberikan dana dan harus melakukan telaah awal atas keberadaan Koperasi, sebelum dana itu diberikan, “ sebab jika dana yang diberikan pada Koperasi yang salah, maka Pemerintah Aceh, melalui Dinas terkait harus bertanggung jawab atas kegagalan pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah di Aceh, “ kata Askhalani.

Selain itu, Pemerintah Aceh juga harus meminta Pertanggung jawaban atas dana public itu kepada setiap Koperasi yang dibantu . Jika tidak melakukan proses tersebut dapat dilaporkan ke aparat hukum [ril]

06 Februari 2009

Rp.12 Milyar untuk Koperasi di Aceh

theglobejournal.com

Banda Aceh – Pemerintah Aceh menyediakan bantuan dana Rp.12 Milyar untuk koperasi seluruh kabupaten/kota di Aceh. Dana tersebut dianggarkan dalam APBA tahun 2009.
Dana tersebut nantinya akan diberikan melalui beberapa dinas diantaranya, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM serta Biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Rakyat sebagian besar dana yang diperuntukan untuk 104 koperasi tersebut, sumber dananya adalah bagian dari dana aspirasi yang diperuntukan untuk anggota DPRA.
Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada Wartawan, Jum’at (6/2) menyebutkan, melihat trend pemberian dana untuk koperasi tidak ubah seperti pemberian dana untuk beberapa yayasan yang mencuat kepermukaan sebelumnya, sebab beberapa koperasi yang dibantu adalah koperasi yang tidak aktif dan bahkan dicurigai koperasi ini bukan koperasi yang dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat.
“Dari beberapa koperasi yang diusulkan, tercatat banyak yang tidak memiliki alamat lengkap, bahkan dana yang diberikan juga cukup berpariasi antara Rp. 20 juta sampai Rp. 600 juta dan dari sekian banyak koperasi yang dibantu jika tidak dilakukan proses seleksi ketat,” ujar Askhalani.
Menurut Askhalani, tidak menutup kemungkinan koperasi ini juga akan mendapat kucuran dana dari daerah masing-masing melalui dinas koperasi di kabupaten/kota yang sumber dananya berasal dari APBK masing-masing.
“Seharusnya pemerintahan Aceh harus selektif memberikan dana untuk koperasi dan harus melakukan telaah awal atas keberadaan koperasi sebelum dana diberikan, sebab jika dana yang diberikan kepada koperasi yang salah maka pemerintah Aceh dan melalui dinas terkait harus bertanggung jawab atas kegagalan pemberdaan ekonomi masyarakat lemah di Aceh,” tambah Askhalani.
Askhalani mengharapkan, pemerintah Aceh harus meminta pertanggung jawaban atas dana publik tersebut kepada setiap koperasi yang dibantu, jika koperasi ini tidak melakukan proses pertanggung jawaban maka pihak yang menikmati dana tersebut harus dilaporkan ke aparat hukum.
“Pentingya melakukan pertanggung jawaban atas anggaran tersebut sekaligus untuk mengukur keberhasilan pemerintah membantu masyarakat di sektor ekonomi lemah lewat bantuan pemberian dana konpensasi melalui koperasi,” ungkap Askhalani.

Askhalani juga mengharapkan Pemerintah Aceh harus cukup hati-hati dan selektif dalam memberikan bantuan kepada koperasi, jangan sampai pemberian dana kepada lembaga-lembaga tertentu malah dimamfaatkan untuk kepentingan para pihak yang memang sudah cukup familiar mencari keuntungan lewat anggaran APBA.
“Hal ini penting dilakukan terutama untuk menyukseskan visi misi pemerintah terpilih sebagaimana janji politik pada waktu pilkada yaitu mewujudkan Aceh yang bersih dan bebas KKN,” ucapnya.(002).

02 Februari 2009

Terkait BKM Seulanga GeRAK Akui Atas Laporan Masyarakat, Koordinator BKM Siap Diusut

Serambi Indonesia, 2 Januari 2009

Persoalan indikasi korupsi terhadap dana bantuan sosial Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Seulanga, di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, semakin panas. Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menegaskan, kasus tersebut bukan sekadar isu, tapi terbongkar karena laporan masyarakat.
Menurut Staf Advokasi GeRAK, Yulindawati keterlibatan masyarakat dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Dalam Pasal 41 Ayat 1 disebutkan masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,” katanya, Minggu (1/2). Hal itu, katanya, juga dikuatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000. Dalam Pasal 2 disebutkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam mencari, memperoleh, memberi informasi, saran dan pendapat.

Disebutkan setiap orang, ormas, atau LSM berhak memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau KPK mengenai perkara korupsi.

Karena itu, kata Linda, GeRAK Aceh sendiri telah menyampaikan indikasi adanya korupsi tersebut ke Poltabes Banda Aceh, Rabu (28/1) lalu dengan sangat bertanggung jawab karena mereka telah melampirkan sejumlah dokumen bukti-bukti terkait.

Siap Diusut

Koordinator pelaksana Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Seulanga, Deden Syarifuddin, menyatakan siap diusut atas dugaan korupsi dana Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Sukaramai, seperti yang dibeberkan GeRAK Aceh.

Bahkan Deden mengatakan, hari ini, Selasa (2/2) pihaknya akan melayangkan surat kepada Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) untuk pemeriksaan dugaan korupsi senilai Rp 73,9 juta itu.

Pernyataan itu disampaikannya saat bertandang ke kantor Serambi Indonesia, Kamis (1/2), bersama Kepala Unit Pengelola Sosial (UPS), Umar Latif yang juga membantah dirinya terlibat dalam penggunaan dana bantuan pemerintah tersebut. Serta sejumlah anggota masyarakat Kelurahan Sukaramai.

Deden menambahkan, evaluasi program telah berulang kali dilakukan terkait kegiatan BKM Seulanga. Evaluasi tersebut di antaranya oleh P2KP pada 5 Januari 2008, oleh BPKP pada 29 Maret 2008, oleh Akuntan Publik pada 8 Mei 2008.

“Setiap selesai pelaksanaan kegiatan, pemeriksaan selalu dilakukan oleh P2KP dan BPKP. Namun selama ini tidak ada ditemukan penyimpangan, karena memang tidak ada korupsi seperti yang disebutkan. Besok (hari ini) kami akan mengirimkan surat kepada TAKPA untuk pemeriksaan, dan kami siap untuk diusut,” tegas Deden, kemarin.(dwi/th)

30 Januari 2009

GeRAK ’Bidik‘ Dugaan Korupsi BKM Seulanga

Serambi Indonesia, 31 Januari 2009
Dana Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang disalurkan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Seulanga, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh terindikasi dikorup sebesar Rp 73.950.000 dari total bantuan Rp 91.514.000. Kasus tersebut sudah dilaporkan ke Poltabes Banda Aceh.
Berdasarkan analisis laporan pertanggungjawaban BKM Seulanga sepanjang 2005-2008 serta investigasi GeRAK Aceh disebutkan, realisasi proyek berupa penyaluran dana bantuan sosial mencapai Rp 91.514.000 kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mitra Sosial Seulanga dan Berkat Sosial Seulanga.

Untuk KSM Mitra Sosial dialokasikan Rp 72.214.000. Rinciannya, untuk anak yatim Rp 30 juta, orang lanjut usia Rp 29,8 juta, serta pelatihan menjahit Rp 12.414.000.

Untuk KSM Berkat Sosial Seulanga dialokasikan Rp 19.300.000 dengan rincian untuk cacat Rp 10,8 juta dan pelatihan pembuatan kue tradisional Rp 8,5 juta. Menurut GeRAK, dari jumlah bantuan sosial Rp 91.514.000 tersebut, yang disalurkan hanya Rp 17.564.000. Sedangkan sisanya Rp 73.950.000 terindikasi adanya penyimpangan.

Penyimpangan tersebut didapatkan dari hasil perbandingan antara rekapitulasi anggaran yang ada dalam proposal dengan rencana penyaluran dalam daftar penerima bantuan dan realisasi di lapangan.

Untuk bantuan anak yatim dengan anggaran Rp 30 juta, di rekapitulasi dan anggaran disebutkan antara lain untuk pengadaan susu, pampers, baby jonshon, minyak kayu putih, termos air panas, botol susu, ayunan bambu, meja belajar, sepatu, tas, dan alat tulis masing-masing 19 unit. Baju koko/muslimah, kain sarung/mukena, sepatu, dan buku tulis sebanyak 74 unit.

Sedangkan realisasinya rata-rata hanya mendapatkan bantuan kain sarung dan uang saja. Di antaranya, 11 anak dengan rincian 3 orang mendapat Rp 200.000, 7 orang mendapat Rp 100.000, dan 1 orang Rp 130.000. Adapun 8 orang tidak mendapat bantuan apapun tapi namanya tercantum, serta 1 anak mendapat bantuan ganda karena namanya berada di nomor urut 64 dan 100.

Sementara untuk 40 orang cacat dalam rekapitulasi pembiayaan kegiatan disebutkan masing-masing mendapatkan paket susu seharga Rp 94.000, roti kaleng Rp 42.500, beras 15 kilogram seharga Rp 86.000, dan gula pasir Rp 37.500. Total anggaran yang seharusnya diterima per orang Rp 260.000. Namun, realisasinya cuma menerima beras 15 kilogram dan uang variasi Rp 30.000 hingga Rp 135.000.

Di antara 21 nama penerima juga tidak dikenal oleh kepala lingkungan dan masyarakat setempat. Bahkan salah satunya diduga tidak cacat. Adapun dua orang penerima bantuan juga tidak sesuai dengan proposal dan LPJ.

Adapun untuk orang jompo ditemukan 31 orang penerima bantuan hanya mendapatkan beras 15 kilogram dan uang berkisar Rp 90.000 hingga Rp 150.000. Padahal dalam pertanggungjawaban disebutkan 120 orang jompo mendapatkan paket berupa susu merek Anlene seharga Rp 79.000, roti kaleng Rp 42.500, gula 5 kilogram Rp 37.500, dan beras 15 kilogram seharga Rp 86.000 (total Rp 245.000). Ada pula 3 orang tercantum namanya tapi tidak mendapat bantuan dan 4 orang fiktif.

“Ada juga penerima yang sudah meninggal tujuh tahun lalu yaitu Alm Syamsuri B masih terdaftar sebagai penerima bantuan, nomor urut daftar penerima yang dihilangkan atau dilewatkan yaitu nomor 46, 94, 96, 109, dan 112, alamat yang dicatut tempat penitipan anak, serta alamat ada tapi penerima tidak terdaftar karena bangunan telah disewakan kepada BRR,” ungkap Yulindawati, staf Advokasi GeRAK Aceh. Selain itu juga adanya pemalsuan tandatangan UPS, peserta pelatihan kue tradisional, dan anggota KSM.

Menurut GeRAK, BKM Seulanga telah melanggar UU Nomor 34 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2007 Pasal 2 Ayat 1, Pasal 4, dan Pasal 15 tentang korupsi. Di samping itu, BKM Seulanga tidak melibatkan publik sebagaimana prosedur pelaksanaan program lewat partisipasi masyarakat dan petunjuk teknis (juknis) P2KP karena nama-nama pengurus adalah anggota keluarga dari koordinator BKM.

Berdasarkan penyelidikan GeRAK, pihak-pihak yang terindikasi kuat terlibat antara lain Rosmanidar (Koordinator BKM Seulanga), D Syarifuddin (Koordinator Pelaksana), Sri Wardani (Ketua KSM Mitra Sosial Seulanga), Midarwati (Bendahara KSM Mitra Sosial Seulanga), Agustina Rahmi (Ketua KSM Berkat Sosial Seulanga), Harmiati (Bendahara KSM Berkat Sosial Seulanga), Umar Latief (Unit Pengelola Sosial), Ibnu Sakdan Ibr (Lurah Sukaramai), Zahruddin Yusuf (Fasilitator Kelurahan), Mustafa (Penanggungjawab Operasional Kecamatan), dan Imam Baihaqi (Koordinator P2KP Banda Aceh).(dwi)

29 Januari 2009

Korupsi di BKM Bungong Seulanga, GeRAK Laporkan Ke Poltabes

Harian Aceh. 29 januari 2009

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) melaporkan manipulasi dana bantuan sosial P2KP sebesar Rp 73, 9 Juta yang dilakukan pengurus BKM Bungong Seulanga, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Banda Aceh, kepada Polisi, Selasa (28/1). Laporan yang dilengkapi sejumlah dataterkait indikasi korupsi tersebut, dilakukan Yulindawati, staf GeRAK Aceh bersama sejumlah warga Sukaramai di terima langsung oleh Kasat Reskrim Poltabes Banda Aceh, kompol Sudarmin SIK, sekitar pukul 12.00 WIB.

“Ini merupakan laporan Korupsi BKM Bungong Seulanga secara Resmi dari GeRAK, “ujar linda. Saat itu Sudarmin langsung meminta GeRAK Aceh untuk menggelar perkara pengaduan kaus Korupsi tersebut. Dari data yang disampaikan lembaga anti korupsi itu, sebesar Rp 73.950.000 dana bantuan sosial diduga telah dimanipulasi oleh pengurus BKM itu.

Pelimpahan kasus korupsi ini, kata Linda, merujuk pada data-data temuan GeRAK dilapangan yang dipelajaridengan pengajuan proposal BKM Bungong Seulanga terkait dana P2KP, dengan realisasi atau fakta dilapangan. “ Data itu dikumpulkan berdasarkan data jumlah di proposal dengan realisasi pemberian bantuan di lapangan, “ ujarnya. Meskipun pihak GeRAK tidak menyebutkan siapa-siapa yang diduga terlibat dalam kasus korupsi itu, namun ia mengatakan telah mengajukan sejumlah nama ke pihak Poltabes guna ditelusuri kebenarannya.

“ kami tidak bisa mengatkan siapa tersangkanya. Pihak Poltabes yang aka mengusut kasus pengaduan korupsi ini dan akan menentukan siapa-siapa saja yang diduga terlibat.” boy

28 Januari 2009

BRR Aceh-Nias Diadukan ke KPK

Suara Pembaruan Daily, 28 januari 2009
Bupati Aceh Barat Ramli MS menyatakan, menolak menerima aset dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias yang pernah diserahkan beberapa bulan lalu senilai Rp 45 miliar, karena kualitas dari aset yang pembangunannya didanai BRR itu, tidak jelas dan pembangunannya belum selesai. Bupati Aceh Barat, bahkan mengadukan BRR ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena dugaan korupsi dalam pembangunan Aceh pascatsunami.
Ramli MS yang sedang berada di Jakarta ketika dikonfirmasi SP melalui telepon selulernya, Senin (26/1) malam menegaskan, pengaduan ke KPK tersebut dilakukan Selasa (27/1). Pengaduan itu terkait dengan dugaan korupsi sejumlah proyek BRR di Aceh Barat yang selama ini tidak digubris aparat penegak hukum.
Dikatakan, sekitar 70 persen pembangun berbagai proyek yang didanai oleh BRR di Aceh Barat kualitasnya tidak bagus, demikian juga dengan korban tsunami hingga saat ini masih banyak yang tetap tinggal dibarak, karena rumah untuk mereka belum dibangun. Kalau sampai BRR bubar rumah korban Aceh Barat belum dibangun, pihaknya akan membangun sendiri dengan menggunakan dana APBD atau dana lain, karena pemerintah tidak mungkin membiarkan rakyat hidup menderita terus-menerus.
26 Kasus
Pejabat Koordinator Gerakan Anti Korupsi Aceh (Gerak-Aceh) Askalani yang dihubungi terpisah juga menguatkan pernyataan Bupati Aceh Barat. Askalani menyebutkan, berdasarkan catatan Gerak sepanjang tahun 2005-2008, ada sebanyak 26 kasus korupsi yang terjadi di BRR dengan kerugian negara ratusan miliar rupiah telah ditangani oleh aparat penegak hukum, namun dari jumlah karus tersebut hanya sebagian kecil yang jelas tersangkanya, sedangkan lainnya masih banyak yang belum terungkap pelakunya.
Sejumlah kasus karuspsi di BRR itu, telah dilaporkan Gerak kepada penegak hukum bahksan ada yang sampai ke KPK, tetapi proses selanjutnya hingga saat ini masih ditunggu, apakah dugaan kurupsi tersebut bisa diunkap. Demikian pula dengan rumah ganda yang diberikan kepada orang tidak berhak alias bukan korban tsunami saat ini yang sudah berhasil disita sebanyak 469 unit rumah, tetapi pelaku pembuat daftar ganda juga belum ada proses hukum, kasus rumah ganda terbanyak terjadi di Banda Aceh.
Terkait dengan itu, ratusan masyarakat korban tsunami asal Aceh Barat yang mendirikan tenda di Kantor Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), di Desa Ateuk Jawo sudah beberapa hari berada di Banda Aceh, guna menuntut BRR untuk membangun rumah untuk mereka, ada dari korban tsunami terserang sakit demam, batuk, dan flu. Meskipun kondisi korban asal Aceh Barat yang datang ke Banda Aceh untuk menuntut hak kondisinya memprihatinkan, tetap saja tuntutan mereka hingga saat ini belum ada kejelasan.
Sementara itu, Ketua DPR Aceh Said Fuad Zakaria kepada SP, Senin malam di Banda Aceh menegaskan, menjelang akhir tugas April 2009, BRR lebih transparan, terutama berkaitan dengan aset yang akan diserahkan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi/Pemerintah, dan untuk kabupaten/kota. Perlu didata dengan jujur dan tidak melakukan manipulasi, kalau bagus disampaikan bagus, jika rusak harus diperbaiki, kalau ada persoalan hukum harus dituntaskan jangan sampai ditutup-tutupi. [147]

Rp 45 M dana APBA Dipakai Partai

Waspada, 28 Januari 2009

Munculnya bantuan untuk organisasi non pemerintahan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2009, menimbulkan Polemik. Sebagian elemen menuding itu akal-akalan partai menjelang pemilu. Bantuan itupun diniali sarat politis dari kalangan partai.

Koalisi Aksi Penyelamat Uang Rakyat (KAPUR) menuding pengalokasisn dana kepada 255 lembaga di Aceh penuh nuansa politis. “ ini pertama kali terjadi sejak anggota DPRA sekarang terpilih. Ini tentu erat kaitannya dengan pemilu yang sudah didepan mata ,” ujar rafliannur, kepada waspada, Selasa (27/1), disela aksi di depan gedung dewan

Kapur berunjuk rasa memprotes pengalokasian anggaran Rp 45.750.000.000 kepada 255 lembaga atau yayasan dalam RAPBA 2009. “ pengalokasian dana ini, bentuk ketidakberpihakan DPRA kepada rakyat Aceh, sebagai pemilik sah anggaran,” kata dia.

Menurut Rafli, ditengah kualitas pendidikan Aceh yang terpuruk, pelayanan kesehatan amburadul, buruknya perekonomian rakyat, disaat itu pula DPRA menghamburkan uang rakyat untuk kepentingan yang tidak berpihak kepada rakyat. “ besaran dana itu seharusnya bisa dimanfatkan untuk pemenuhan sektor riil. Apalagi pasca konflik dan tsunami banyak warga yang belum mendapat rumah, orang jompo tidak mampu, anak-aank yang belum mengecap pendidikan, ujar Rafli menggugat.

Sebelumnya, Pjs. Koordinator Badan Pekerja gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani juga menuding, aksi DPR aceh tersebut sarat intrik politik. “ Sebagian besar penerima kucuran APBA tak punya legalitas publik dan jarang dikenal masyarakat,” katanya ditempat terpisah. Lebih detail dia menjelaskan, pemberian dana bantuan itu dialokasikan lewat pos Biro keistimewaan Aceh dan kesejahteraan Sosial Setdaprov Aceh. “ Padahal sampai hari ini, tak ada aturan keuangan mengatur soal mekanisme pemberian dana serta proses pertanggung jawaban atas dana yang diterima APBA, “ urai dia.

GeRAK, kata dia, mendesak Gubernur Aceh menghapus dan tidak mengalokasikan anggaran tersebut. Sebab itu pihaknya mengingatkan pemerintah provinsi menyusun peraturan gubernur tentang mekanisme dana Hibah. “ Pergub ini turunan Qanun No.1 tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan Aceh, “ Katanya.

Tudingan lebih keras diteriakkan oleh Hendra Budian. Menurut ketua Badan Pelaksana Aceh Justice Monitoring Institute (AJMI) itu, lembaga sipil yang menerima batuan dari APBA 2009 jelas-jelas bentukan partai politik untuk mengambil dana dari APBA. “Lembaga itu dibentuk sebagai media kampanye meeka”. Kata dia, dana yang dianggarkan untk yayasan atau lembaga sipil tersebut akan dipakai untuk partai politik saat merek berkampanyae. “ ini penggelapan dana besar-besaran yang dilakukan anggota DPRA. Ataudalam bahasa laindapat disebut sebagai Money Loundring,” ujarnya. (b05)

23 Januari 2009

LSM di Aceh Kuras Uang Rakyat

The Globe Journal, 24 Januari 2009

Banda Aceh – Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2009 tidak pantas diberikan untuk yayasan atau lembaga sipil lainnya karena masyarakat lebih membutuhkan dana tersebut daripada segelintir orang yang bekerja di yayasan tersebut. “Saat ini ribuan masyarakat Aceh masih hidup dalam kemiskinan dan membutuhkan bantuan usaha, tapi pemerintah Aceh dan DPRA malah mengalokasikan dana APBA Rp 45 miliar untuk yayasan dan lembaga sipil yang tidak berpengaruh langsung terhadap pembangunan ekonomi rakyat,” ungkap mantan Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Aceh, Puspa Dewi yang kini menjabat sebagai pengurus SP Pusat.

Menurut Dewi, sangat mengejutkan dan sebuah fenomena yang luar biasa, ketika semakin gencarnya kritikan dan hujatan kepada pemerintah, pemerintah mulai menggandeng LSM/Yayasan dengan memberikan dana APBA kepada yayasan dan LSM tersebut. ”Ada beberapa pertanyaan ketika melihat sederetan nama-nama yayasan dan lembaga penerima bantuan tersebut. apa kriteria lembaga yang menerima dana tersebut, kenapa begitu besar dana yang dialokasikan untuk lembaga sipil, padahal masyarakat sampai hari ini masih belum terpenuhi hak-haknya, sebut saja, saat ini masyarakat Aceh Barat sedang demo menuntut pemenuhan hak mereka yang sudah lebih empat tahun belum terpenuhi, seharusnya dana APBA yang diperuntukan untuk rakyat..bukan untuk segelintir orang,” ungkap Dewi kecewa.

Dan anehnya, sebut Dewi lembaga sipil yang seharusnya mengawasi kerja pemerintah, namun ikut-ikutan menikmati dana yang sebenarnya diperuntukkan untu rakyat miskin yang kehidupan mereka masih cukup memprihatinkan. “Seharusnya LSM, Yayasan atau lembaga sipil mencari dana dari luar Aceh dan dibawa ke Aceh agar bisa membantu masyarakat, bukan malah menguras uang rakyat,” papar Dewi.

Sebelumnya diberitakan, bantuan dana untuk lembaga dan yayasan di seluruh kabupaten/kota di Aceh yang bersumber dari APBA tahun 2009 yang dialokasikan lewat pos Biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan mencapai angka Rp 45 miliar.

Bantuan itu hingga saat ini tidak aturan keuangan yang mengatur soal mekanisme pemberian dana serta proses pertanggung jawaban atas dana yang diterima dari APBA oleh lembaga sipil dio Aceh baik LSM maupun Yayasan.

Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (22/1) menyebutkan, proses pemberian bantuan untuk yayasan dan lembaga sipil erat kaitanya dengan intrik politik menjelang pemilu. “Hampir sebagian besar yayasan dan lembaga yang mendapat kucuran dana ditengerai “dicurigai” merupakan lembaga yang tidak mempunyai legalitas publik dan jarang dikenal masyarakat. meskipun ada beberapa lembaga yang populis ditelinga kita," ujar Askhalani.

Menurut Askhalani, dari hasil telaah terhadap data dokumen Pendapatan, Usul dan Saran Panitia AnggaranDPRA terhadap Nota Penjelasan RAPBA 2009 seperti yang disampaikan pada rapat pleno panitia anggaran DPRA tanggal 15 Januari 2009, ditemukan beberapa mata anggaran yang dianggarkan untuk lembaga dan yayasan berkisar dari Rp.50 juta hingga mencapai 1 M, dari jumlah tersebut diketahui bahwa sekitar 225 lembaga dan yayasan yang mendapat kucuran dana dari alokasi APBA tahun 2009.

“Proses pengalokasian dana bantuan untuk lembaga dan yayasan menunjukan bahwa Pemerintah Aceh dan legislatif tidak sensitif dalam mewujudkan efesiensi dalam pengelolaan anggaran. Bahkan akibat tindakan ini menunjukan pengelolaan anggaran publik mengelabui rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan terutama menjelang pemilu.[003]

GeRAK Aceh : BRR Gagal Bangun Aceh Kembali

The Globe Journal, 23 Januari 2009

Banda Aceh – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dinilai telah gagal membangun kembali Aceh setelah dihantam tsunami 26 Desember 2004 lalu. Pasalnya meskipun lembaga yang dibentuk melalui Perpres telah bekerja hampir empat tahun, namun masih cukup banyak korban tsunami yang belum mendapatkan rumah. “Meskipun BRR Aceh-Nias telah bekerja empat tahun, namun masih cukup banyak korban tsunami yang belum mendapatkan rumah, ini merupakan bukti kalau BRR Aceh-Nias gagal membangun kembali Aceh setelah dihantam tsunami,” sebut Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal disela aksi demonstrasi korban tsunami ke Kantor Pusat BRR Aceh-Nias, Jum’at (23/1).

Askhalani mengatakan, dari sekian puluh ribu rumah yang dibangun BRR untuk korban tsunami sebagian juga tidak layak huni karena dibangun asal jadi. “Belum lagi hingga saat ini BRR tidak punya data yang pasti terkait jumlah rumah yang telah mereka bangun,” ungkap Askhalani.

Askhalani mengungkapkan, memang keluar dikampanyekan bahwa program rehablitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias di Aceh telah berhasil dan berjalan dengan baik, tapi faktanya dilapangan kegiatan BRR khususnya pembangunan rumah untuk korban tsunami cukup banyak masalah yang mulai muncul semenjak tahun 2005 hingga akhir tugas BRR.

Menurut Askhalani, meskipun staf BRR digaji tinggi namun ternyata mereka tidak bisa bekerja maksimal sehingga berbagai permasalahan muncul menjelang berakhirnya tugas mereka di Aceh. “Lihat saja meskipun staf BRR dibayar dengan gaji tinggi, namun tidak ada daerah yang tidak bermasalah,” imbuh alumni IAIN Ar-Raniry tersebut.

Askhalani menambahkan, permasalahan yang baru muncul di Aceh Barat, Banda Aceh dan Aceh Besar, namun bukan berarti didaerah lain tidak bermasalah, tunggu saja masyarakat daerah lain juga datang ke Banda Aceh menggugat BRR.[003]

Tuntut Rumah Bantuan, Korban Tsunami Unjuk Rasa Lagi ke BRR

Serambi Indonesia, 24 Januari 2009

BANDA ACEH - Dua ratusan korban tsunami yang tergabung dalam Gerakan Pejuang Rumah Tsunami (GPRS) Aceh Barat, Aceh Besar, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta aktivis mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) berunjuk rasa di Kantor Pusat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias, Luengbata, Banda Aceh, Jumat (23/1).
Mereka menuntut realisasi pembangunan rumah bantuan kepada korban gempa dan tsunami yang belum mendapatkannya serta bantuan sosial bertempat tinggal (BSBT) sebanyak 1.569 unit yang pernah dijanjikan BRR pascatsunami.

Pantauan Serambi, sekitar pukul 14.00 WIB kemarin massa bergerak ke Kantor BRR NAD-Nias menggunakan dua truk colt diesel, satu pikap, dan puluhan kendaraan roda dua. Dua ratusan pengunjuk rasa tersebut sejak lima hari lalu datang ke Banda Aceh dan mendirikan tenda di halaman Kantor Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), di Kampung Ateuk Jawo.

Setiba di depan kantor BRR, massa turun dari kendaraan dan langsung memenuhi badan jalan sambil mengusung poster maupun spanduk. Namun, massa tidak diperkenankan masuk ke halaman kantor BRR, karena sejumlah polisi langsung memblokir pintu masuk dengan cara menutup dan merantai pintu pagar, lalu digembok.

Pengunjuk rasa yang beraksi selama lebih dari empat jam itu, mengarak sejumlah poster dan spanduk bertuliskan “BRR harus bangun rumah rakyat korban tsunami di Aceh Barat, Kuntoro harus bertanggung jawab terhadap rehab dan rekon di Aceh sampai tuntas.” Selain itu massa juga meneriakkan yel-yel, “Kuntoro jangan coba-

coba angkat kaki dari Aceh sebelum hak masyarakat korban tsunami diberikan hak-haknya.”

Setelah setengah jam lebih berorasi, suasana kian memanas. Pasalnya, tak satu pun pejabat teras BRR menjumpai pengunjuk rasa. Massa akhirnya berupaya menerobos masuk ke dalam kantor. Massa terlibat dorong-mendorong pintu pagar dengan polisi. Bahkan, mereka mendobraknya hingga puluhan kali. Namun, upaya tersebut gagal, karena para polisi menahan pintu tersebut.

Aksi demo masyarakat korban tsunami di depan Kantor Pusat BRR itu sempat memacetkan arus lalu lintas di jalan menuju arah Cot Masjid, Luengbata. Akibatnya, puluhan pengendara sepeda motor dan kendaraan roda empat yang melintasi jalan tersebut, terpaksa berbalik arah mencari jalan alternatif.

Tujuan para korban tsunami mendatangi Kantor BRR adalah untuk menjumpai Kepala Badan Pelaksana (Bapel) BRR, Dr Kuntoro Mangkusubroto, agar segera menyelesaikan rekonstruksi rumah korban tsunami dan BSBT sebelas kecamatan di Aceh Barat dan Aceh Besar.Namun, saat aksi unjuk rasa itu berlangsung, Kuntoro tak berada di tempat.

Rumah bantuan BRR di sebelas kecamatan itu meliputi Johan Pahlawan 1.191 unit, Meureubo 210, Kaway XVI 5, Pante Ceureumen 8, Samatiga 46, Bubon 2, Sungai Mas 9, Woyla Barat 22, Woyla Timur 8, Woyla 37, dan Arongan Balek 31 unit. Total keseluruhan rumah bantuan yang belum dibangun 1.569 unit.

Data tersebut merupakan daftar nama beneficiaries bantuan perumahan dan permukiman sorban gempa dan tsunami Aceh Barat yang sudah diverifikasi BRR.

Dialog buntu

Setelah hampir satu jam massa berdemo dan mendobrak pintu pagar, akhirnya Juru Bicara (Jubir) BRR NAD-Nias, Juanda Djamal menerima para korban tsunami tersebut. Pihak BRR dan perwakilan masyarakat korban tsunami Aceh Barat, Aceh Besar, LSM, dan aktivis mahasiswa melakukan dialog bersama di dalam ruangan rapat BRR.

Ketua Badan Pelaksana AJMI, Hendra Budian, Penanggung Jawab GPRS, Edy Chandra, Ketua GeRAK Aceh, Askhalani, perwakilan masyarakat Aceh Besar, dan koordinator lapangan Chaidir, yang mendampingi masyarakat korban tsunami menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada Jubir BRR dan staf Perumahan dan Permukiman BRR NAD-Nias, Sarma.

“Massa meminta kejelasan dan kepastian dari BRR mengenai rekonstruksi rumah bantuan dan BSBT di Aceh Barat dan Aceh Besar. Masyarakat sejak empat tahun lalu sudah cukup bersabar. Akan tetapi, menjelang berakhirnya BRR pada April mendatang, rumah bantuan korban tsunami kenapa tak juga dibangun?” tanya Hendra.

Ketua GeRAK Aceh, Askhalani mengatakan apabila BRR NAD-Nias tidak bisa mencari solusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut, maka masyarakat akan meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh untuk melakukan gugatan class action.

“Mustahil klaim BRR bahwa mereka sudah membangun 120 ribu unit rumah, faktanya hingga kini masih ada korban tsunami belum mendapatkan haknya. BRR harus memberi penjelasan kepada masyarakat soal status rumah bantuan korban tsunami itu,” desak Askhalani dan kawan-kawan perwakilan masyarakat lainnya.

Mendapat pertanyaan bertubi-tubi, Juanda Djamal menjelaskan sejak dua hari lalu pihaknya sudah berupaya melakukan berbagai koordinasi dengan Pemerintah Aceh dan DPRA, untuk mencari jalan keluar atas penyelesaian soal rumah bantuan tersebut. Akan tetapi, BRR belum bisa membuat keputusan pasti dalam waktu dekat.

“Kami bukan pemangku kebijakan, sehingga tidak bisa mengambil kebijakan untuk merealisasikan rumah bantuan tersebut,” ujarnya seraya meminta masyarakat bersabar hingga pekan depan, karena aspirasi mereka akan disampaikan kepada Ketua Bapel BRR NAD-Nias.

Dialog tersebut berlangsung sangat alot dan pada akhirnya menemui jalan buntu. Solusi yang ditawarkan BRR dengan meminta waktu, ditolak para korban tsunami. Sementara, menjelang berakhirnya tugas BRR, lembaga ini tidak bisa memutuskan dan menyetujui permintaan para korban tsunami untuk membuat komitmen, baik secara lisan maupun tulisan.

Usai dialog, massa terus berteriak-teriak di luar halaman Kantor Pusat BRR, karena tidak mendapat jawaban memuaskan. Akhirnya, sekitar pukul 17.00 WIB massa membubarkan diri dan kembali ke Kantor AJMI secara tertib, dikawal polisi dari satuan lalu lintas.

Hendra Budian yang dihubungi Serambi mengatakan telah berupaya menyampaikan hasil dialog tersebut kepada para korban tsunami dan meminta mereka agar mengerti. Tapi, menurut Hendra Budian, mereka tak bisa menerima pernyataan BRR tersebut dengan berbagai alasannya.

“Saya berharap BRR segera menuntaskannya. Sebelum persoalan ini selesai, masyarakat bersikukuh tidak akan kembali ke daerah masing-

masing. Bahkan kami mendapat informasi para korban tsunami dari Subulussalam, Aceh Jaya, Pidie, dan Bireuen juga akan datang ke Banda Aceh menuntut hak yang sama sebagai korban tsunami. Dipastikan nantinya terjadi demo besar-besaran dari seluruh Aceh,” tukasnya.

Sebelumnya, masyarakat korban tsunami asal Aceh Barat berunjuk rasa ke Kantor Gubernur Aceh dan DPRA beberapa waktu lalu guna meminta dukungan atas tuntutan rekonstruksi rumah bantuan dan BSBT untuk korban tsunami. Bahkan Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria juga telah melayangkan surat dukungan tuntutan tersebut, agar BRR segera merealisasikannya dengan tindakan nyata, yakni membangun rumah bantuan untuk korban tsunami sebagaimana telah dijanjikan.
Di samping itu, dalam surat pernyataannya, Sayed Fuad Zakaria juga menyebutkan bahwa DPRA selalu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap realisasi pembangunan rumah korban tsunami, khususnya di Aceh Barat. (m)

Kurangi Malpraktek, GeRAK Usulkan Kontrak Layanan Medis

24 Januari 2009
BANDA ACEH - Seiring seringnya terjadi malpraktek dalam penanganan medis di Aceh, sudah saatnya dilalukan kontrak layanan medis. Hal itu bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan medis, sehingga keluhan masyarakat karena buruknya pelayanan dan kinerja petugas akan berkurang.
“Banyak warga yang kemudian merasa kecewa, apalagi dalam kondisi kritis yang butuh pelayanan cepat dan optimal. Selama ini pemahaman masyarakat masih kurang. Karena itu, kita mendorong dibentuknya kontrak layanan yang tersedia di rumah sakit dan puskesmas,” ujar Abdullah Abdul Muthaleb, Manajer Program Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, kepada Serambi, di sela-sela acara Training Community Organizer (CO) bagi warga Kota Banda Aceh untuk Peduli Sektor Pendidikan dan Kesehatan, Rabu (21/1), di Oasis Hotel.

Disebutkan, nantinya kontrak layanan tersebut harus dipampang di rumah sakit dan puskesmas agar masyarakat dapat mengetahui pelayanan apa saja yang tersedia di tempat tersebut, termasuk obat-obatan yang tersedia. Tujuannya, tambah Abdullah, bila ada yang tidak memperoleh pelayanan maskimal, mereka dapat mengajukan komplain karena sudah mengetahui hak-haknya.

“Ibaratnya daftar menu, sehingga masyarakat tidak akan menuntut lebih jika tidak dalam daftar menu itu tidak teredia,” katanya. Ia juga mencontohkan mekanisme kontrak layanan yang berhasil di Pulau Jawa yang efektif meningkatkan kinerja medis. Pihaknya sendiri akan melakukan penelitian terkait masalah pelayanan kesehatan tersebut di Kota Banda Aceh.

Pada kesempatan itu, Gerak juga melatih 30 orang tokoh gampong yang mewakili sembilan kecamatan di Kota Banda Aceh untuk menjadi Community Organizer (pengurus organisasi kampung). Keberadaan mereka ditujukan memperjuangkan pelayanan publik yang lebih baik lagi di tengah masyarakat.

Sementara dalam pelatihan itu diketahui bahwa penanganan penyakit menular dan Jamkesmas belum maksimal. Selain itu, biaya biaya pengobatan dan obat-obatan sangat tinggi dan rawat inap. Selain itu, dalam sektor pendidikan biaya pendidikan yang mahal, tidak berfungsinya komite sekolah, dan korupsi dana pendidikan.(dwi)

225 Ornop Kuras APBA Rp 45 M

Aceh Independen, 23 januari 2009

Sebanyak 225 organisasi nonpemerintah (Ornop) maupun yayasan bakal “menguras” dompet pemerintah Aceh. Jika tak ada aral melintang, disetujui dewan, dua ratusan lembaga itu bakal menerima kucuran dana Rp45 miliar bersumber dari APBA 2009.

“Proses pemberian bantuan tersebut erat kaitannya dengan intrik politik menjelang pemilu. Hampir sebagian besar penerima kucuran APBA ini ditengarai tidak mempunyai legalitas publik dan jarang dikenal masyarakat,” tuding Askhalani di Banda Aceh, Kamis (22/1).

Pjs Koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh itu menyampainya secara tertulis kepada Independen. Ia mengatakan, pemberian dana bantuan itu dialokasikan lewat pos Biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial Setdaprov Aceh.

“Angkanya mencapai Rp45 miliar. Padahal diketahui hingga saat ini tidak aturan keuangan mengatur soal mekanisme pemberian dana serta proses pertanggungjawaban atas dana yang diterima dari APBA,” tukas Askhalani menerangkan.

Adanya alokasi dana bagi 225 lembaga dan yayasan itu diketahui setelah menelaah dokumen pendapatan, usul dan saran panitia anggaran DPR Aceh terhadap nota penjelasan RAPBA 2009. Dokumen itu dipaparkan pada rapat pleno panitia anggaran DPR Aceh 15 Januari lalu.

Askhalani menilai proses pengalokasian dana bantuan kepada lembaga dan yayasan tersebut menunjukkan eksekutif maupun legislatif Pemerintah Aceh tidak sensitif mewujudkan efisiensi pengelolaan anggaran. “Bayangkan, kucurannya berkisar Rp50 juta hingga Rp1 miliar.”

Parahnya lagi, sebagian besar lembaga dan yayasan penerima dana APBA itu juga bakal menikmati kucuran rupiah dari APBK. Praktik ini menciptakan anggaran ganda. Jika ini terjadi, pemerintahan Aceh jelas-jelas ditipu.

Tak hanya itu, tindakan menyalurkan bantuan ke organisasi tersebut memperlihatkan bahwa ada kecenderungan pengelolaan anggaran publik mengelabui rakyat. Pengelolaannya pun untuk kepentingan pribadi dan golongan, terutama menjelang pemilu.

“Cukup beralasan. Hasil telaah terhadap lembaga dan yayasan di kabupaten kota penerima kucuran dana itu adalah tempat bernaung sebagian besar simpatisan partai-partai peserta pemilu menuju kursi parlemen 2009,” tandas Askhalani.

Oleh karena itu, GeRAK mendesak Gubernur Aceh menghapus dan tidak mengalokasikan anggaran tersebut. Selain itu, pemerintah Aceh harus mampu mendistribusikan uang rakyat yang begitu “wah” untuk kepentingan rakyat.

Tak hanya itu, tuntut Askhalani, pihak penerima --jika tidak dihapus-- harus menyusun mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban uang rakyat yang diterimanya. Sebab, jika belum ada mekanisme pengelolaan dana tersebut, dikhawatirkan uang bantuan itu disalahgunakan.

Karenanya, GeRAK Aceh mengingatkan pemerintah provinsi perlu segera menyusun peraturan gubernur tentang mekanisme dana hibah. Pergub ini merupakan turunan Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan Aceh.

Kecuali, itu, Gubernur Aceh juga harus mengevaluasi perangkat kerjanya yang merumuskan lembaga penerima bantuan APBA itu. “Kita khawatirkan pertanggungjawabannya. Jika ini juga tak jelas, sama saja membiarkan korupsi merajalela di ranah dana publik,” pungkas Askhalani.

Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Sosial Setdaprov Aceh Saifuddin Harun enggan berkomentar ketika dikonfirmasi Independen, tadi malam. “Saya lagi sakit. Nanti saja hari Selasa mendatang tanggapannya. Terima kasih,” ucap dia dari ujung gagang telepon genggamnya.

Sementara, anggota Komisi C DPR Aceh Teuku Surya Darma mengatakan, dana bantuan itu disediakan setiap tahunnya. Ironisnya, selama ini uang rakyat untuk membantu lembaga maupun yayasan hanya dinikmati segelintir organisasi tertentu saja.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan, lembaga atau yayasan yang menerima dana bantuan APBA di atas Rp500 juta wajib diaudit publik laporan penggunaan uangnya. Kalau di bawah Rp500 juta, harus melaporkan pengelolaan uang bantuan itu,” sebut T Surya Darma. [hai/carep-08/fauji yudha]