30 Januari 2009

GeRAK ’Bidik‘ Dugaan Korupsi BKM Seulanga

Serambi Indonesia, 31 Januari 2009
Dana Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang disalurkan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Seulanga, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh terindikasi dikorup sebesar Rp 73.950.000 dari total bantuan Rp 91.514.000. Kasus tersebut sudah dilaporkan ke Poltabes Banda Aceh.
Berdasarkan analisis laporan pertanggungjawaban BKM Seulanga sepanjang 2005-2008 serta investigasi GeRAK Aceh disebutkan, realisasi proyek berupa penyaluran dana bantuan sosial mencapai Rp 91.514.000 kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mitra Sosial Seulanga dan Berkat Sosial Seulanga.

Untuk KSM Mitra Sosial dialokasikan Rp 72.214.000. Rinciannya, untuk anak yatim Rp 30 juta, orang lanjut usia Rp 29,8 juta, serta pelatihan menjahit Rp 12.414.000.

Untuk KSM Berkat Sosial Seulanga dialokasikan Rp 19.300.000 dengan rincian untuk cacat Rp 10,8 juta dan pelatihan pembuatan kue tradisional Rp 8,5 juta. Menurut GeRAK, dari jumlah bantuan sosial Rp 91.514.000 tersebut, yang disalurkan hanya Rp 17.564.000. Sedangkan sisanya Rp 73.950.000 terindikasi adanya penyimpangan.

Penyimpangan tersebut didapatkan dari hasil perbandingan antara rekapitulasi anggaran yang ada dalam proposal dengan rencana penyaluran dalam daftar penerima bantuan dan realisasi di lapangan.

Untuk bantuan anak yatim dengan anggaran Rp 30 juta, di rekapitulasi dan anggaran disebutkan antara lain untuk pengadaan susu, pampers, baby jonshon, minyak kayu putih, termos air panas, botol susu, ayunan bambu, meja belajar, sepatu, tas, dan alat tulis masing-masing 19 unit. Baju koko/muslimah, kain sarung/mukena, sepatu, dan buku tulis sebanyak 74 unit.

Sedangkan realisasinya rata-rata hanya mendapatkan bantuan kain sarung dan uang saja. Di antaranya, 11 anak dengan rincian 3 orang mendapat Rp 200.000, 7 orang mendapat Rp 100.000, dan 1 orang Rp 130.000. Adapun 8 orang tidak mendapat bantuan apapun tapi namanya tercantum, serta 1 anak mendapat bantuan ganda karena namanya berada di nomor urut 64 dan 100.

Sementara untuk 40 orang cacat dalam rekapitulasi pembiayaan kegiatan disebutkan masing-masing mendapatkan paket susu seharga Rp 94.000, roti kaleng Rp 42.500, beras 15 kilogram seharga Rp 86.000, dan gula pasir Rp 37.500. Total anggaran yang seharusnya diterima per orang Rp 260.000. Namun, realisasinya cuma menerima beras 15 kilogram dan uang variasi Rp 30.000 hingga Rp 135.000.

Di antara 21 nama penerima juga tidak dikenal oleh kepala lingkungan dan masyarakat setempat. Bahkan salah satunya diduga tidak cacat. Adapun dua orang penerima bantuan juga tidak sesuai dengan proposal dan LPJ.

Adapun untuk orang jompo ditemukan 31 orang penerima bantuan hanya mendapatkan beras 15 kilogram dan uang berkisar Rp 90.000 hingga Rp 150.000. Padahal dalam pertanggungjawaban disebutkan 120 orang jompo mendapatkan paket berupa susu merek Anlene seharga Rp 79.000, roti kaleng Rp 42.500, gula 5 kilogram Rp 37.500, dan beras 15 kilogram seharga Rp 86.000 (total Rp 245.000). Ada pula 3 orang tercantum namanya tapi tidak mendapat bantuan dan 4 orang fiktif.

“Ada juga penerima yang sudah meninggal tujuh tahun lalu yaitu Alm Syamsuri B masih terdaftar sebagai penerima bantuan, nomor urut daftar penerima yang dihilangkan atau dilewatkan yaitu nomor 46, 94, 96, 109, dan 112, alamat yang dicatut tempat penitipan anak, serta alamat ada tapi penerima tidak terdaftar karena bangunan telah disewakan kepada BRR,” ungkap Yulindawati, staf Advokasi GeRAK Aceh. Selain itu juga adanya pemalsuan tandatangan UPS, peserta pelatihan kue tradisional, dan anggota KSM.

Menurut GeRAK, BKM Seulanga telah melanggar UU Nomor 34 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2007 Pasal 2 Ayat 1, Pasal 4, dan Pasal 15 tentang korupsi. Di samping itu, BKM Seulanga tidak melibatkan publik sebagaimana prosedur pelaksanaan program lewat partisipasi masyarakat dan petunjuk teknis (juknis) P2KP karena nama-nama pengurus adalah anggota keluarga dari koordinator BKM.

Berdasarkan penyelidikan GeRAK, pihak-pihak yang terindikasi kuat terlibat antara lain Rosmanidar (Koordinator BKM Seulanga), D Syarifuddin (Koordinator Pelaksana), Sri Wardani (Ketua KSM Mitra Sosial Seulanga), Midarwati (Bendahara KSM Mitra Sosial Seulanga), Agustina Rahmi (Ketua KSM Berkat Sosial Seulanga), Harmiati (Bendahara KSM Berkat Sosial Seulanga), Umar Latief (Unit Pengelola Sosial), Ibnu Sakdan Ibr (Lurah Sukaramai), Zahruddin Yusuf (Fasilitator Kelurahan), Mustafa (Penanggungjawab Operasional Kecamatan), dan Imam Baihaqi (Koordinator P2KP Banda Aceh).(dwi)

29 Januari 2009

Korupsi di BKM Bungong Seulanga, GeRAK Laporkan Ke Poltabes

Harian Aceh. 29 januari 2009

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) melaporkan manipulasi dana bantuan sosial P2KP sebesar Rp 73, 9 Juta yang dilakukan pengurus BKM Bungong Seulanga, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Banda Aceh, kepada Polisi, Selasa (28/1). Laporan yang dilengkapi sejumlah dataterkait indikasi korupsi tersebut, dilakukan Yulindawati, staf GeRAK Aceh bersama sejumlah warga Sukaramai di terima langsung oleh Kasat Reskrim Poltabes Banda Aceh, kompol Sudarmin SIK, sekitar pukul 12.00 WIB.

“Ini merupakan laporan Korupsi BKM Bungong Seulanga secara Resmi dari GeRAK, “ujar linda. Saat itu Sudarmin langsung meminta GeRAK Aceh untuk menggelar perkara pengaduan kaus Korupsi tersebut. Dari data yang disampaikan lembaga anti korupsi itu, sebesar Rp 73.950.000 dana bantuan sosial diduga telah dimanipulasi oleh pengurus BKM itu.

Pelimpahan kasus korupsi ini, kata Linda, merujuk pada data-data temuan GeRAK dilapangan yang dipelajaridengan pengajuan proposal BKM Bungong Seulanga terkait dana P2KP, dengan realisasi atau fakta dilapangan. “ Data itu dikumpulkan berdasarkan data jumlah di proposal dengan realisasi pemberian bantuan di lapangan, “ ujarnya. Meskipun pihak GeRAK tidak menyebutkan siapa-siapa yang diduga terlibat dalam kasus korupsi itu, namun ia mengatakan telah mengajukan sejumlah nama ke pihak Poltabes guna ditelusuri kebenarannya.

“ kami tidak bisa mengatkan siapa tersangkanya. Pihak Poltabes yang aka mengusut kasus pengaduan korupsi ini dan akan menentukan siapa-siapa saja yang diduga terlibat.” boy

28 Januari 2009

BRR Aceh-Nias Diadukan ke KPK

Suara Pembaruan Daily, 28 januari 2009
Bupati Aceh Barat Ramli MS menyatakan, menolak menerima aset dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias yang pernah diserahkan beberapa bulan lalu senilai Rp 45 miliar, karena kualitas dari aset yang pembangunannya didanai BRR itu, tidak jelas dan pembangunannya belum selesai. Bupati Aceh Barat, bahkan mengadukan BRR ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena dugaan korupsi dalam pembangunan Aceh pascatsunami.
Ramli MS yang sedang berada di Jakarta ketika dikonfirmasi SP melalui telepon selulernya, Senin (26/1) malam menegaskan, pengaduan ke KPK tersebut dilakukan Selasa (27/1). Pengaduan itu terkait dengan dugaan korupsi sejumlah proyek BRR di Aceh Barat yang selama ini tidak digubris aparat penegak hukum.
Dikatakan, sekitar 70 persen pembangun berbagai proyek yang didanai oleh BRR di Aceh Barat kualitasnya tidak bagus, demikian juga dengan korban tsunami hingga saat ini masih banyak yang tetap tinggal dibarak, karena rumah untuk mereka belum dibangun. Kalau sampai BRR bubar rumah korban Aceh Barat belum dibangun, pihaknya akan membangun sendiri dengan menggunakan dana APBD atau dana lain, karena pemerintah tidak mungkin membiarkan rakyat hidup menderita terus-menerus.
26 Kasus
Pejabat Koordinator Gerakan Anti Korupsi Aceh (Gerak-Aceh) Askalani yang dihubungi terpisah juga menguatkan pernyataan Bupati Aceh Barat. Askalani menyebutkan, berdasarkan catatan Gerak sepanjang tahun 2005-2008, ada sebanyak 26 kasus korupsi yang terjadi di BRR dengan kerugian negara ratusan miliar rupiah telah ditangani oleh aparat penegak hukum, namun dari jumlah karus tersebut hanya sebagian kecil yang jelas tersangkanya, sedangkan lainnya masih banyak yang belum terungkap pelakunya.
Sejumlah kasus karuspsi di BRR itu, telah dilaporkan Gerak kepada penegak hukum bahksan ada yang sampai ke KPK, tetapi proses selanjutnya hingga saat ini masih ditunggu, apakah dugaan kurupsi tersebut bisa diunkap. Demikian pula dengan rumah ganda yang diberikan kepada orang tidak berhak alias bukan korban tsunami saat ini yang sudah berhasil disita sebanyak 469 unit rumah, tetapi pelaku pembuat daftar ganda juga belum ada proses hukum, kasus rumah ganda terbanyak terjadi di Banda Aceh.
Terkait dengan itu, ratusan masyarakat korban tsunami asal Aceh Barat yang mendirikan tenda di Kantor Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), di Desa Ateuk Jawo sudah beberapa hari berada di Banda Aceh, guna menuntut BRR untuk membangun rumah untuk mereka, ada dari korban tsunami terserang sakit demam, batuk, dan flu. Meskipun kondisi korban asal Aceh Barat yang datang ke Banda Aceh untuk menuntut hak kondisinya memprihatinkan, tetap saja tuntutan mereka hingga saat ini belum ada kejelasan.
Sementara itu, Ketua DPR Aceh Said Fuad Zakaria kepada SP, Senin malam di Banda Aceh menegaskan, menjelang akhir tugas April 2009, BRR lebih transparan, terutama berkaitan dengan aset yang akan diserahkan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi/Pemerintah, dan untuk kabupaten/kota. Perlu didata dengan jujur dan tidak melakukan manipulasi, kalau bagus disampaikan bagus, jika rusak harus diperbaiki, kalau ada persoalan hukum harus dituntaskan jangan sampai ditutup-tutupi. [147]

Rp 45 M dana APBA Dipakai Partai

Waspada, 28 Januari 2009

Munculnya bantuan untuk organisasi non pemerintahan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2009, menimbulkan Polemik. Sebagian elemen menuding itu akal-akalan partai menjelang pemilu. Bantuan itupun diniali sarat politis dari kalangan partai.

Koalisi Aksi Penyelamat Uang Rakyat (KAPUR) menuding pengalokasisn dana kepada 255 lembaga di Aceh penuh nuansa politis. “ ini pertama kali terjadi sejak anggota DPRA sekarang terpilih. Ini tentu erat kaitannya dengan pemilu yang sudah didepan mata ,” ujar rafliannur, kepada waspada, Selasa (27/1), disela aksi di depan gedung dewan

Kapur berunjuk rasa memprotes pengalokasian anggaran Rp 45.750.000.000 kepada 255 lembaga atau yayasan dalam RAPBA 2009. “ pengalokasian dana ini, bentuk ketidakberpihakan DPRA kepada rakyat Aceh, sebagai pemilik sah anggaran,” kata dia.

Menurut Rafli, ditengah kualitas pendidikan Aceh yang terpuruk, pelayanan kesehatan amburadul, buruknya perekonomian rakyat, disaat itu pula DPRA menghamburkan uang rakyat untuk kepentingan yang tidak berpihak kepada rakyat. “ besaran dana itu seharusnya bisa dimanfatkan untuk pemenuhan sektor riil. Apalagi pasca konflik dan tsunami banyak warga yang belum mendapat rumah, orang jompo tidak mampu, anak-aank yang belum mengecap pendidikan, ujar Rafli menggugat.

Sebelumnya, Pjs. Koordinator Badan Pekerja gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani juga menuding, aksi DPR aceh tersebut sarat intrik politik. “ Sebagian besar penerima kucuran APBA tak punya legalitas publik dan jarang dikenal masyarakat,” katanya ditempat terpisah. Lebih detail dia menjelaskan, pemberian dana bantuan itu dialokasikan lewat pos Biro keistimewaan Aceh dan kesejahteraan Sosial Setdaprov Aceh. “ Padahal sampai hari ini, tak ada aturan keuangan mengatur soal mekanisme pemberian dana serta proses pertanggung jawaban atas dana yang diterima APBA, “ urai dia.

GeRAK, kata dia, mendesak Gubernur Aceh menghapus dan tidak mengalokasikan anggaran tersebut. Sebab itu pihaknya mengingatkan pemerintah provinsi menyusun peraturan gubernur tentang mekanisme dana Hibah. “ Pergub ini turunan Qanun No.1 tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan Aceh, “ Katanya.

Tudingan lebih keras diteriakkan oleh Hendra Budian. Menurut ketua Badan Pelaksana Aceh Justice Monitoring Institute (AJMI) itu, lembaga sipil yang menerima batuan dari APBA 2009 jelas-jelas bentukan partai politik untuk mengambil dana dari APBA. “Lembaga itu dibentuk sebagai media kampanye meeka”. Kata dia, dana yang dianggarkan untk yayasan atau lembaga sipil tersebut akan dipakai untuk partai politik saat merek berkampanyae. “ ini penggelapan dana besar-besaran yang dilakukan anggota DPRA. Ataudalam bahasa laindapat disebut sebagai Money Loundring,” ujarnya. (b05)

23 Januari 2009

LSM di Aceh Kuras Uang Rakyat

The Globe Journal, 24 Januari 2009

Banda Aceh – Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2009 tidak pantas diberikan untuk yayasan atau lembaga sipil lainnya karena masyarakat lebih membutuhkan dana tersebut daripada segelintir orang yang bekerja di yayasan tersebut. “Saat ini ribuan masyarakat Aceh masih hidup dalam kemiskinan dan membutuhkan bantuan usaha, tapi pemerintah Aceh dan DPRA malah mengalokasikan dana APBA Rp 45 miliar untuk yayasan dan lembaga sipil yang tidak berpengaruh langsung terhadap pembangunan ekonomi rakyat,” ungkap mantan Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Aceh, Puspa Dewi yang kini menjabat sebagai pengurus SP Pusat.

Menurut Dewi, sangat mengejutkan dan sebuah fenomena yang luar biasa, ketika semakin gencarnya kritikan dan hujatan kepada pemerintah, pemerintah mulai menggandeng LSM/Yayasan dengan memberikan dana APBA kepada yayasan dan LSM tersebut. ”Ada beberapa pertanyaan ketika melihat sederetan nama-nama yayasan dan lembaga penerima bantuan tersebut. apa kriteria lembaga yang menerima dana tersebut, kenapa begitu besar dana yang dialokasikan untuk lembaga sipil, padahal masyarakat sampai hari ini masih belum terpenuhi hak-haknya, sebut saja, saat ini masyarakat Aceh Barat sedang demo menuntut pemenuhan hak mereka yang sudah lebih empat tahun belum terpenuhi, seharusnya dana APBA yang diperuntukan untuk rakyat..bukan untuk segelintir orang,” ungkap Dewi kecewa.

Dan anehnya, sebut Dewi lembaga sipil yang seharusnya mengawasi kerja pemerintah, namun ikut-ikutan menikmati dana yang sebenarnya diperuntukkan untu rakyat miskin yang kehidupan mereka masih cukup memprihatinkan. “Seharusnya LSM, Yayasan atau lembaga sipil mencari dana dari luar Aceh dan dibawa ke Aceh agar bisa membantu masyarakat, bukan malah menguras uang rakyat,” papar Dewi.

Sebelumnya diberitakan, bantuan dana untuk lembaga dan yayasan di seluruh kabupaten/kota di Aceh yang bersumber dari APBA tahun 2009 yang dialokasikan lewat pos Biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan mencapai angka Rp 45 miliar.

Bantuan itu hingga saat ini tidak aturan keuangan yang mengatur soal mekanisme pemberian dana serta proses pertanggung jawaban atas dana yang diterima dari APBA oleh lembaga sipil dio Aceh baik LSM maupun Yayasan.

Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (22/1) menyebutkan, proses pemberian bantuan untuk yayasan dan lembaga sipil erat kaitanya dengan intrik politik menjelang pemilu. “Hampir sebagian besar yayasan dan lembaga yang mendapat kucuran dana ditengerai “dicurigai” merupakan lembaga yang tidak mempunyai legalitas publik dan jarang dikenal masyarakat. meskipun ada beberapa lembaga yang populis ditelinga kita," ujar Askhalani.

Menurut Askhalani, dari hasil telaah terhadap data dokumen Pendapatan, Usul dan Saran Panitia AnggaranDPRA terhadap Nota Penjelasan RAPBA 2009 seperti yang disampaikan pada rapat pleno panitia anggaran DPRA tanggal 15 Januari 2009, ditemukan beberapa mata anggaran yang dianggarkan untuk lembaga dan yayasan berkisar dari Rp.50 juta hingga mencapai 1 M, dari jumlah tersebut diketahui bahwa sekitar 225 lembaga dan yayasan yang mendapat kucuran dana dari alokasi APBA tahun 2009.

“Proses pengalokasian dana bantuan untuk lembaga dan yayasan menunjukan bahwa Pemerintah Aceh dan legislatif tidak sensitif dalam mewujudkan efesiensi dalam pengelolaan anggaran. Bahkan akibat tindakan ini menunjukan pengelolaan anggaran publik mengelabui rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan terutama menjelang pemilu.[003]

GeRAK Aceh : BRR Gagal Bangun Aceh Kembali

The Globe Journal, 23 Januari 2009

Banda Aceh – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dinilai telah gagal membangun kembali Aceh setelah dihantam tsunami 26 Desember 2004 lalu. Pasalnya meskipun lembaga yang dibentuk melalui Perpres telah bekerja hampir empat tahun, namun masih cukup banyak korban tsunami yang belum mendapatkan rumah. “Meskipun BRR Aceh-Nias telah bekerja empat tahun, namun masih cukup banyak korban tsunami yang belum mendapatkan rumah, ini merupakan bukti kalau BRR Aceh-Nias gagal membangun kembali Aceh setelah dihantam tsunami,” sebut Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal disela aksi demonstrasi korban tsunami ke Kantor Pusat BRR Aceh-Nias, Jum’at (23/1).

Askhalani mengatakan, dari sekian puluh ribu rumah yang dibangun BRR untuk korban tsunami sebagian juga tidak layak huni karena dibangun asal jadi. “Belum lagi hingga saat ini BRR tidak punya data yang pasti terkait jumlah rumah yang telah mereka bangun,” ungkap Askhalani.

Askhalani mengungkapkan, memang keluar dikampanyekan bahwa program rehablitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias di Aceh telah berhasil dan berjalan dengan baik, tapi faktanya dilapangan kegiatan BRR khususnya pembangunan rumah untuk korban tsunami cukup banyak masalah yang mulai muncul semenjak tahun 2005 hingga akhir tugas BRR.

Menurut Askhalani, meskipun staf BRR digaji tinggi namun ternyata mereka tidak bisa bekerja maksimal sehingga berbagai permasalahan muncul menjelang berakhirnya tugas mereka di Aceh. “Lihat saja meskipun staf BRR dibayar dengan gaji tinggi, namun tidak ada daerah yang tidak bermasalah,” imbuh alumni IAIN Ar-Raniry tersebut.

Askhalani menambahkan, permasalahan yang baru muncul di Aceh Barat, Banda Aceh dan Aceh Besar, namun bukan berarti didaerah lain tidak bermasalah, tunggu saja masyarakat daerah lain juga datang ke Banda Aceh menggugat BRR.[003]

Tuntut Rumah Bantuan, Korban Tsunami Unjuk Rasa Lagi ke BRR

Serambi Indonesia, 24 Januari 2009

BANDA ACEH - Dua ratusan korban tsunami yang tergabung dalam Gerakan Pejuang Rumah Tsunami (GPRS) Aceh Barat, Aceh Besar, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta aktivis mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) berunjuk rasa di Kantor Pusat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias, Luengbata, Banda Aceh, Jumat (23/1).
Mereka menuntut realisasi pembangunan rumah bantuan kepada korban gempa dan tsunami yang belum mendapatkannya serta bantuan sosial bertempat tinggal (BSBT) sebanyak 1.569 unit yang pernah dijanjikan BRR pascatsunami.

Pantauan Serambi, sekitar pukul 14.00 WIB kemarin massa bergerak ke Kantor BRR NAD-Nias menggunakan dua truk colt diesel, satu pikap, dan puluhan kendaraan roda dua. Dua ratusan pengunjuk rasa tersebut sejak lima hari lalu datang ke Banda Aceh dan mendirikan tenda di halaman Kantor Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), di Kampung Ateuk Jawo.

Setiba di depan kantor BRR, massa turun dari kendaraan dan langsung memenuhi badan jalan sambil mengusung poster maupun spanduk. Namun, massa tidak diperkenankan masuk ke halaman kantor BRR, karena sejumlah polisi langsung memblokir pintu masuk dengan cara menutup dan merantai pintu pagar, lalu digembok.

Pengunjuk rasa yang beraksi selama lebih dari empat jam itu, mengarak sejumlah poster dan spanduk bertuliskan “BRR harus bangun rumah rakyat korban tsunami di Aceh Barat, Kuntoro harus bertanggung jawab terhadap rehab dan rekon di Aceh sampai tuntas.” Selain itu massa juga meneriakkan yel-yel, “Kuntoro jangan coba-

coba angkat kaki dari Aceh sebelum hak masyarakat korban tsunami diberikan hak-haknya.”

Setelah setengah jam lebih berorasi, suasana kian memanas. Pasalnya, tak satu pun pejabat teras BRR menjumpai pengunjuk rasa. Massa akhirnya berupaya menerobos masuk ke dalam kantor. Massa terlibat dorong-mendorong pintu pagar dengan polisi. Bahkan, mereka mendobraknya hingga puluhan kali. Namun, upaya tersebut gagal, karena para polisi menahan pintu tersebut.

Aksi demo masyarakat korban tsunami di depan Kantor Pusat BRR itu sempat memacetkan arus lalu lintas di jalan menuju arah Cot Masjid, Luengbata. Akibatnya, puluhan pengendara sepeda motor dan kendaraan roda empat yang melintasi jalan tersebut, terpaksa berbalik arah mencari jalan alternatif.

Tujuan para korban tsunami mendatangi Kantor BRR adalah untuk menjumpai Kepala Badan Pelaksana (Bapel) BRR, Dr Kuntoro Mangkusubroto, agar segera menyelesaikan rekonstruksi rumah korban tsunami dan BSBT sebelas kecamatan di Aceh Barat dan Aceh Besar.Namun, saat aksi unjuk rasa itu berlangsung, Kuntoro tak berada di tempat.

Rumah bantuan BRR di sebelas kecamatan itu meliputi Johan Pahlawan 1.191 unit, Meureubo 210, Kaway XVI 5, Pante Ceureumen 8, Samatiga 46, Bubon 2, Sungai Mas 9, Woyla Barat 22, Woyla Timur 8, Woyla 37, dan Arongan Balek 31 unit. Total keseluruhan rumah bantuan yang belum dibangun 1.569 unit.

Data tersebut merupakan daftar nama beneficiaries bantuan perumahan dan permukiman sorban gempa dan tsunami Aceh Barat yang sudah diverifikasi BRR.

Dialog buntu

Setelah hampir satu jam massa berdemo dan mendobrak pintu pagar, akhirnya Juru Bicara (Jubir) BRR NAD-Nias, Juanda Djamal menerima para korban tsunami tersebut. Pihak BRR dan perwakilan masyarakat korban tsunami Aceh Barat, Aceh Besar, LSM, dan aktivis mahasiswa melakukan dialog bersama di dalam ruangan rapat BRR.

Ketua Badan Pelaksana AJMI, Hendra Budian, Penanggung Jawab GPRS, Edy Chandra, Ketua GeRAK Aceh, Askhalani, perwakilan masyarakat Aceh Besar, dan koordinator lapangan Chaidir, yang mendampingi masyarakat korban tsunami menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada Jubir BRR dan staf Perumahan dan Permukiman BRR NAD-Nias, Sarma.

“Massa meminta kejelasan dan kepastian dari BRR mengenai rekonstruksi rumah bantuan dan BSBT di Aceh Barat dan Aceh Besar. Masyarakat sejak empat tahun lalu sudah cukup bersabar. Akan tetapi, menjelang berakhirnya BRR pada April mendatang, rumah bantuan korban tsunami kenapa tak juga dibangun?” tanya Hendra.

Ketua GeRAK Aceh, Askhalani mengatakan apabila BRR NAD-Nias tidak bisa mencari solusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut, maka masyarakat akan meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh untuk melakukan gugatan class action.

“Mustahil klaim BRR bahwa mereka sudah membangun 120 ribu unit rumah, faktanya hingga kini masih ada korban tsunami belum mendapatkan haknya. BRR harus memberi penjelasan kepada masyarakat soal status rumah bantuan korban tsunami itu,” desak Askhalani dan kawan-kawan perwakilan masyarakat lainnya.

Mendapat pertanyaan bertubi-tubi, Juanda Djamal menjelaskan sejak dua hari lalu pihaknya sudah berupaya melakukan berbagai koordinasi dengan Pemerintah Aceh dan DPRA, untuk mencari jalan keluar atas penyelesaian soal rumah bantuan tersebut. Akan tetapi, BRR belum bisa membuat keputusan pasti dalam waktu dekat.

“Kami bukan pemangku kebijakan, sehingga tidak bisa mengambil kebijakan untuk merealisasikan rumah bantuan tersebut,” ujarnya seraya meminta masyarakat bersabar hingga pekan depan, karena aspirasi mereka akan disampaikan kepada Ketua Bapel BRR NAD-Nias.

Dialog tersebut berlangsung sangat alot dan pada akhirnya menemui jalan buntu. Solusi yang ditawarkan BRR dengan meminta waktu, ditolak para korban tsunami. Sementara, menjelang berakhirnya tugas BRR, lembaga ini tidak bisa memutuskan dan menyetujui permintaan para korban tsunami untuk membuat komitmen, baik secara lisan maupun tulisan.

Usai dialog, massa terus berteriak-teriak di luar halaman Kantor Pusat BRR, karena tidak mendapat jawaban memuaskan. Akhirnya, sekitar pukul 17.00 WIB massa membubarkan diri dan kembali ke Kantor AJMI secara tertib, dikawal polisi dari satuan lalu lintas.

Hendra Budian yang dihubungi Serambi mengatakan telah berupaya menyampaikan hasil dialog tersebut kepada para korban tsunami dan meminta mereka agar mengerti. Tapi, menurut Hendra Budian, mereka tak bisa menerima pernyataan BRR tersebut dengan berbagai alasannya.

“Saya berharap BRR segera menuntaskannya. Sebelum persoalan ini selesai, masyarakat bersikukuh tidak akan kembali ke daerah masing-

masing. Bahkan kami mendapat informasi para korban tsunami dari Subulussalam, Aceh Jaya, Pidie, dan Bireuen juga akan datang ke Banda Aceh menuntut hak yang sama sebagai korban tsunami. Dipastikan nantinya terjadi demo besar-besaran dari seluruh Aceh,” tukasnya.

Sebelumnya, masyarakat korban tsunami asal Aceh Barat berunjuk rasa ke Kantor Gubernur Aceh dan DPRA beberapa waktu lalu guna meminta dukungan atas tuntutan rekonstruksi rumah bantuan dan BSBT untuk korban tsunami. Bahkan Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria juga telah melayangkan surat dukungan tuntutan tersebut, agar BRR segera merealisasikannya dengan tindakan nyata, yakni membangun rumah bantuan untuk korban tsunami sebagaimana telah dijanjikan.
Di samping itu, dalam surat pernyataannya, Sayed Fuad Zakaria juga menyebutkan bahwa DPRA selalu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap realisasi pembangunan rumah korban tsunami, khususnya di Aceh Barat. (m)

Kurangi Malpraktek, GeRAK Usulkan Kontrak Layanan Medis

24 Januari 2009
BANDA ACEH - Seiring seringnya terjadi malpraktek dalam penanganan medis di Aceh, sudah saatnya dilalukan kontrak layanan medis. Hal itu bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan medis, sehingga keluhan masyarakat karena buruknya pelayanan dan kinerja petugas akan berkurang.
“Banyak warga yang kemudian merasa kecewa, apalagi dalam kondisi kritis yang butuh pelayanan cepat dan optimal. Selama ini pemahaman masyarakat masih kurang. Karena itu, kita mendorong dibentuknya kontrak layanan yang tersedia di rumah sakit dan puskesmas,” ujar Abdullah Abdul Muthaleb, Manajer Program Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, kepada Serambi, di sela-sela acara Training Community Organizer (CO) bagi warga Kota Banda Aceh untuk Peduli Sektor Pendidikan dan Kesehatan, Rabu (21/1), di Oasis Hotel.

Disebutkan, nantinya kontrak layanan tersebut harus dipampang di rumah sakit dan puskesmas agar masyarakat dapat mengetahui pelayanan apa saja yang tersedia di tempat tersebut, termasuk obat-obatan yang tersedia. Tujuannya, tambah Abdullah, bila ada yang tidak memperoleh pelayanan maskimal, mereka dapat mengajukan komplain karena sudah mengetahui hak-haknya.

“Ibaratnya daftar menu, sehingga masyarakat tidak akan menuntut lebih jika tidak dalam daftar menu itu tidak teredia,” katanya. Ia juga mencontohkan mekanisme kontrak layanan yang berhasil di Pulau Jawa yang efektif meningkatkan kinerja medis. Pihaknya sendiri akan melakukan penelitian terkait masalah pelayanan kesehatan tersebut di Kota Banda Aceh.

Pada kesempatan itu, Gerak juga melatih 30 orang tokoh gampong yang mewakili sembilan kecamatan di Kota Banda Aceh untuk menjadi Community Organizer (pengurus organisasi kampung). Keberadaan mereka ditujukan memperjuangkan pelayanan publik yang lebih baik lagi di tengah masyarakat.

Sementara dalam pelatihan itu diketahui bahwa penanganan penyakit menular dan Jamkesmas belum maksimal. Selain itu, biaya biaya pengobatan dan obat-obatan sangat tinggi dan rawat inap. Selain itu, dalam sektor pendidikan biaya pendidikan yang mahal, tidak berfungsinya komite sekolah, dan korupsi dana pendidikan.(dwi)

225 Ornop Kuras APBA Rp 45 M

Aceh Independen, 23 januari 2009

Sebanyak 225 organisasi nonpemerintah (Ornop) maupun yayasan bakal “menguras” dompet pemerintah Aceh. Jika tak ada aral melintang, disetujui dewan, dua ratusan lembaga itu bakal menerima kucuran dana Rp45 miliar bersumber dari APBA 2009.

“Proses pemberian bantuan tersebut erat kaitannya dengan intrik politik menjelang pemilu. Hampir sebagian besar penerima kucuran APBA ini ditengarai tidak mempunyai legalitas publik dan jarang dikenal masyarakat,” tuding Askhalani di Banda Aceh, Kamis (22/1).

Pjs Koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh itu menyampainya secara tertulis kepada Independen. Ia mengatakan, pemberian dana bantuan itu dialokasikan lewat pos Biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial Setdaprov Aceh.

“Angkanya mencapai Rp45 miliar. Padahal diketahui hingga saat ini tidak aturan keuangan mengatur soal mekanisme pemberian dana serta proses pertanggungjawaban atas dana yang diterima dari APBA,” tukas Askhalani menerangkan.

Adanya alokasi dana bagi 225 lembaga dan yayasan itu diketahui setelah menelaah dokumen pendapatan, usul dan saran panitia anggaran DPR Aceh terhadap nota penjelasan RAPBA 2009. Dokumen itu dipaparkan pada rapat pleno panitia anggaran DPR Aceh 15 Januari lalu.

Askhalani menilai proses pengalokasian dana bantuan kepada lembaga dan yayasan tersebut menunjukkan eksekutif maupun legislatif Pemerintah Aceh tidak sensitif mewujudkan efisiensi pengelolaan anggaran. “Bayangkan, kucurannya berkisar Rp50 juta hingga Rp1 miliar.”

Parahnya lagi, sebagian besar lembaga dan yayasan penerima dana APBA itu juga bakal menikmati kucuran rupiah dari APBK. Praktik ini menciptakan anggaran ganda. Jika ini terjadi, pemerintahan Aceh jelas-jelas ditipu.

Tak hanya itu, tindakan menyalurkan bantuan ke organisasi tersebut memperlihatkan bahwa ada kecenderungan pengelolaan anggaran publik mengelabui rakyat. Pengelolaannya pun untuk kepentingan pribadi dan golongan, terutama menjelang pemilu.

“Cukup beralasan. Hasil telaah terhadap lembaga dan yayasan di kabupaten kota penerima kucuran dana itu adalah tempat bernaung sebagian besar simpatisan partai-partai peserta pemilu menuju kursi parlemen 2009,” tandas Askhalani.

Oleh karena itu, GeRAK mendesak Gubernur Aceh menghapus dan tidak mengalokasikan anggaran tersebut. Selain itu, pemerintah Aceh harus mampu mendistribusikan uang rakyat yang begitu “wah” untuk kepentingan rakyat.

Tak hanya itu, tuntut Askhalani, pihak penerima --jika tidak dihapus-- harus menyusun mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban uang rakyat yang diterimanya. Sebab, jika belum ada mekanisme pengelolaan dana tersebut, dikhawatirkan uang bantuan itu disalahgunakan.

Karenanya, GeRAK Aceh mengingatkan pemerintah provinsi perlu segera menyusun peraturan gubernur tentang mekanisme dana hibah. Pergub ini merupakan turunan Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan Aceh.

Kecuali, itu, Gubernur Aceh juga harus mengevaluasi perangkat kerjanya yang merumuskan lembaga penerima bantuan APBA itu. “Kita khawatirkan pertanggungjawabannya. Jika ini juga tak jelas, sama saja membiarkan korupsi merajalela di ranah dana publik,” pungkas Askhalani.

Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Sosial Setdaprov Aceh Saifuddin Harun enggan berkomentar ketika dikonfirmasi Independen, tadi malam. “Saya lagi sakit. Nanti saja hari Selasa mendatang tanggapannya. Terima kasih,” ucap dia dari ujung gagang telepon genggamnya.

Sementara, anggota Komisi C DPR Aceh Teuku Surya Darma mengatakan, dana bantuan itu disediakan setiap tahunnya. Ironisnya, selama ini uang rakyat untuk membantu lembaga maupun yayasan hanya dinikmati segelintir organisasi tertentu saja.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan, lembaga atau yayasan yang menerima dana bantuan APBA di atas Rp500 juta wajib diaudit publik laporan penggunaan uangnya. Kalau di bawah Rp500 juta, harus melaporkan pengelolaan uang bantuan itu,” sebut T Surya Darma. [hai/carep-08/fauji yudha]

Pemerintah Aceh Diminta Koreksi RAPBA 2009

Harian Aceh, 22 Januari 2009

Pemerintah Aceh diminta mengevaluasi kembali mata anggaranyang diajukan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA). Pasalnya, alokasi dana aspiratif Rp. 5 Miliar untuk per-dewan ditengarai turut bermain eksekutif.
“ Dari informasi beberapa anggaota DPRA, setiap anggota legislatif (Aleg) memiliki dana aspiratif sebesar Rp. 5 Miliar yang dialokasikan melalui program di SKPA,” kata Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, Selasa (20/1).
Menurut Askhalani, Pemerintah Aceh harus menyeleksi mata anggaranyang sudah diajukan SKPA pada RAPBA 2009, sehingga program yang telah dicanangkan sesuai dengan visi dan misi pada saat Irwandi-Nazar dilantik.
“Meskipun dana aspiratif tersebut tidak dialokasikan khusus, namun setiap Aleg yang memanfaatkan dana itu dalam mengalokasikan pada program menjadi beruntung dan sebagai kampanye gratis untuk Pemilu 2009 mendatang.” Ujarnya.
Selama ini lanjut Askhalani, setiap dewan memanfaatkan dana sebesar itu dipakai untuk politik anggaran. “Pembahasan anggaran di tingkat DPRA lebih besar kepentingan unsur politis daripada kepentingan masyarakat, sehingga kredibilitas anggota dewan dipertanyakan dan mereka menjadi politisi busuk,”ungkapnya
Harapnya, seharusnya SKPA yang terbukti terlibat dalam politik anggaran diberhentikan dan anggaran yang telah dialokasikan di dalam RAPBA 2009 tersebut dihapus.
Sementara itu, Anggota Fraksi Daulat Ummat, dr. Nasrul Musadir Alsa, mengatakan anggota DPRA berjanji tidak akan mencampuri penyaluran dan aspirasi yang berasal dari APBA, meskipun setiap anggota DPRA berhak mengusulkan dana aspirasi sebesar Rp. 5 miliar yang disalurkan secara sektoral dan dibuat berdasarkan masukan-masukan yang diperoleh DPRA ketika melakukan kunjungan lapangan.
“Dana aspirasi itu bukan dikelola anggota dewan dan langsung dicairkan ke rekening pelaksana kegiatan, jadi tidak ada campur tangan kami,”katanya usai mengikuti rapat panitia musyawarah DPRA.
Pada tahun 2008, sebutnya, dana aspirasi masih sebesar Rp. 2 miliar per-anggota dewan, namun untuk tahun 2009 dialokasikan dana aspirasi sebesar Rp. 5 miliar dan angka itu kesepakatan bersama serta tidak ada landasan hukum.
Menurutnya, dana aspirasi itu telah dilakukan selama 2 tahun terakhir, guna mengantisipasi masih adanya program-program masyarakat yang tercecer atau tidak dimasukkan dalam anggaran. “Kami yang turun ke lapangan mengetahui apa yang dibutuhkan kemudian dicocokkan dalam anggaran,” tandas Nasrul.

12 Januari 2009

Rancangan Anggaran Rp 2,5 M ke Kadin Diprotes

Harin Aceh, 13 Januari 2009

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan mahasiswa memprotes anggaran Rp 2,5 Miliar yang berasal dari Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) di perunutkn untuk Kamar Dagang Industri (Kadin) Aceh. Mereka yang menilai dana tersebut tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat meminta DPRA menghapus anggaran tersebut, Senin ( 12 Januari 2009)

Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengatakan Kadin adalah Lembaga yang tidak langsung berada di bawah Pemerintahan Aceh, sehingga Pemerintah tidak harus mendanai Lembaga tersebut. “ Kalau Lembaga tersebut tidak berada langsung di bawah Pemerintah Aceh maka bagaimana proses laporan dan transparansinya?. Hal ini menjadi kekhawatiran publik,” tuturnya.

Aktivis anti korupsi itu menambahakan, jika dana tersebut tidak di pangkas maka akan menambah beban rakyat dalam penggunaan APBA. Masih banyak keperluan lainnya yang menjadi fokus pemerintah Aceh, seperti pembangunan perekonomian rakyat aceh yang masih morat-marit.

“Lembaga Kadin kan sudah Mapan, tidak seharusnya Lembagapara pengusaha kaya itu dibantu oleh pemerintah. Mereka sudah bisa mendanai Lembaga itu dengan melakukan usaha-usaha besar tipa tahunnya. Bahkan pengusaha Kadin yang seharusnya membangun perekonomian masyarakat”. tandas Askhalani.

Askhalani juga berharap, DPRA lebih jeli lagi dalam menganggarkan dana rakyat tersebut. Karena dana itu menyangkut kebutuhan 4,2 juta rakyat Aceh. “ Jika dana tersebut salah diperuntukkan, maka jangan berharap ada perbaikan perekonomian rakyat, “ tuturnya serius.

Dikesempatan yang sama presiden mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Hendra Koesmara juaga mngatakan hal yang sama. Dana Rp 2,5 miliar adalah jumlah yang besar untuk rakya Aceh. Meskipun dana itu tidak seberapa jumlahnya bagi pengusaha di Kadin Aceh.

“ Mahasiswa akan selalu memantau apabila ada dana-dana yang dianggarakan tidak sesuai dengankeperluan rakyat saat ini. Jika dengan protes di Media tidak digrubis, maka kita akan langsung turun ke DPRA, “ ujarnya.

Sementara itu, ketua panitia perumus anggaran DPRA, Marthen Habib yang dihubungi Harian Aceh melalui SMS tidak memberikan tanggapannya. (kar)

08 Januari 2009

Daya Serap APBA 2008 Minim akibat kesalahan Sekda Aceh

Harian Aceh, 9 januari 2009

Ali Amin, Pakar Ekonomi Universitas Syiah Kuala, mengatakan Daya serap Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun Anggaran 2008 minim diakibatkan kinerja sekda Aceh Husni Bahri TOB lemah dan kurang koordinasi dengan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA).

“Seharusnya Sekda Aceh memahami setiap program di SKPA, sehingga RAPBA 2009 mendatang tidak terulang lagi seperti APBA 2008, “ Katanya saat diskusi RAPBA 2009 yang diadakan GeRAK Aceh dan ICCO, kemarin, di Banda Aceh. Menurut dia seharusnya Sekda Aceh tidak hanya tukang stempel namun harus lebih mengetahui dibandingkan Gubernur Irwandi pada setiap permaslahan di SKPA. “sesuai Undang-Undang , permasalahan teknis SKPA diketahui oleh Sekda Aceh, namu kenyataannya malah Sekda tidak berkoordinasi baik dengan SKPA, “paparnya.

Selama ini setiap ada permasalahan dalam SKPA, lanjutnya, Sekda Aceh lebih banyak memarahi dibandingkan membina dan memberi masukan ke arah yang lebih baik. “ Kalau ada pemberitaan di Media masa tentang keburukan pada SKPA, Sekda Aceh malah tidak berusaha menutupi dan merahasiakan, “ lanjutnya.

Kata dia, seorang Sekda tidak perlu ada titel akademis yang banyak, karena permasalahan di SKPA hanya menyangkut persoalan teknis. Hal senada juga diungkapkan pakar Ekonomi Aceh Nazamuddin. Menurutnya yang perlu diubah ketika daya serap APBA 2008 lemah, yaknimengubah orientasi dan cara mengelola keuangan daerah. Sebagian kewenangan Provinsi dalam inplementasi keuangan di limpahkan ke Pemda kabupaten/kota, seperti pembangunan Jalan lintas Kabupaten, Pengelolaan derah Aliran sungai (DAS), program lingkungan serta kelautan.

“Seperti pengadaan Mobiler, jangan dikerjakn di Provinsi tapi disetrahkan ke Pemda setempat, dengan tepat melakukan monitoring dan akuntanbilitas. Untuk itu perlu direvisi Qanun nomor 2 Tahun 2008, dalam hal dana Otonomi Khusus nanti harus dikelola oleh Kabupaten/Kota dan mengacu pada Qanun nomor 1 tahun 2008, sehingga setiap aturan main di situ diketahui dan doterapkan, “ tandasnya.(ril)

Aktivis Gerak Diperiksa Polisi

Serambi Indonesia, 7 Januari 2009

Seorang aktivis LSM anti korupsi Gerak Aceh, Yulindawati (32), Selasa (6/1) diperiksa di Polsek Baiturrahman. Wanita tersebut diperiksa sebagi saksi terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Rosmanidar, Koordinator BKM Sukaramai.

Kanit reskrim Polsek Baiturrahman yang ditanyai wartawan menolak memberi keterangan. Namun, diakui adanya pemeriksaan terhadap Yulidawati diadukan dalam kasus pencemaran nama baik.
Kasus tersebut muncuat, setelah aktifitas Yulindawati yang melakukan pendampingan kepada masyarakat di Kelurahan Sukaramai menyangkut dengan dugaan penyimpangan dana di BKM Sukaramai. Dalam pendampingan itu ia juga mengajak wartawan meliput tentang adanya dugaan penyimpangan dimaksud sebagai bagian dari advokasi gerakan. Selain itu, Yulindawati yang akrap dipanggil Linda itu juga melansir berita penyelewengan itu di media masa.
Merasa nama baik telah dicemarkan, akhirnya Rosmanidar melaporkan kasus itu ke Polsek Baiturrahman, Banda Aceh. Menurut Linda, seharusnya jika ada tak tepat dalam pemberitaan di media masa, maka ditempuh jalan dengan memberi hak jawab. “Tidak ada masalah dengan diakukan saya ke polisi, kami punya data kuat kok dan nanti akan kita beberkan juga,” kata Linda menjawab Serambi seusai diperiksa di Mapolsek Baiturrahman kemarin.
Sementara Husniati SH dari LBH Banda Aceh, kuasa hukum Linda menjelaskan, status Linda sampai Selasa kemarin masih diperiksa sebagai saksi. Katanya, kliennya itu punya bukti dan dukungan masyarakat. Bahkan, masyarakat saat ini telah mengumpulkan beberapa bukti baru menyangkut dengan dugaan penyelewengan di BKM Sukaramai.
Sementara Askhalani, Pjs Koordinator Gerak Aceh kepada wartawan mengatakan, kasus penyelewengan dana yang terjadi di BKM tersebut bukan delik aduan, dan polisi dapat mengusut langsung jika telah mengetahuinya.
“Seharusnya aparat memprioritaskan mengusut kasus korupsinya, bukan soal pencemaran nama baik. Ini bisa menjadi pengalihan isu. Kita harapkan polisi profesional dan memahami Undang-undang,” tegasnya.
Adapun duga penyelewengan dana di KSM tersebut akan tetap diselidiki Gerak.(dwi)