17 Februari 2009

Tsunami Rebuilding Dogged By Corruption, Aceh Watchdog Reveals

Jakarta Globe, February 13, 2009

The earthquake and devastating tsunami that struck Aceh Province in 2004 has been followed by a flood of corruption involving the Aceh-Nias Rehabilitation and Reconstruction Agency, or BRR, in collusion with parasitic contractors, a corruption watchdog alleged on Friday.
At least Rp 100 billion ($8.5 million) provided by the government to rebuild the province has been consumed by corruption, resulting in poor quality reconstructions, said Askhalani, the coordinator of the Aceh branch of the People’s Anti-Corruption Movement, or Gerak.
“Based on the results of our monitoring, the suspected corruption mostly took place in the housing sector. One of the cases involved Rp 20.5 billion in graft by three companies working on the BRR’s housing assistance scheme,” Askhalani said.

He said that at the end of 2006, the agency gave orders to three Jakarta-based companies to build 799 houses for tsunami victims in Singkil and Aceh Jaya districts, worth Rp 60.55 billion.
“But soon after withdrawing Rp 20.5 billion, these three companies abandoned work and their bidding deposit cheques bounced,” Askhalani said.

“The BRR has reported this case to the Metro Jaya Police Department, but so far, there has been no explanation regarding the investigation. The question is why BRR officials who are supposed to be professionals failed to check on the credentials of these companies and disbursed the money so freely.” Aceh’s prosecutors’ office has probed two BRR’s officials — Bambang Sudianto, deputy for housing, and Ramli Ibrahim, deputy for control, but the results of their questioning have not been made public. ‘The question is why BRR officials failed to check on the credentials of the companies’

Askhalani, Gerak Aceh
Askhalani said there were several other suspected corruption cases in housing construction that were believed to have been caused by collusion between contractors and BRR officials. The pattern was that contractors withdrew the money and then abandoned work, or lowered the quality and specifications of the housings, prompting tsunami victims to refuse to occupy them, he said.
“The result of our monitoring from 2005 up to 2008, showed that there were 80 troublesome companies building houses for the BRR. They were mostly in Simeulue and Aceh Jaya districts. This was caused by BRR’s poor control ... many of its contractors caused problems,” Askhalani said, adding that many people had called on the agency to improve its supervision of contractors.
He cited a Rp 59.6 billion procurement project for 3,015 units of stainless steel frames for housing roofs in 2006, that later became “unusable due to incompatibility with the specifications in the contract." “Now the steel frames have become junk. If there was no conspiracy between the contractors and BRR’s officials, these situations would never have occurred,” Askhalani said.

Other corruption cases were also suspected in the various sectors of the BRR, monitoring by Gerak activists and the audit results of the Development and Finance Control Board, or BPKP, showed. He said that the BPKP’s audit results showed that corruption was suspected in mangrove and beach forests restoration projects, believed to have caused Rp 2.22 billion in state losses, and in the procurement project for high school laboratory equipment, which caused Rp 5.392 billion in losses. The construction of the Lamno-Calang road project also suffered a Rp 3.5 billion loss to corruption. Planning and designing health-care facilities caused a further Rp 3.298 billion in losses, he said. Investigations by Gerak Aceh found irregularities in land purchases for Banda Aceh’s cargo terminal that could inflict Rp 8 billion in losses to the government. “Our investigation found a land price mark-up. It should have cost from Rp 45,000 up to Rp 300,000 a meter, but the BRR paid Rp 700,000 a meter,” Askhalani said.

From the many suspected corruption cases, he said, only a few were investigated by prosecutors. Among those cases still being investigated by the Aceh High Court, were a teacher training program that caused some Rp 2.5 billion in state losses, a salt water dam construction which cost

Rp 7.1 billion and other projects worth hundreds of billion rupiah.
Mukminan, a member of the Banda Aceh council of representatives, said that many BRR projects in Banda Aceh seemed wasteful and were not fit for use due to shoddy construction work, especially the abandoned houses built by BRR for tsunami survivors. In addition, he said, construction of water pipelines and urban drainage systems had been built at a substandard level.

09 Februari 2009

GeRAK Pertanyakan Dua Kasus ‘ Mengendap ‘ di BRR

Harian Aceh, 9 Februari 2009

Deputi Pengawasan BRR Aceh-Nias diminta serahkan segera ke penyidik dua kasus korupsi senilai Rp 6,8 Miliar yang masih mereka endapkan sampai sekarang. “ Tim Audit BPKP Aceh telah menghitung adanya kerugian Negara mencapai Rp 6,8 miliar, jadi buat apa deputi pengawasan mengaudit lagi ke lapangan”, kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, kemarin.

Dua kasus korupsi Rp 6,8 miliar di BRR yakni, proyek jalan Lamno-Calang dengan kerugian Negara Rp 3,5 miliar dan pekerjaan perencanaan pembangunan revitalisasi Puskesmas di Aceh, dengan kerugian Rp 3, 298 miliar

Menurut Askhal, lambannya pelimpahan kedua kasus teersebut kepenyidik, dinilai BRR telah menutupi kinerja buruk di Lembaganya. “ Tim penyidik juga harus transparan atas semua kasus yang sudah ditanganinya, agar perbandinagn kebaikan dengan kebrobrokan BRR selama di Aceh terlihat. Menurut catatan kami, ada 26 kasus BRR yang rata-ata merugikan Negara diatas Rp 1 miliar, hingga kini belum diketahui status hukumnya, “ katanya.

Sementara Juru Bicara (Jubir) BRR, Juanda Djamal mengatakan dua kasus yang masih diaudit ulang oleh Deputi pengawasan BRR, segera dilimpahkan ke penyidik. “ Dalam waktu dekat, dua kasus itu akan kami limpahkan ke penyidik, “ kata Djuanda tanpa menyebutkan waktunya. [ min]

07 Februari 2009

104 Koperasi kuras Rp 12 Milyar APBA 2009

Harian Aceh, 7 Februari 2009

Pemerintah Aceh menganggarkan Rp 12 M untuk 104 koperasi di Aceh pada tahun 2009. Penyaluran tersebut dinilai menambah deretan lembaga sosial lainnya yang ikut menguras APBA 2009 melalui dana aspiratif diusulkan dewan.

Bantuan Koperasi tersebut dianggarkan melalui pos mata anggaran APBA 2009 untuk seluruh kabupaten/kota, melalui Dinas Penindustrian, Perdagangan, koperasi dan UKM serta biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Rakyat. “ Dana yang berjumlah Rp 12 Milyar itu sebagian bersumber dari dana aspirasi ang gota DPRA, “ kata koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani di banda Aceh kemaren, Sebut Askhalani, modus pemberian dana atas koperasi itu, di tenggarai juga tidak ubah seperti pemberian dana atas beberapa Yayasan yang mencuat kepermukaan sebelumnya, “ diketahui, beberapa koperasi tersebut tidak aktif, bahkan dicurigai bukan koperasi yang dapat membantu dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, melainkan sebuah keluarga, “ ungkapnya.

Hal itu, lanjutnya, tidak sejalan dengan konsep ekonomi yang ditawarkan dalam visi dan misi pemerintah Aceh, periode Irwandi-Nazar, terutama untuk peningkatan keluarga kurang mampu lewat bantuan modal usaha melalui koperasi di Aceh. Dari beberpa koperasi yang diusulkan, paparnya, tercatat banyak yang tidak memiliki alamat lengkap, dan bahkan dana yang diberikan juga cukup bervariasi, antara Rp 20 Juta sampai Rp 600 juta.

“ Sebagian banyak koperasi yang dibantu jika tidak diseleksi ketat maka tidak menutup kemungkinan koperasi ini juga dapat mendapat kucuran dana dari daerah masing-masing melalui Dinas Koperasi di Kabupaten/Kota yang sumber dananya berasal dari APBK masing-masing,” tandasnya.

Menurutnya, seharusnya Pemerintah Aceh selektif memberikan dana dan harus melakukan telaah awal atas keberadaan Koperasi, sebelum dana itu diberikan, “ sebab jika dana yang diberikan pada Koperasi yang salah, maka Pemerintah Aceh, melalui Dinas terkait harus bertanggung jawab atas kegagalan pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah di Aceh, “ kata Askhalani.

Selain itu, Pemerintah Aceh juga harus meminta Pertanggung jawaban atas dana public itu kepada setiap Koperasi yang dibantu . Jika tidak melakukan proses tersebut dapat dilaporkan ke aparat hukum [ril]

06 Februari 2009

Rp.12 Milyar untuk Koperasi di Aceh

theglobejournal.com

Banda Aceh – Pemerintah Aceh menyediakan bantuan dana Rp.12 Milyar untuk koperasi seluruh kabupaten/kota di Aceh. Dana tersebut dianggarkan dalam APBA tahun 2009.
Dana tersebut nantinya akan diberikan melalui beberapa dinas diantaranya, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM serta Biro Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Rakyat sebagian besar dana yang diperuntukan untuk 104 koperasi tersebut, sumber dananya adalah bagian dari dana aspirasi yang diperuntukan untuk anggota DPRA.
Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada Wartawan, Jum’at (6/2) menyebutkan, melihat trend pemberian dana untuk koperasi tidak ubah seperti pemberian dana untuk beberapa yayasan yang mencuat kepermukaan sebelumnya, sebab beberapa koperasi yang dibantu adalah koperasi yang tidak aktif dan bahkan dicurigai koperasi ini bukan koperasi yang dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat.
“Dari beberapa koperasi yang diusulkan, tercatat banyak yang tidak memiliki alamat lengkap, bahkan dana yang diberikan juga cukup berpariasi antara Rp. 20 juta sampai Rp. 600 juta dan dari sekian banyak koperasi yang dibantu jika tidak dilakukan proses seleksi ketat,” ujar Askhalani.
Menurut Askhalani, tidak menutup kemungkinan koperasi ini juga akan mendapat kucuran dana dari daerah masing-masing melalui dinas koperasi di kabupaten/kota yang sumber dananya berasal dari APBK masing-masing.
“Seharusnya pemerintahan Aceh harus selektif memberikan dana untuk koperasi dan harus melakukan telaah awal atas keberadaan koperasi sebelum dana diberikan, sebab jika dana yang diberikan kepada koperasi yang salah maka pemerintah Aceh dan melalui dinas terkait harus bertanggung jawab atas kegagalan pemberdaan ekonomi masyarakat lemah di Aceh,” tambah Askhalani.
Askhalani mengharapkan, pemerintah Aceh harus meminta pertanggung jawaban atas dana publik tersebut kepada setiap koperasi yang dibantu, jika koperasi ini tidak melakukan proses pertanggung jawaban maka pihak yang menikmati dana tersebut harus dilaporkan ke aparat hukum.
“Pentingya melakukan pertanggung jawaban atas anggaran tersebut sekaligus untuk mengukur keberhasilan pemerintah membantu masyarakat di sektor ekonomi lemah lewat bantuan pemberian dana konpensasi melalui koperasi,” ungkap Askhalani.

Askhalani juga mengharapkan Pemerintah Aceh harus cukup hati-hati dan selektif dalam memberikan bantuan kepada koperasi, jangan sampai pemberian dana kepada lembaga-lembaga tertentu malah dimamfaatkan untuk kepentingan para pihak yang memang sudah cukup familiar mencari keuntungan lewat anggaran APBA.
“Hal ini penting dilakukan terutama untuk menyukseskan visi misi pemerintah terpilih sebagaimana janji politik pada waktu pilkada yaitu mewujudkan Aceh yang bersih dan bebas KKN,” ucapnya.(002).

02 Februari 2009

Terkait BKM Seulanga GeRAK Akui Atas Laporan Masyarakat, Koordinator BKM Siap Diusut

Serambi Indonesia, 2 Januari 2009

Persoalan indikasi korupsi terhadap dana bantuan sosial Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Seulanga, di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, semakin panas. Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menegaskan, kasus tersebut bukan sekadar isu, tapi terbongkar karena laporan masyarakat.
Menurut Staf Advokasi GeRAK, Yulindawati keterlibatan masyarakat dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Dalam Pasal 41 Ayat 1 disebutkan masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,” katanya, Minggu (1/2). Hal itu, katanya, juga dikuatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000. Dalam Pasal 2 disebutkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam mencari, memperoleh, memberi informasi, saran dan pendapat.

Disebutkan setiap orang, ormas, atau LSM berhak memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau KPK mengenai perkara korupsi.

Karena itu, kata Linda, GeRAK Aceh sendiri telah menyampaikan indikasi adanya korupsi tersebut ke Poltabes Banda Aceh, Rabu (28/1) lalu dengan sangat bertanggung jawab karena mereka telah melampirkan sejumlah dokumen bukti-bukti terkait.

Siap Diusut

Koordinator pelaksana Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Seulanga, Deden Syarifuddin, menyatakan siap diusut atas dugaan korupsi dana Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Sukaramai, seperti yang dibeberkan GeRAK Aceh.

Bahkan Deden mengatakan, hari ini, Selasa (2/2) pihaknya akan melayangkan surat kepada Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) untuk pemeriksaan dugaan korupsi senilai Rp 73,9 juta itu.

Pernyataan itu disampaikannya saat bertandang ke kantor Serambi Indonesia, Kamis (1/2), bersama Kepala Unit Pengelola Sosial (UPS), Umar Latif yang juga membantah dirinya terlibat dalam penggunaan dana bantuan pemerintah tersebut. Serta sejumlah anggota masyarakat Kelurahan Sukaramai.

Deden menambahkan, evaluasi program telah berulang kali dilakukan terkait kegiatan BKM Seulanga. Evaluasi tersebut di antaranya oleh P2KP pada 5 Januari 2008, oleh BPKP pada 29 Maret 2008, oleh Akuntan Publik pada 8 Mei 2008.

“Setiap selesai pelaksanaan kegiatan, pemeriksaan selalu dilakukan oleh P2KP dan BPKP. Namun selama ini tidak ada ditemukan penyimpangan, karena memang tidak ada korupsi seperti yang disebutkan. Besok (hari ini) kami akan mengirimkan surat kepada TAKPA untuk pemeriksaan, dan kami siap untuk diusut,” tegas Deden, kemarin.(dwi/th)