27 Juni 2008

Kasus Tanah Terminal Mobar Diduga Mark-Up Harga Rp 8 Miliar,

Serambi Indonesia, 27 Juni 2008

BANDA ACEH - Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Aceh menduga telah terjadi tindak pidana korupsi minimal Rp 8 miliar dalam proyek pembebasan tanah untuk lokasi pembangunan Terminal Mobil Barang (mobar) Terpadu di Desa Santan dan Meunasah Krueng, Ingin Jaya, Aceh Besar. Tanah yang dibeli seharga Rp 700.000/m2 itu, diduga kuat telah terjadi mark-up (penggelembungan) harga.

Indikasi ini dibuktikan dengan perbandingan harga tanah untuk lokasi proyek pembangunan lembaga permasyarakatan (LP) dan rumah tanahan negara (Rutan) Banda Aceh yang letaknya berdekatan dengan lokasi terminal tersebut, tapi harga belinya cuma Rp 142.000/m2.

Koordinator GeRAK Aceh, Akhiruddin Mahjuddin, didampingi staf investagasinya, Askhalani, kepada Serambi, Kamis (26/6) membeberkan fakta baru tersebut, setelah menilai ada indikasi mark-up harga dalam pembelian tanah terminal mobar dimaksud.

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan GeRAK belum lama ini, ungkapnya, ditemukan bukti kuat bahwa pembebasan tanah terminal mobar seluas 2 hektare (ha) yang dilakukan Pemkab Aceh Besar dan Pemko Banda Aceh ––sumber dananya dari BRR Aceh-Nias–– itu telah terjadi penyimpangan besar-besaran dalam soal harga.

Sebab, berdasarkan bukti pencairan dana dari KPKN Khusus Banda Aceh untuk harga tanah tersebut tanggal 6 Desember 2007 tertera dalam surat perintah membayar (SPM) senilai Rp 14.499.800.000 atau seharga Rp 700.000/m2 sebelum dipotong pajak.

Sementara, untuk lokasi tanah pembangunan proyek LP dan Rutan Banda Aceh seluas 7,4ha hanya dibayarkan sebesar Rp 142.500/m2 (Rp 10.547.137.500) pada 51 orang pemilik. Padahal, lokasi LP dan rutan tersebut masih dalam Desa Meunasah Krueng, dan jaraknya dengan lokasi terminal mobar hanya ratusan meter saja.

“Maka kami menduga kuat dalam proyek pembebasan tanah untuk terminal mobar tersebut telah terjadi mark-up harga yang luar biasa tingginya. Kasus ini tidak boleh dibiarkan dan harus diusut tuntas. Apalagi dana yang digunakan berasal dari anggaran BRR yang notabene uang korban gempa dan tsunami,” katanya.

Berdasarkan data perbandingan tersebut, dalam kasus ini negara telah dirugikan miliaran rupiah. Sebab, kalau dibandingkan harga tanah yang dibebaskan untuk LP dan rutan yang cuma Rp 142.500/m2, maka terjadi selisih harga Rp 557.500/m2. Bila dikalikan selisih harga dengan ukuran tanah terminal mobar 20.000 m2, sehingga total mark-up yang diduga dilakukan mencapai Rp 11.649.800.000.

Kalaupun ada pihak yang mengatakan harga tanah terminal mobar lebih mahal dibandingkan dengan tanah lokasi LP dan rutan, itu masih bisa diterima. Namun, selisihnya tentulah tidak mencapai 370 persen. “Selisihnya paling tinggi 100 persen,” kata Akhiruddin.

Selain terjadi indikasi kerugian negara dalam kasus ini, katanya, terhadap pemilihan lokasi terminal mobar tersebut patut juga dipertanyakan. Karena, letaknya berada di kawasan padat penduduk dan juga berada di jalur yang padat arus lalu lintas. “Kalau terminal mobar ini dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas dalam kota, jelas tidak tepat sarasan. Saya yakin, ketika terminal ini selesai dibangun, maka akan terjadi kemacetan lalu lintas di kawasan itu,” kata Akhiruddin.

Bahkan bukti lain menyebutkan, kata Akhiruddin, adanya campur tangan dari Bupati Aceh Besar dan Walikota Banda Aceh dalam hal pembebasan dan penempatan lokasi terminal tersebut. Sebab, berdasarkan surat yang dikirim Bupati Aceh Besar kepada Deputi Bidang Infrastruktur Lingkungan dan Pemeliharaan BRR Aceh-Nias pada tanggal 26 Oktober 2007, terkait pembangunan terminal mobar terpadu tersebut, antara lain, BRR diminta untuk segera merealisasikan pembayaran harga tanah terminal mobar yang lokasinya telah disepakati dengan harga Rp 700.000/m2.

Terkait kasus tersebut, GeRAK mendesak Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) segera menyelidiki dan menginvestigasi harga tanah dalam pembebasan lahan tanah terminal mobar tersebut.

GeRAK juga meminta DPRA untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna melakukan penelitian awal seputar pengadaan tanah untuk pembangunan terminal mobar itu. Tindakan yang sama juga diharapkan kepada DPRK Aceh Besar dan Banda Aceh.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Banda Aceh tak lupa diminta GeRAK untuk melakukan audit, meliputi pemeriksaan prosedur pengadaan tanah, kewajaran harga tanah yang dibebaskan, serta memeriksa penetapan lokasi yang dikaitkan dengan regulasi/legislasi yang mengatur proses pemilihan wilayah tersebut, terutama Rencana Tata Ruang & Wilayah (RTRW).

Serambi yang kemarin siang hingga sore coba melakukan konfirmasi via handphone (HP) kepada Bupati Aceh Besar dan Walikota Banda Aceh terkait kasus tersebut, gagal tersambung. Bahkan beberapa kali HP kedua pimpinan eksekutif itu dihubungi, tidak dijawab.
(sup)

Tidak ada komentar: