21 Maret 2009

Pemda Aceh Tengah Lapor LSM Anti Korupsi ke Polisi

Theglobejournal.com, 20 Maret 2009

Banda Aceh – Kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Aceh dinilai sangat bertentangan dengan semangat dan upaya reformasi hakim yang profesional dalam pemberantasan korupsi, pasalnya Hakim di Pengadilan Tinggi Aceh telah membebaskan tersangka kasus korupsi khususnya yang terjadi di BRR Aceh-Nias.

Menurut hasil monitoring GeRAK Aceh diperiode tahun 2008-2009 tercatat ada tiga kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan semangat UU No 20 tahun 2001 Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan putusan bebas. “Adapun tiga kasus korupsi yang dibebaskan diantaranya, kasus indikasi korupsi mark up buku BRR NAD-Nias yang melibatkan staf BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi pembebasan lahan di Simeulue yang hanya divonis percobaan dan yang terakhir adalah Indikasi korupsi proyek pembangunan rumah tsunami di Desa Rima Keuneureum, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar tahun 2005 dengan tersangka mantan anggota DPRK Banda Aceh Saiful Hayat yang juga kontraktor,” ungkap Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (19/3).

Menurut Askhalani, ketiga kasus tersebut menurut hasil telaah atas putusan awal dari pengadilan negeri dalam amar putusan yang dikeluarkan cukup kontroversi dengan apa yang dihasilkan oleh pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Aceh cendrung tidak mempertimbangkan atas usaha jaksa dan hakim di Pengadilan Negeri dalam memutuskan vonis akhir terhadap perkara tindak pidana korupsi. “Rentetan panjang terkait bebasnya terdakwa kasus korupsi akan berimbas kepada upaya dan langkah masyarakat dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi, putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Aceh atas kasus bebasnya tersangka korupsi pada proyek pembangunan 30 unit rumah bantuan BRR, makin menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap proses peradilan. Dengan mudahnya para tersangka koruptor bebas, meskipun fakta hukum yang muncul pada saat di PN belum sepenuhnya menjadi pertimbangan majelis Hakim Tinggi,” sebut Alumni Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry tersebut.

Askhalani menyebutkan, seharusnya dalam kasus tindak pidana korupsi atas dana bencana seperti Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. “Dalam penjelasan UU di atas, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.[003]

GeRAK Aceh : Hakim Bebaskan Korupsi di Aceh

Theglobejournal.com, 20 Maret 2009

Banda Aceh – Kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Aceh dinilai sangat bertentangan dengan semangat dan upaya reformasi hakim yang profesional dalam pemberantasan korupsi, pasalnya Hakim di Pengadilan Tinggi Aceh telah membebaskan tersangka kasus korupsi khususnya yang terjadi di BRR Aceh-Nias.

Menurut hasil monitoring GeRAK Aceh diperiode tahun 2008-2009 tercatat ada tiga kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan semangat UU No 20 tahun 2001 Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan putusan bebas. “Adapun tiga kasus korupsi yang dibebaskan diantaranya, kasus indikasi korupsi mark up buku BRR NAD-Nias yang melibatkan staf BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi pembebasan lahan di Simeulue yang hanya divonis percobaan dan yang terakhir adalah Indikasi korupsi proyek pembangunan rumah tsunami di Desa Rima Keuneureum, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar tahun 2005 dengan tersangka mantan anggota DPRK Banda Aceh Saiful Hayat yang juga kontraktor,” ungkap Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (19/3).

Menurut Askhalani, ketiga kasus tersebut menurut hasil telaah atas putusan awal dari pengadilan negeri dalam amar putusan yang dikeluarkan cukup kontroversi dengan apa yang dihasilkan oleh pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Aceh cendrung tidak mempertimbangkan atas usaha jaksa dan hakim di Pengadilan Negeri dalam memutuskan vonis akhir terhadap perkara tindak pidana korupsi. “Rentetan panjang terkait bebasnya terdakwa kasus korupsi akan berimbas kepada upaya dan langkah masyarakat dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi, putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Aceh atas kasus bebasnya tersangka korupsi pada proyek pembangunan 30 unit rumah bantuan BRR, makin menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap proses peradilan. Dengan mudahnya para tersangka koruptor bebas, meskipun fakta hukum yang muncul pada saat di PN belum sepenuhnya menjadi pertimbangan majelis Hakim Tinggi,” sebut Alumni Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry tersebut.

Askhalani menyebutkan, seharusnya dalam kasus tindak pidana korupsi atas dana bencana seperti Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. “Dalam penjelasan UU di atas, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.[003]

05 Maret 2009

Tim Jamwas Kejakgung Masih Inspeksi Kejati

Serambi Indonesia, 6 Maret 2009

BANDA ACEH - Tim Inspeksi Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) Kejaksaan Agung RI hingga Kamis (5/3) kemarin masih melanjutkan inspeksi ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Masih dalam agenda yang sama, tim yang dipimpin Iskamto SH bersama tiga anggotanya itu masih memeriksa sejumlah pejabat di lingkungan internal Kejati. Termasuk Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Yafizham SH, para asisten, kepala seksi, dan para jaksa. Pemeriksaan masih dipusatkan di lantai II gedung Kejati Aceh secara maraton.

Wartawan yang sejak pagi menunggu di kantor tersebut hingga pukul 16.30 WIB tidak berhasil menemui Tim Jamwas Kejagung. Anggota tim yang memeriksa juga tidak kelihatan, karena berada di lantai dua. Sebuah sumber yang dikonfirmasi wartawan menyebutkan, pemeriksaan pada Rabu kemarin berlangsung hingga malam hari. Khusus pada Kamis kemarin pemeriksaan terhadap para pejabat Kejati diperkirakan juga sampai malam hari. Sejumlah informasi beredar bahwa inspeksi Tim Jamwas Kejagung di sebut-sebut ada kaitannya dengan isu jual beli kasus (suap) di Kejati Aceh, dalam kasus pengadaan lahan terminal mobil barang (mobar) di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Hingga kini kasus itu sudah dihentikan Kejati, karena dinilai tidak ada indikasi korupsi. Selain itu, inspeksi itu juga dikaitkan dengan penanganan kasus pembebasan lahan Blang Panyang, Kota Lhokseumawe, yang juga telah diberhentikan pengusutannya oleh kejari setempat. Karena itu, dalam inspeksi tersebut tim Jamwas juga memeriksa Kajari Lhokseumawe, Tomo SH.

Tim Jamwas juga memanggil dua saksi untuk dimintai keterangan terkait kedua kasus tersebut. Masing-masing Askalani (Pj Koordinator Gerakan Antikorupsi/GeRAK Aceh) untuk kasus mobar dan Alfian (Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh/MaTA) sebagai saksi untuk kasus pembebasan lahan Blang Panyang. Kajati Aceh Yafizham yang dikonfirmasi wartawan mengatakan, kedatangan Tim Jamwas Kejagung ke Kejati Aceh merupakan agenda rutin setiap tahun. Namun, tidak tertutup kemungkinan tim itu juga menanyakan berbagai perkembangan kasus yang selama ini ditangani Kejati Aceh.

Yafizham mengakui, kasus mobar dan pembebasan lahan Blang Panyang menjadi fokus pemeriksaan tim Jamwas. Meski demikian, tidak hanya dua kasus tersebut yang diperiksa, melainkan ada banyak kasus yang juga menjadi perhatian tim. Ia menilai, kasus mobar dan Blang Panyang sudah telanjur diekspose luas oleh media massa, sehingga tim Kejagung berupaya mencari tahu duduk kasus tersebut kepada Kejati Aceh. “Saya kan sudah bilang, perkara itu malah sudah kita bikin laporan kepada KPK dan Kejagung. Karena isunya ramai (diberitakan media), lalu diambil keterangan itu (oleh tim Jamwas),” katanya. Yafizham mengakui, dirinya juga sempat diperiksa tim Jamwas. Namun, ia menolak disebutkan bahwa ada pemeriksaan terhadap dirinya. “Bukan diperiksa, tapi dimintai klarifikasi,” ujarnya. Dia sebutkan, pihaknya tidak begitu menanggapi terkait adanya isu jual beli kasus di lingkungan Kejati yang sempat santer beredar di kalangan wartawan.

“Namanya saja isu, saya mau bilang apa. Isu kan dari orang. Bisa-bisa saja. Anda pun bisa bilang. Tapi harus ada pembuktian, kalau tidak ada pembuktian apa yang mau dibilang. Saya tidak bilang benar atau tidak, tapi buktinya ada tidak,” sergahnya.

Terkait pengusutan dua kasus, baik pengadaan lahan terminal mobar mapun pembebasan lahan Blang Panyang, kata Kajati, pihak Kejati bisa saja menindaklanjuti asal ada bukti-bukti baru. “Kalau perkara itu tidak memenuhi alat bukti kita tidak akan lanjutkan. Kalau ada unsur kerugian negara, itu baru bisa kita naikkan,” kata dia.

No comment
Sementara itu, Asintel Kejati M Adam SH yang dikonfirmasi wartawan terkait isu suap yang menimpa dirinya, menolak berkomentar. “Saya dituding macam-macam, itu hak mereka. Tidak bisa saya klarifikasi. Saat ini saya no comment,” katanya sambil berlalu naik lantai dua Kantor Kejati Aceh.

Harus diusut
Anggota Komisi III DPR RI Bidang Hukum dan HAM, M Nasir Djamil, Sag meminta Kejati Aceh agar responsif terhadap laporan masyarakat terkait berbagai kasus dugaan korupsi di Aceh. Ini penting agar lembaga penegak hukum itu mendapat kepercayaan dari dari publik.

“Kejaksaan tidak harus berdiam diri. Sebagai lembaga penegak hukum, mereka juga berusaha menerapkan akuntabilitas internal di lingkup kejaksaan. Ketika ada laporan sampai ke kejaksaan, maka harus direspons secara cepat, sehingga tidak jadi fitnah,” katanya. Hal itu disampaikan Nasir usai bertemu dengan Kajati Aceh Yafizham dalam rangka fungsi pengawasan DPR RI atas kinerja Kejati di daerah.

Dia sebutkan, terkait kasus mobar dan Blang Panyang, pihaknya memberi waktu kepada Kejati Aceh untuk mendalami kembali agar duduk persoalannya menjadi jelas, sehingga masyarakat tahu. “Kalau ada bukti baru tidak boleh ditutupi. Jadi, publik tidak bisa dibiarkan ’menggantung‘ begitu. Ekspektasi masyarakat itu sangat besar kepada Kejati,” ujarnya. Nasir juga menegaskan, terkait adanya isu jual beli perkara di Kejati, hal itu harus direspons dengan pembuktian, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Dia menilai, kehadiran tim Jamwas ke Kejati juga dalam rangka untuk meluruskan permasalahan tersebut. “Kalau memang ditemukan ada hal-hal baru bahwa isu itu benar, maka harus diproses secara hukum. Apalagi yang melakukannya itu aparat penegak hukum,” ujar politisi PKS ini. (sar)

Kajati akui di Periksa Kejakgung

Harian Aceh, 6 Maret 2009

Tim Pengawas (Jamwas) Kejaksaan Agung (Kejakgung) RI, Kamis (5/3), melanjutkan pemeriksaan terhadap pejabat Kejati Aceh. Ditengarai, pemeriksaan itu terkait penghentian sejumlah kasus korupsi yang ditangani lembaga penyidik tersebut.
Kajati Aceh Yafitzham mengakui dirinya ikut diperiksa oleh Jamwas Kejagung, namun pemeriksaan itu sebatas dimintai keterangan terkait sejumlah kasus yang ditangani pihaknya, baik yang sudah di tahap tuntutan, penyidikan, maupun yang masih di tingkat penyelidikan. ”Saya benar ada diperiksa. Pemeriksaan ini rutin dilakukan setiap tahunnya oleh jajaran kejaksaan,” kata dia, tanpa menyebut waktu pemeriksaannya.
Sementara pemanggilan terhadap pekerja GeRAK dan MaTA, kata Kajati, keduanya tidak lebih sebagai saksi atas laporannya, yakni untuk kasus pembebasan lahan Terminal Mobil Barang dan pembebasan lahan Blang Panyang.
Hal itu, kata dia, memang sering dilakukan Jamwas Kejagung dalam setiap inspeksinya. ”Jadi tidak benar kalau pemanggilan mereka karena kasus itu sudah kami hentikan pemeriksaan akibat suap. Yang dimintai kepada GeRAK dan MaTA hanya jika ada bukti baru yang ditemukan mohon disampaikan untuk dilakukan penyelidikan kembali,” ungkapnya menyikapi pernyataan kedua LSM tersebut.
M Adam, Asintel Kejati Aceh yang juga disebut-sebut orang yang rawan menerima suap di lembaga penyidik itu, menolak memberikan keterangannya. ”Pokoknya, saya tidak ada komentar. Yang membesarkan informasi itu hanya media. Padahal, demi Allah saya tidak terlibat suap-menyuap,” sebut M Adam.
Isu suap yang rawan terjadi di lembaga penyidik Aceh itu juga ditanggapi serius Komisi III DPR-RI. Pada lanjutan pemeriksaan pejabat Kejati Aceh, kemarin, anggota Komisi III DPR M Nasir Djamil mendatangi kantor Kejati Aceh.
Anggota DPR asal Aceh itu, sekira pukul 12.00 WIB turun dari lantai dua kantor Kejati Aceh, didampingi Kajati Yafitzham dan Asintel M Adam. Menurut Nasir, kedatangannya itu merupakan kunjungan perorangan untuk melihat kinerja Kejati Aceh, sesuai fungsi komisi yang diembannya yaitu bidang pengawasan.
Sebuah isu yang berkembang, kata dia, harus ditindaklanjuti dengan jelas, sehingga tidak terjadi salah tafsir. Jika isu yang berkembang itu benar, maka harus diproses sesuai prosedur hukum. ”Tapi laporan itu harus dibuktikan, jangan hanya main tebak tanpa bukti. Kalau informasi yang berkembang itu benar, Kejakgung tidak bisa berdiam diri,” sebut Nasir. Meskipun inspeksi yang dilakukan Jamwas Kejakgung itu merupakan tugas rutin setiap tahunnya, lanjut dia, namun jika menemukan laporan adanya suap dan menutupi kasus, itu harus diproses.(min)

04 Maret 2009

Kejati Aceh Diduga Jual Beli Kasus, Diinspeksi oleh Tim Jamwas, GeRAK dan MaTA Ikut Dimintai Keterangan, Hari Ini Giliran Kajati dan Asintel

Serambi Indonesia, 5 Maret 2009
Tim Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) melakukan pemeriksaan dengan seksama (inspeksi) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh terkait laporan adanya jual beli kasus di lembaga penegakan hukum tersebut.
Proses pemeriksaan kemarin, Rabu (4/3) berlangsung dari pagi hingga menjelang magrib. Tim dari Kejaksaan Agung dipimpin Iskamto SH (Inspektur Pidsus/Datun pada Jamwas) beranggotakan M Abduh Amasta SH, Rahmat Trioyono SH, dan Fazar SH. Tim ini tidak saja memeriksa sejumlah pejabat di Kejati, termasuk Kajari Lhokseumawe, Tomo SH tetapi juga memintai keterangan dari tiga petinggi LSM antikorupsi di Aceh, yaitu Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, Sekretaris Eksekutif GeRAK Aceh, Arman Fauzi, dan Koordinator MaTA Lhokseumawe, Alfian. Ketiga mereka diperiksa dalam status sebagai saksi.

Ketiga pegiat LSM antikorupsi tersebut tiba di Kantor Kejati Aceh sekitar pukul 09.30 WIB. Mereka langsung diarahkan ke lantai II, tempat berlangsungnya pemeriksaan. Sebuah sumber menyebutkan, pemeriksaan ketiga aktifis LSM ini berlangsung secara tertutup di ruang Asisten Pengawasan (Aswas).

Ketika pemeriksaan ketiga saksi dan Kajari Lhokseumame, suasana di ruang kantor Kejati Aceh tampak tegang. Biasanya banyak pegawai terlihat lebih santai di ruangan, namun kesan itu tidak terlihat Rabu kemarin. Bahkan suasana lebih tegang terasa di ruang lantai II, tempat pemeriksaan berlangsung.

Beberapa staf mengaku tidak bisa sembarang naik ke lantai II. Sesekali para pejabat Kejati, termasuk Kasi Penkum, Ali Rasab Lubis SH terlihat turun ke lantai I, namun hanya untuk ke kamar kecil, setelah itu kembali ke lantai II.

Wartawan yang mendapat informasi adanya pemeriksaan oleh Tim Jaksa Agung, sejak pagi sudah berkumpul di kantor Kejati Aceh. Namun tidak ada satu pun pihak yang bisa dimintai konfirmasi. Saat ditanya wartawan, semuanya tutup mulut.

Sekitar pukul 13.04 WIB, ketiga saksi turun dari lantai II melalui tangga tengah. “Ya, kami bertiga tadi dimintai keterangan oleh tim dari Jamwas terkait adanya laporan yang diterima Jaksa Agung bahwa di Kejati Aceh selama ini ada dugaan jual beli perkara. Kami dalam hal ini sebagai saksi,” ujar Askhalani yang dicegat wartawan usai memberi keterangan.

Menurut Askhalani, dalam pemeriksaan itu, ia bersama Arman Fauzi diajukan 13 pertanyaan. Dari belasan pertanyaan tersebut, tim lebih mengarah menanyakan soal kasus dugaan mark-up pembebasan tanah Teminal Mobil Barang (Mobar) di Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar
“Kasus terminal mobar ini kan sempat dilakukan penyelidikan, tetapi tiba-tiba dihentikan pengusutannya karena dinilai tidak memiliki bukti,” katanya.

Padahal, kata Askhalani, berdasarkan hasil investigasi dan bukti-bukti yang diperoleh pihaknya, kasus Mobar ini memiliki indikasi kuat telah terjadi penyimpangan dalam pembebasan tanah seluas 4 hektare. Sebab berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga tanah di lokasi tersebut hanya berkisar Rp 128.000/meter. Sementara dalam proses pembebasan tanah harganya mencapai Rp 700.000/meter. “Ini kan jelas terjadi penggelambungan harga yang luar biasa, sehingga negara dirugikan mencapai Rp 5 miliar dalam kasus ini,” katanya.

Padahal, lanjut Askhalani, kalau dilihat dengan data perbandingan pembebasan lahan yang dilakukan Tim Sarpras BRR Aceh-Nias terhadap tanah untuk lokasi pembangunan penjara yang lokasinya tidak jauh, cukup mencolok. Sebab tanah untuk lokasi penjara harga ganti ruginya hanya sekitar Rp 142.000/meter kepada 51 pemilik tanah. Penghentian kasus ini juga terkesan aneh, katanya, karena sebelum lebaran Idul Fitri 1429 H pengusutannya baru mulai dilakukan, tetapi setelah lebaran tiba-tiba dihentikan pengusutannya.

Menurut Askhalani, pihaknya sempat menyerahkan sebanyak 42 kasus kepada tim Jamwas yang sampai saat ini tidak ada kejelasan pengusutannya oleh jajaran Kejati Aceh.

Askhalani mengatakan, undangan ke Kejati oleh tim Jamwas sangat mendadak diterima pihaknya. “Kami sangat terkejut atas undanngan ini. Karena undangan baru diterima melalui feks, Selasa (3/3) pukul 12.00 WIB. Maka kami juga terkejut ketika ditanyai persoalan tersebut,” katanya.

Dalam surat panggilan Nomor R-01/N.17/Hkt.1/03/2009 yang ditandatangani Ohara Pudjo SH (Asisten Pengawasan Kejati) disebutkan, kedua saksi dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun dalam surat tersebut tidak dijelaskan permintaan keterangan dalam kasus apa.

Kasus Blang Panyang

Alfian yang dikonfirmasi wartawan menyebutkan, selama pemeriksaan ada dua kasus yang menjadi fokus permintaan keterangan tim Jamwas. Sedangkan kasus pembebasan lahan di Blang Panyang telah pernah dilaporkan ke Kejari Lhokseumawe. Namun dalam pengusutannya, Kejari setempat juga tidak menemukan adanya kerugiaan keuangan negara, sehingga kasus tersebut dihentikan pengusutannya. “Dihentikan sejak 2008, sekitar November,” kata Alfian Dia sebutkan, pihaknya melihat dalam kasus pembebasan lahan di Blang Panyang terdapat potensi korupsi, bahkan pada pernyataan terakhir, LSM MaTA menyatakan akan membuat pengaduan kepada Kejagung. Dia menilai, dalam pengusutan kasus ini, pihak Kejari Lhokseumawe belum bekerja optimal. “Secara lembaga kita melihat dalam kasus ini belum ada political will dari Kejaksaan untuk mengungkap kasus ini,” katanya.

Selain itu, katanya, ada dua hal penting yang dinilai MaTA belum dilakukan pihak Kejari, yakni belum memanggil secara resmi orang-orang kunci dalam panitia pembebasan lahan (tim sembilan).

Alfian menyebutkan, dalam proses pembebasan lahan tersebut dialokasikan dana Rp 4 miliar untuk 20 hektar. Namun yang diterima pemilik lahan Rp 10.000 per meter. Sehingga terjadi selisih mencapai Rp 2 miliar yang diduga telah terjadi pemotongan.

Usai pemeriksaan ketiga aktifis LSM antikorupsi tersebut, tim melanjutkan pemeriksaan terhadap Kajari Lhokseumawe, Tomo SH. Pemeriksaan Tomo disebut-sebut terkait tidak ada kejelasan pengusutan kasus tanah Blang Panjang, Lhokseumawe.

Kemudian tim juga melanjutkan pemeriksaan awal terhadap tiga Kasi pada Asiten Intelijen Kejati Aceh, masing-masing Kasi Penkum/Humas Ali Rasab Lubis SH, Kasi Prosarin Amanto SH, dan Kasi Sospol Jufri SH. Ketiga mereka diperiksa karena ikut merupakan jaksa yang menangani penyelidikan dalam kasus dugaan mark-up harga tanah terminal mobar.

Akibat tertutupnya jalan pemeriksaan tersebut membuat kalangan wartawan tidak memperoleh informasi terkait hasil pemeriksaan itu.

Bahkan semua sumber menyebutkan, Kamis (5/3) hari ini, giliran Kajati Aceh, Yafizham SH dan Asisten Intelijen, M Adam SH diperiksa tim tersebut terkait laporan dugaan jual beli kasus di Kejati yang terjadi selama ini.

Isu suap Asintel

Sehari sebelumnya, Selasa (3/3), informasi pemeriksaan terhadap Asintel Kejati Aceh, HM Adam SH oleh Jamwas Kejagung beredar santer di kalangan wartawan. Tidak mengherankan informasi tersebut menarik perhatian pekerja pers. Dalam sebuah pesan singkat yang diterima wartawan antara lain disebutkan, “M Adam SH telah menerima suap dalam kasus pengadaan tanah terminal mobil barang Banda Aceh....Selama ini M Adam telah banyak mempermainkan perkara korupsi”.

Kasi Penkum/Humas Kejati, Ali Rasab SH yang dikonfirmasi terkait informasi tersebut membatah. Malah dia mempertanyakan kebenaran informasi itu dan dari mana sumber informasi tersebut berasal.

Dia juga membantah telah terjadi pemeriksaan terhadap Kajati dan Asintel oleh Jamwas Kejagung.

“Tidak ada itu. Dari siapa informasinya. Itu hanya pemeriksaan rutin saja, semua bagian diperiksa kok. Coba tanya saja kepada orang yang kasi informasi itu,” katanya ketika dihubungi Serambi melalui telepon.(sar/sup)

Hentikan kasus Mobar dan blang Panyang, Pejabat Kejati Aceh, diperiksa kejakgung

Harian Aceh, 5 Maret 2009

Sejumlahpejabat Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, Rabu (4/3), diperiksa tim pengawas dari Kejaksaan Agung (Kejakgung) RI. Pemeriksaan itu ditengarai terkait penghentian penyelidikan beberapa kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) di Aceh.
Tim Kejakgung memeriksa secara perorangan pejabat Kejati Aceh, mulai dari tingkat kepala hingga kepala seksi, termasuk Kajati Yafitzham SH, Asintel M Adam, dan Kajari Lhokseumawe Tomo SH. Sementara koordinator GeRAK Aceh dan MaTa ikut dimintai keterangan terkait indikasi korupsi yang mereka laporkan.
Kajati Yafitzham dan Asintel M Adam disebut-sebut diperiksa terkait pemberhentian penyelidikan kasus pengadaan lahan Terminal Mobil Barang (Mobar) di Desa Santan, Ingin Jaya, Aceh Besar. Sementara Kajari Tomo diperiksa terkait pemberhentian kasus pengadaan tanah pembangunan rumah sakit bantuan Korea di Blang Panyang, Lhoksmawe.
Askhalni dan Rahmat dari GeRAK serta Alfian dari MaTa dipanggil terkait temuan kedua LSM itu terhadap kedua kasus yang diberhentikan pihak penyidik kejaksaan di Aceh. Sedangkan pemeriksaan seluruh kepala seksi (Kasi) dan asisten lainnya merupakan pemeriksaan rutin setiap tahunnya.
Tim pengawas Kejakgung yang diturunkan ke Aceh itu diketuai Iskamto SH. Dia dimpingi empat anggotanya, yakni Rahmat Priono, Rahmat Riono, M Abdu Amasta, dan Fajar.
Alfian, Koordinator MaTa, mengatakan surat panggilan kepadanya dilayangkan Jamwas Kejakgung beberapa hari lalu. Kedatangannya ke Kejati Aceh sebatas saksi dengan tidak menentukan jenis kasusnya. Dia mengaku menjalani pemeriksaan pukul 09.00-12.00 WIB. “Saya dicerca 12 pertanyaan terkait kasus Blang Panyang yang penyelidikannya telah dihentikan oleh Kejari Lhokseumawe,” katanya.
Menurut pihaknya, sebut Alfian, telah terjadi korupsi dalam kasus Blang Panyang, sesuai barang bukti baru yang ditemukan. “Tapi kasus itu dihentikan oleh Kejari. Laporan kami itu ternyata mendapat respon dari Kejakgung,” jelasnya.
Karena dikhawatirkan adanya permainan suap-menyuap dalam kasus itu, lanjut Alfian, maka Kajari Tomo juga diperiksa oleh tim pengawas. “Tim itu juga memeriksa kinerja Kejati Aceh atas sejumlah kasus yang sudah diusut dan kasus yang berhenti begitu saja seperti PT NAA dan beberapa kasus lainnya,” sebutnya.
Hal senada disampaikan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani. Kata dia, pemanggilannya menghadap tim pengawas Kejakgung hanya sebagai saksi. Meski tidak disebutkan saksi dalam kasus tertentu, namun dari 12 pertanyaan yang diajukan keselurahannya menyangkut kasus pengadaan lahan Terminal Mobar di Desa Santan, Aceh Besar.
”Mereka meminta keterangan atas temuan korupsi yang kami laporkan itu. Pasalnya, Kejati Aceh telah menghentikan penyelidikan dengan alasan tidak ditemukan indikasi korupsi. Mungkin keterangan dari kami sebagai data tambahan untuk pemeriksaan Yafitzham dan M Adam atas pemberhentian kasus itu,” katanya usai diperiksa empat jam bersama rekannya Arman, Sekretaris Eksekutif GeRAK.
Pengurus LSM Antikorupsi itu menyebutkan, komitmen Kejakgung RI dalam memberantas korupsi khususnya di Aceh sangat tinggi. Hal itu terlihat dari kedatangannya dalam inspeksi kinerja Kejati Aceh tersebut dengan memeriksa hingga tingkat Kajati.
”Mereka sebenarnya menilai ada sesuatu di balik penghentian kedua kasus tersebut, sehingga memanggil kami sebagai pelapor kasus. Dari pernyataan-pernyataan mereka, sangat patut diperiksa Kajati Aceh dan Asintelnya untuk kasus Mobar, serta Kajari Lhoksmawe untuk kasus Blang Panyang,” sambung Arman.
Namun pernyataan kedua LSM tersebut dibantah Kasi Penkum Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis. Menurut Rasab, pemeriksaan oleh tim pengawas Kejakgung itu sebatas inspeksi umum dan dilaksanakan setiap tahun. ”Apa saja yang disampaikan di luar, silakan saja. Yang jelas, inspeksi iniadalah inspeksi umum keseluruhan,” katanya saat dihubungi, kemarin.
Menyangkut pemanggilan koordinator GeRAK dan MaTa Aceh, Rasab mengatakan hal itu biasa dan tidak ada kaitan dengan inspeksi tersebut. ”Itu saja. Apa yang mereka bilang, ya kata mereka, bukan saya yang katakan,” pungkasnya.(min)

03 Maret 2009

Kejagung Panggil Pjs GeRAK dan Koordinator MaTA

theglobejournal.com, 3 Maret 2009

Pjs koordinator Gerak Aceh Askhalani menyebutkan, dirinya dan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian dipanggil ke Kejati Aceh besok, Rabu (4/3). Mereka diminta untuk menghadap Jaksa utama bagian pengawasan pidana Kejagung RI Iskanto. Demikian ungkap Askhalani kepada The Globe Journal melalui pesawat telepon, Selasa (3/3).

Lebih lanjut ujarnya, dia tak mengetahui maksud pemanggilan khusus itu, kepada dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kerap menyuarakan anti korupsi itu di Aceh. Namun pastinya, besok dirinya beserta coordinator MaTA Alfian harus bertandas ke Kantor Kejati Aceh pada pukul 09.00 WIB.

Ditanyai mengenai indikasi permintaan keterangan pada Gerak dan MaTA terkait dugaan kasus suap, yang dilakukan Kasi Inteligen Kejati Aceh M Adam SH seperti informasi yang dihimpun The Globe Journal, dia mengaku belum bisa memastikan hal itu. Namun, dia menegaskan akan memenuhi panggilan itu. “Saya dan Alfian MaTA dipanggil oleh Kejagung RI ke Kejati Aceh besok. Namun, kami belum tau maksud pemanggilan itu,” ungkapnya. [003]

Dibantah Inspeksi Kejagung untuk Periksa Staf Kejati Aceh

theglobejournal.com, 3 Maret 2009

Banda Aceh – Informasi inspeksi Kepala Kejaksaan Agung ke Kejaksaan Tinggi Aceh merebak dikalangan wartawan. Namun hingga pukul 17.00 Kepala Kejagung beserta rombongan belum juga bertandas ke Kejati Aceh. Demikian amatan The Globe Journal di Kantor Kejati Aceh, Selasa (3/3).

Berdasarkan informasi yang dihimpun The Globe Journal, disamping agenda inspeksi tahunan Kejagung RI ke Kejati Aceh, disinyalir kedatangan itu juga dilakukan untuk memeriksa Kasi Intelijen Kejati Aceh M Adam. Pemeriksaan itu disinyalir terkait dugaan suap tentang pengusutan kasus penggelembungan harga pembebasan tanah, untuk proyek pembangunan terminal mobil barang di Santan kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Kepala Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis membantah dugaan itu. Menurutnya, rencana kedatangan rombongan Kejagung ke Aceh memang ada. Hanya saja, kunjungan itu merupakan agenda tahunan untuk mengevaluasi kinerja Kejati Aceh. Dia menegaskan, dugaan suap yang dilakukan M Adam hanyalah isu belaka. “ Itu kabar angin. Tak benar kedatangan Rombongan Kejagung RI untuk memeriksa Kasi Intel kita terkait dugaan suap itu,” ujarnya.

Pjs koordinator Gerak Aceh Askhalani yang diminta keteranganya mengenai dugaan itu mengaku belum mengetahui kabar itu. Namun dia menyebutkan, rombongan Kejagung RI memang diketahui akan bertandas ke Kejati Aceh hari ini. “ Saya belum tau dugaan itu. Namun saya juga mendapat kabar akan rencana kedatangan rombongan Kejagung RI ke Kejati Aceh hari ini,” imbuhnya. [003]

02 Maret 2009

Pengesahan APBA 2009 Dinilai Cacat Hukum

Serambi Indonesia, 3 Maret 2009

Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2009 senilai Rp 9,7 triliun yang telah disahkan Pimpinan DPR Aceh, Selasa (24/2) malam, dinilai cacat hukum. Sebab, pengesahan anggaran dilakukan tanpa lebih dulu memperbaiki catatan (koreksi dan evaluasi) dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terhadap RAPBA tersebut. Penilaian bahwa model pengesahan yang demikian itu cacat hukum, dilontarkan Abdullah Abdul Muthaleb, Manajer Monitoring Parlemen pada LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Senin (2/3). Kepada Serambi, Abdullah mengaku telah menyimak dengan saksama apa yang diutarakan dua anggota DPRA, yakni Abdurrahman Ahmad dari Fraksi PBR dan T Surya Darma dari Fraksi PKS, bahwa APBA 2009 itu disahkan Pimpinan DPRA dalam sidang paripurna sebelum diperbaiki. Padahal, dalam daftar koreksi dan evaluasinya, Mendagri menghendaki RAPBA 2009 itu harus diperbaiki/dirasionalkan lebih dulu sebelum disahkan.
Sementara itu, dua pakar dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr Mawardi Ismail dan Dr Faisal A Rani menyatakan, berdasarkan aturan yang berlaku, pengesahan RAPBA menjadi Qanun APBA baru bisa dilakukan setelah koreksi/evaluasi Mendagri terhadap RAPBA diikuti. “Tapi cacat hukum atau tidaknya sebuah produk hukum (qanun), haruslah melalui proses hukum dan ada putusan tetap dari pengadilan,” tukas Mawardi Ismail.

Tak ikuti ketentuan

Abdullah Abdul Muthaleb dari GeRAK Aceh justru menilai bahwa pengesahan APBA tahun ini tidak memenuhi ketentuan hukum yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini, menurut Abdullah, seharusnya menjadi pedoman bagi Pemerintahan Aceh (DPRA dan Gubernur) untuk menjalankan roda pemerintahan.

Pada Pasal 235 ayat (5) UUPA disebutkan bahwa sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK, maka pemerintah mengevaluasi Rancangan Qanun (Raqan) tentang APBA, sedangkan Gubernur mengevaluasi Raqan APBK (kabupaten/kota).

Pada ayat (6) disebutkan, hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan.

Selain itu, kata Abdullah, pada Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 ditegaskan bahwa sebelum pembicaraan tingkat keempat dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (6), maka Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) bersama Panitia Anggaran (Panggar) DPRA melakukan penyempurnaan sesuai dengan hasil evaluasi Mendagri.

Penegasan serupa, ungkap Abdullah, juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bagian IV, yakni mengenai Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran RAPBD pada Pasal 47 ayat (5) dan (6).

Selain itu, dalam Pasal 187 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa jika hasil evaluasi Mendagri itu tidak diperbaiki oleh DPRD (dalam hal ini DPRA) dan Gubernur, maka Mendagri bisa membatalkan APBA 2009 yang telah disetujui dan disahkan DPRA. “Kalau ini terjadi, maka Pemerintah Aceh harus melaksanakan APBA tahun sebelumnya,” timpal Abdullah.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPRA Bidang Anggaran, Tgk Waisul Qarany Ali mengatakan, pengesahan APBA 2009 dan penutupan Sidang Paripurna APBA 2009 pada Selasa (24/2) malam itu dimaksudkan hanya untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan APBA 200. Sedangkan perbaikan terhadap koreksi Mendagri itu tetap dilakukan, namun belakangan.

Apa yang dilakkan DPRA itu, menurut Abdullah, membuktikan bahwa DPRA tidak taat terhadap aturan yang telah dibuatnya bersama Gubernur, yakni Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh. Selain itu, Pimpinan DPRA yang mengesahkan APBA 2009 itu telah melanggar UUPA yang merupakan pedoman pelaksanaan pemerintahan di Aceh.

“Kalau demikian kejadiannya, bagaimana mungkin DPRA bersama Gubernur ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. Tuh lihat bukti konkretnya, aturan yang dibuat bersama, justru dilanggar,” rutuk Abdullah.

Menurut Abdullah, jika hasil evaluasi dan koreksi Mendagri itu tidak diperbaiki Panggar DPRA bersama TAPA, maka dana senilai Rp 2,5 triliun yang dipersoalkan Mendagri di dalam RAPBA 2009 itu bisa saja disalahgunakan setelah pengesahan anggaran.

Sehubungan dengan masalah itu, GeRAK, menurut Abdullah, akan melaporkan peristiwa tersebut kepada Mendagri untuk dijadikan masukan dan dasar pengambilan kebijakan selanjutnya.

Harusnya diperbaiki

Pakar hukum dari Unsyiah, Dr Mawardi Ismail dan Dr Faisal A Rani yang diminta Serambi tanggapannya di tempat terpisah mengatakan, sebelum DPRA mengesahkan Raqan APBA 2009 menjadi Qanun APBA 2009, hasil evaluasi Mendagri terhadap APBA 2009 itu, seharusnya diperbaiki lebih dulu. Hal itu diatur dalam Pasal 235 ayat 5) dan (6) UUPA serta Pasal 107 ayat (7) Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh.

Koreksi Mendagri itu perlu duluan dilaksanakan, baru Raqan APBA 2009 disahkan, menurut Mawardi, bertujuan supaya kegiatan yang dilaksanakan dalam APBA 2009 nanti sama dengan apa yang disahkan DPRA dan ditandatangani Gubernur dalam lembaran daerah.

Di sisi lain, Faisal A Rani mengingatkan bahwa UUPA memberikan kelebihan kepada DPRA. Tapi kenapa dewan tidak menggunakan kelebihannya itu. “Untuk masalah ini sebaiknya kita kembalikan ke dewan,” kata Faisal A Rani.

Menurut Mawardi, karena Raqan APBA 2009 telah telanjur disahkan, maka lampiran APBA yang dikoreksi Mendagri itu harus segera diperbaiki supaya tidak menjadi masalah hukum di kemudian hari.

Menanggapi pendapat segelintir orang bahwa pengesahan APBA 2009 itu cacat hukum, Mawardi menyatakan itu sah-sah saja disampaikan orang bersangkutan. Tapi untuk mengetahui, cacat hukum atau tidak sebuah produk hukum (qanun), haruslah melalui proses hukum dan adanya putusan tetap dari pengadilan. “Jadi, bukan dari pendapat yang dilontarkan oleh pihak yang tidak berwenang menyatakan hal itu,” tukasnya. (her)