21 Maret 2009

Pemda Aceh Tengah Lapor LSM Anti Korupsi ke Polisi

Theglobejournal.com, 20 Maret 2009

Banda Aceh – Kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Aceh dinilai sangat bertentangan dengan semangat dan upaya reformasi hakim yang profesional dalam pemberantasan korupsi, pasalnya Hakim di Pengadilan Tinggi Aceh telah membebaskan tersangka kasus korupsi khususnya yang terjadi di BRR Aceh-Nias.

Menurut hasil monitoring GeRAK Aceh diperiode tahun 2008-2009 tercatat ada tiga kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan semangat UU No 20 tahun 2001 Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan putusan bebas. “Adapun tiga kasus korupsi yang dibebaskan diantaranya, kasus indikasi korupsi mark up buku BRR NAD-Nias yang melibatkan staf BRR Aceh-Nias, indikasi korupsi pembebasan lahan di Simeulue yang hanya divonis percobaan dan yang terakhir adalah Indikasi korupsi proyek pembangunan rumah tsunami di Desa Rima Keuneureum, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar tahun 2005 dengan tersangka mantan anggota DPRK Banda Aceh Saiful Hayat yang juga kontraktor,” ungkap Pjs. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani kepada The Globe Journal, Kamis (19/3).

Menurut Askhalani, ketiga kasus tersebut menurut hasil telaah atas putusan awal dari pengadilan negeri dalam amar putusan yang dikeluarkan cukup kontroversi dengan apa yang dihasilkan oleh pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Aceh cendrung tidak mempertimbangkan atas usaha jaksa dan hakim di Pengadilan Negeri dalam memutuskan vonis akhir terhadap perkara tindak pidana korupsi. “Rentetan panjang terkait bebasnya terdakwa kasus korupsi akan berimbas kepada upaya dan langkah masyarakat dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi, putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Aceh atas kasus bebasnya tersangka korupsi pada proyek pembangunan 30 unit rumah bantuan BRR, makin menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap proses peradilan. Dengan mudahnya para tersangka koruptor bebas, meskipun fakta hukum yang muncul pada saat di PN belum sepenuhnya menjadi pertimbangan majelis Hakim Tinggi,” sebut Alumni Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry tersebut.

Askhalani menyebutkan, seharusnya dalam kasus tindak pidana korupsi atas dana bencana seperti Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. “Dalam penjelasan UU di atas, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.[003]

Tidak ada komentar: