18 September 2008

Kasus Terminal Mobar, GeRAK Dukung Langkah Kejati

Serambi Indonesia, 19 September 2008

BANDA ACEH-Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh menyambut baik dan memberi dukungan penuh terhadap langkah Kejakasaan Tinggi (Kejati) Aceh mengusut kasus dugaan mark-up harga pembebasan tanah proyek pembangunan Terminal Mobil Barang (Mobar) Terpadu di Desa Santan dan Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, senilai Rp 14,9 miliar. Bahkan LSM tersebut siap memberi informasi dan data yang dibutuhkan lembaga kejaksaan dalam menangani kasus ini.

Pernyataan dikemukakan Pjs Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani melalui pers realisnya yang diterima Serambi, Kamis (18/9). “Kita memberi apresiasi kepada Kejati Aceh yang telah menangani pengusutan kasus ini,” tulisnya. Meskipun begitu, LSM yang konsisten terhadap upaya pemberantasan kasus korupsi ini tetap mewarning lembaga penegakan hukum itu untuk tidak main-main dalam penanganan kasus tersebut. Bahkan mereka meminta aparat kejaksaan harus transparan ke publik hasil pengusutan kasus dimaksud.

Menurut GeRAK, penyelidikan yang dilakukan kejaksaan tidak hanya dilakukan terhadap pejabat Aceh Besar, tetapi pejabat Kota Banda Aceh juga harus ikut diperiksa dalam kasus ini. “Karena proyek ini merupakan insiatif antara kedua daerah tersebut, dan hasil investigasi yang kami lakukan ada keterlibatan Pemko Banda Aceh. Maka pejabat Pemko Banda Aceh juga harus diperiksa kalau ingin kasus ini diusut secara transparan,” tegasnya. Bahkan, lanjut Askhalani, GeRAK sebagai sebuah lembaga yang awalnya membongkar dan melaporkan kasus tersebut punya hak untuk dapat mengakses proses penyelidikan yang sedang ditangani aparat kejaksaan. Sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dimana dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) PP tersebut menyebutkan, bahwa setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.

Selain dari aturan dalam pasal 2, juga disebutkan dalam pasal 4 ayat dua (2) disebutkan bahwa, penegak hukum atau komisi wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi, saran, atau pendapat dari setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat diterima. Maka berdasarkan atas aturan hukum tersebut, katanya, pihak kejaksaan yang menangani penyelidikan atas kasus tersebut harus membuka kran informasi setiap perkembangan atas penyelidikan yang dilakukan secara transparan dan memudahkan akses serta tidak ditutup-tutupi mengenai hasil penyelidikannya. Ia juga mengatakan, kasus ini juga sudah dilaporkan ke KPK. “Tapi kita tidak tahu mengapa KPK sampai saat ini belum juga mengusutnya. Terhadap upaya Kejati yang kemudian telah mengusut kasus ini, maka kami minta KPK juga tidak boleh lepas tangan dan harus bahu-membahu dalam penanganan kasus dimaksud,” tandasnya.

16 Kasus

Askhalani juga mengatakan, selain kasus dugaan mark up pengadaan tanah terminal mobar itu, selama periode 2005-2008, pihaknya juga sudah melaporkan 15 kasus dugaan korupsi lainnya ke KPK. “Berdasarkan hasil investigasi ditemukan adanya potensi kerugian keuangan negara dalam berbagai kasus yang sudah kita laporkan selama periode 2005-2008, termasuk juga ke KPK. Tapi proses penanganan atas kasus-kasus tersebut berjalan lamban,” kata Askhalani.

Ia menyebutkan, dua kasus dugaan korupsi terakhir yang dilaporkan kepada KPK adalah kasus dugaan suap yang dilakukan Bupati Simeulue, Darmili kepada oknum pejabat di Departemen Kehutanan. Kasus itu dilaporkan pada, 29 Juli 2008 dengan nomor registrasi 2008-07-000948. Serta laporan dugaan TPK mark up harga tanah pembebasan lahan pembangunan terminal mobil barang dengan tanggal pelaporan pada 29 Juli 2008, nomor registrasi 2008-07-000947. Namun, proses penanganan kedua kasus tersebut hingga kini masih belum jelas. “Bahkan banyak kasus yang dibutuhkan penyelidikan cepat ternyata tidak dilaksanakan, sehingga kemudian berimbas atas penghilangan bukti-bukti yang menguatkan atas kasus tersebut,” katanya. Askhalani menyebutkan, selain kepada KPK, pihaknya juga telah melaporkan berbagai kasus korupsi lainya kepada aparat penegak hukum di Aceh, baik yang bersumber dari dana APBN, APBD, BRR Aceh-Nias, dan dari anggaran umum. (sup/sar)

Tidak ada komentar: