18 September 2008

Masih Ada Bukhari di Terminal Mobar

Modus, edisi September 2008, Minggu ke tiga halaman 11

Ada sejumlah kejanggalan di balik proses pembebasan tanah untuk pembangunan Terminal Barang Terpadu di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Bukan mustahil oknum panitia pembebasan tanah ikut kecipratan. Nama Bukhari masih ada di terminal Mobar?

Kejanggalan itu lebih dulu dihembuskan banyak kalangan, pada Juni 2008 lalu. Yang jadi sorotan: Prosesnya yang dinilai tidak transparan dan harga tanah yang diduga tak wajar alias di mark-up. Lebih dari itu, jauh sebelum ide cemerlang-membangun Terminal Barang Terpadu - itu digelontorkan Pemko Banda Aceh, tanah milik Sofyan Alias Yahmu, di Desa Santan dan Desa Meunasah Krueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, terlihat sudah disiapkan sebagai lahan pertapakan pilar projek. Indikasi ini yang memancing naluri Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh untuk melakukan penelusuran. Hasilnya: Negara diduga merugi sekitar Rp 8 miliar. “Bisa berpotensi lebih tinggi lagi. Mencapai Rp 11 miliar lebih,” kata Koordinator Gerak, Akhiruddin Mahjuddin beberapa waktu lalu.

Itu sebabnya, pada Juli lalu, GeRAK menjinjing kasus dugaan korupsi ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka meminta KPK agar menyelidiki kasus tersebut. Sayangnya, hingga kini tak jelas nasib pengaduan GeRAK ke KPK tadi. Padahal, menurut GeRAK, tanah milik Sofyan alias Yahmu dipersiapkan secara keseluruhan ketika Mawardi Nurdin (Walikota Banda Aceh-red) menjabat kepala Kantor Perwakilan I BRR NAD-Nias. Pernyataan GeRAK tadi semakin sahih karena hubungan antara Sofyan dan Mawardi (Baca Modus Aceh Edisi 20 - Tiga Serangkai Dibalik Proyek Mobarred) memang sudah cukup lama terjalin. Jika dugaan GeRAK ini benar, bukan tak mungkin Walikota Banda Aceh, Mawardi Nurdin bakal berurusan dengan aparat penegak hukum.

Dengan semua dugaan itu, tak lantas membuat Mawardi kebakaran jenggot. Kepada wartawan, Mawardi haqqul yakin proses pembebasan tanah milik Sofyan alias Yahmu itu sudah sesuai prosedur. Karena yakinnya, Mawardi, mempersilakan KPK untuk melakukan penyelidikan. “Jika ada kesalahan pada proyek itu, biarlah KPK yang melakukan penyelidikan. Jangan dibesar-besarkan,” kata Mawardi. Menariknya, peran Panitia Pembebasan Tanah juga disebut-sebut cukup dominan dalam hal ini. Kata seorang sumber, panitia yang terdiri dari unsur Pemkab Aceh Besar dan BPN - diduga ikut memuluskan rencana Pemko Banda Aceh, menunjuk tanah milik Sofyan alias Yahmu itu. ”Mengapa hanya tanah milik Sofyan alias Yahmu begitu memikat, benarkah tidak ada lahan lain yang lebih memadai,”tanya sang sumber. Pertautan panitia pembebasan tanah Pemkab Aceh Besar pada proses pembebasan tanah milik Sofyan alias Yahmu ini memang sebuah ketentuan. Berawal dari kebijakan Pemko Banda Aceh untuk membangun Terminal Barang Terpadu tersebut di wilayah Aceh Besar.

Panitia Pembebaan Tanah langsung dibentuk. Pucuk pimpinan panitia dipegang langsung Bupati Aceh Besar, Bukhari Daud (Unsur Pemerintah Daerah). Sementara posisi sekretaris, dijabat T. Sabiluddin, SH, Kepala Kantor BPN Aceh Besar (Unsur Pemerintah). Bukhari juga dikenal punya hubungan baik dengan Mawardi. Sementara Sofyan alias Yahmu, berasal dari daerah yang sama dengan Bukhari. Tak ingin buang-buang waktu, Panitia PembebasanTanah langsung tancap gas. Tanah milik Sofyan alias Yahmu, diteliti mengenai status hukumnya. Penelitian dan inventarisasi atas tanaman dan benda- benda lain yang ada kaitannya dengan tanah juga dilakukan. Hasilnya: panitia pun setuju tanah Sofyan alias Yahmu dibebaskan dengan harga Rp 700 ribu per meternya. Celakanya, dasar perhitungan besarnya ganti rugi yang ditetapkan panitia pembebasan tanah tadi tak didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya. Padahal, menurut sumber Modus Aceh, sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2006 Tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum, pasal 15 mengatakan. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia.

Menurut sumber tadi, banyak kasus pembebasan lahan tersendat gara-gara tarifnya jauh di atas harga NJOP. Tak hanya di Aceh, sebagai contoh, katanya, Pembebasan lahan enclave di zona III Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Harga jual lahan itu jauh di atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Kota Bekasi. Itu sebabnya Gubernur DKI Jakarta tidak membayar ganti rugi tanah tersebut. ”Ini hanya contoh molornya pembebasan lahan karena tidak memperhatikan NJOP,” kata sumber itu. Sebaliknya dengan kasus pembebasan tanah milik Sofyan alias Yahmu ini. Meski harga permeternya melambung tinggi di atas NJOP, Namur panitia tetap membebaskannya. Padahal, jika merujuk pada NJOP yang dikeluarkan Departemen Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pajak Kantor Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, harga tanah di Desa Santan dan Desa Krueng Meunasah hanya berkisar dari Rp 20 ribu hingga 160 ribu permeternya. Sayangnya, Bukhari Daud memilih irit bicara untuk kasus ini. Unsur panitia lainnya juga terkesan buru-buru cuci tangan. Belakangan memang ada juga yang mau buka mulut:

Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Besar, H Mohd Dahlan dan Kepala Kantor BPN Aceh Besar, T. Sabiluddin, SH. Kata Dahlan, penentuan besarnya ganti rugi harga tanah bukan kewenangan panitia. Besarnya ganti rugi harga tanah tersebut berdasarkan rekomendasi tim penafsir yang independen dan hasil musyawarah dengan pemilik tanah. ”Kalau merujuk ke NJOP saja, nggak ada orang yang mau jual tanah sekarang,” kata Dahlan. Selain itu, kata Dahlan, dalam sistem pembebasan tanah, ada tiga hal yang mesti diperhatikan. Pertama berdasarkan NJOP. Kedua, berdasarkan harga pasar. Dan yang terakhir berdasarkan kesepakatan (musyawarah). Setali tiga uang dengan Dahlan, Sabiluddin juga beranggapan besaran ganti rugi tanah tersebut senilai Rp700 ribu, cukup realistis. Bahkan, Sabiluddin mengatakan hasil penelusuran GeRAK Aceh tentang adanya dugaan mark-up pada proses pembebasan lahan tersebut, dinilai keliru. Alasannya: Harga tanah pasca tsunami memang mayoritas di semua lokasi cendrung naik. ”Malah, setahu saya Pak Sofyan membeli tanah itu Rp 350 ribu permeter waktu itu,” kata Sabiluddin. Memang Sofyan alias Yahmu mengaku membeli tanah tersebut seharga Rp 350 permeter pada 2003 lalu. Boleh jadi, pengakuan Sofyan alias Yahmu inilah yang mengilhami panitia sehingga menilai wajar menetapkan harga Rp 700 ribu - naik sekitar seratus persen.

Begitupun, salah seorang warga Desa Santan mengaku, Sofyan alias Yahmu membeli tanah tersebut seharga Rp 200 ribu permeternya. ”Tanah tersebut sebelumnya adalah milik Haji Gani, warga Kampung Laksana Banda Aceh,” kata warga yang tak ingin namanya ditulis. Sebelumnya, kata dia, Haji Gani membeli tanah tersebut dari Tengku Keuchik Leumik Lamseupeng. Lalu, benarkah panitia ikut memuluskan penunjukkan tanah milik Sofyan alias Yahmu oleh Pemko Banda Aceh? Entahlah. Yang jelas panitia buru-buru pasang jawaban: Panitia tak serta-merta memilih lokasi tanah milik Sofyan saja. Menurut Sabiluddin, selain tanah milik Sofyan, panitia sempat meninjau sejumlah lokasi lain. ”Pernah ada lokasi di Lambaro, tapi dikatakan tidak cocok. Sebelumnya kita juga pernah melihat lokasi di Lampenerut, tapi terkendala dengan jarak yang jauh,” kata Sabiluddin.***

■ Dadang Heryanto

Tidak ada komentar: